Akhir pekan ini saya ingin bercerita tentang sejumlah transformasi yang sedang digulirkan oleh kaum muda. Transformasi adalah kata lain lain dari sebuah proses perubahan. Di tengah kondisi lingkungan yang lumayan gaduh mereka mencoba tetap fokus dan konsisten dengan apa yang diyakininya benar. Hasilnya roda organisasi mulai berjalan kembali dan menampakkan rutinitas membanggakan.
Kaum muda cenderung memiliki kelincahan gerak dan pemikiran yang lebih terbuka dari para tetua. Mindset mereka ada untuk menjadi problem solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya.
Transformasi pertama yang saya saksikan terjadi dalam redaksi majalah "Stupika". Sebuah media yang menginduk pada Warga Mahasiswa Arkeologi Universitas Udayana atau disingkat "WARMA". Pasca kepengurusan Komang Ayu Suwindiatrini yang kala itu mampu menerbitkan satu edisi dan berlanjut ke kepengurusan saya, aktivitas penerbitan sempat terhenti.
Estsfet kepengurusan pun terus bergulir dan geliat literasi mulai terbaca kembali. Ketika tampuk kepemimpinan dipegang oleh Heri Purwanto, usaha untuk menerbitkan majalah kembali dijerang. Ia bersama tim redaksi mengumpulkan sejumlah bahan tulisan, namun karena singkatnya masa kepengurusan akhirnya upaya itu belum terwujud.
Filosofi Non-Finito
Menuntaskan hasil kerja memang menjadi tekanan tersendiri. Itulah legacy  yang seakan-akan harus ditinggalkan oleh setiap pemimpin. Lebih lagi para pemimpin perubahan. Benarkah? Anda mungkin pernah mendengar nama sebuah kota yang menjadi awal renaisans dengan karya-karya besar.Â
Ya, kota itu adalah Firenze. Di sana sampai sekarang masih terpasang dengan jelas karya-karya yang belum atau bahkan tidak berhasil diselesaikan oleh penciptanya dengan beragam alasan. Di antaranya, empat buah patung karya Michelangelo yang dikenal dengan nama The Naked Slave. Dalam manajemen perubahan, karya seni itu dikenal dengan Filosofi Non-Finito, atau karya yang tidak selesai.
Apakah para ahli mengkritik Michelangelo? Sama sekali tidak. Bahkan mereka dengan bangga memasang karya-karya tersebut di museum. Belajar dari peristiwa ini kaum muda memahami benar bahwa seorang pemimpin selalu akan berhadapan dengan ketidakpastian. Sesuatu yang belum selesai bukanlah kegagalan atau sesuatu hal yang memalukan. Sebab, melakukan perubahan dan transformasi kepemimpinan itu tidak mudah. Bahkan sulit, namun bukan berarti tidak bisa.Majalah Stupika baru benar-benar terbit dan dapat dinikmati oleh pembaca di masa kepemimpinan Bella Fresti Widiyanti, yaitu edisi bulan Mei 2017. Tidak sampai pada penerbitan saja, Bella bersama tim redaksi juga mengadakan workshop jurnalistik bertema "Mengenal Stupika: Saatnya Bangkit dan Berkarya Melalui Tulisan. Acara yang digelar pada tanggal 8 September 2017 ini bertujuan untuk mengenalkan kembali Stupika bersama dinamika yang mewarnai selama ini. Dalam kesempatan itu, hadir dua orang narasumber yaitu Hary Pangalihan Sinaga (alumni Arkeologi UNUD 2001/mantan pemimpin umum Stupika) dan Yudha Bantono (Ketua Redaksi Majalah Laras).
Membangun Meaning
Transformasi yang kedua terjadi dalam tubuh Poerbatjaraka. Sanggar ini dibidani oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana angkatan 1994 dan 1995, di antaranya Wayan Sunarta (Jengki), Abang Sabarudin, Frans Djatmiko, Pasek Suyasa, Sri Jayantini, Sri Lestari, Bowo, Joko, Nuraini, Okti, Slamet Afifudin, Katalina, dan Ayu.
Pada awal kelahirannya yang ketika itu diketuai Wayan Sunarta, Sanggar Poeebatjaraka adalah menggelar Lomba Cipta Puisi se-Indonesia dan Lomba Baca Puisi se-Bali tahun 1996. Tujuannya adalah ingin  memperkenalkan Sanggar Purbacaraka di tingkat lokal dan nasional. SPC begitu sebutan akrabnya telah melalui berbagai macam dinamika yang terkadang jatuh bangun.