Awal bulan Agustus lalu Program Studi Arkeologi FIB Universitas Udayana, Denpasar bertandang ke Banyuwangi. Sesuai rencana awal mereka akan melakukan Kunjungan Situs. Kunjungan tersebut tidak hanya diikuti oleh mahasiswa angkatan 2016 saja, tetapi dosen dan alumni juga ikut dalam rombongan. Kegiatan semacam ini memang secara rutin dilaksanakan untuk mengenalkan objek studi arkeologi kepada mahasiswa baru sebelum mereka memperdalam ilmunya di lingkungan kampus. Prinsip dasar yang perlu dimiliki oleh seseorang yang berkecimpung di dunia arkeologi adalah ia harus paham lapangan. Sebab, berawal dari sanalah arkeolog akan bekerja mencari data sembari menyusun kronologi sejarah peradaban sebuah bangsa atau daerah. Meskipun di lain sisi objek kajiannya sering tidak diindahkan oleh kebanyakan orang, namun mereka akan tetap komit pada prinsip yang dipegang sedari duduk di bangku kuliah.
 Selain Kunjungan Situs, biasanya mahasiswa arkeologi FIB Universitas Udayana akan melakukan praktikum ekskavasi dan konservasi. Untuk melakukan kegiatan ini tidak jarang, pihak Prodi akan menggandeng sejumlah instansi terkait, seperti Balai Arkeologi Denpasar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali dan Nusa Tenggara, dan Museum Bali. Berkaitan dengan dipilihnya Banyuwangi sebagai objek Kunjungan Situs pada tahun ini adalah karena jaraknya yang dekat dan kelengkapan objek studi arkeologi yang dimilikinya.
Daerah yang sejak lama dikenal karena kehebohan mitosnya ini ternyata juga menyimpan warisan di bidang kepurbakalaan yang tidak sedikit. Ini terbukti dengan seringnya para arkeolog maupun sejarawan melakukan kajian dan penelitian mendalam. Meski begitu, memang harus diakui bahwa penelitian arkeologi pada objek-objek tersebut masih kurang populis jika dibanding eksotisme mitos dan mistisme yang dipercaya oleh masyarakat.
Nyitus Seharian
Ketika melakukan kegiatan Kunjungan Situs ada istilah khas yang dipakai di kalangan arkeolog untuk menyebut hal itu, yaitu nyitus. Dalam kesempatan itu, rombongan diterima oleh Aekanu Hariyono, S.Pd. selaku Kepala Seksi Adat dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan  dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Setelah melakukan acara seremonial dan penyerahan kenang-kenangan oleh Drs. I Wayan Srijaya, M.Hum., rombongan mengunjungi Museum Blambangan. Museum yang letaknya masih satu kompleks dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi ini termasuk ke dalam museum umum. Sebagian besar koleksinya berasal dari masa Hindu-Buddha dan ada koleksi yang cukup terkenal di kalangan arkeolog yaitu artefak dari Situs Gumuk Klinting, Muncar.
Nama Blambangan selain tercatat dalam Nagarakertagama dan Pararaton, juga disebutkan dalam prasasti Balawi (1227 Saka/1305 Masehi) dikeluarkan oleh Jayanagara. Prasasti tersebut menyebut tentang Sri Maharaja yang menumpas pemberontakan di Blambangan (Sri Maharaja ... anapwa ikanang karaman i Malambangan). Ini menjadi jawaban dari pertanyaan yang sudah lama menggayut soal ada tidaknya prasasti yang menyinggung Blambangan. Setelah mengobservasi museum, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kantor Pos dan Asrama Inggrisan. Salama di lapangan rombongan dikoordinir langsung oleh Rochtri Agung Bawono, S.S., M.Si. selaku ketua rombongan. Selain itu, dibantu Bayu Ari Wibowo, S.S./Jingga Kelana (alumni dan staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi) dan sejumlah mahasiswa arkeologi FIB Universitas Udana dari Banyuwangi.
Rombongan hanya memiliki waktu sehari untuk nyitussehingga tidak semua objek dikunjungi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Banyuwangi memiliki objek arkeologi yang beragam. Di wilayah kota potensi yang mendominasi adalah objek arkeologi kolonial tak terkecuali gedung yang sekarang difungsikan sebagai Kantor Pos Besar Banyuwangi. Gedung yang masih terawat dengan baik ini masih belum dikaji secara mendalam oleh arkeolog. Aktivitas yang selama ini dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur masih tahap inventarisasi.
Dibangun oleh Meycin S.Y
Rombongan lumayan lama berada di Kantor Pos dan setelah itu lanjut ke Asrama Inggrisan yang letaknya hanya beberapa meter dari objek pertama. Asrama Inggrisan dibangun oleh seorang Letnan Kolonel berkebangsaan Inggris bernama Meycin S.Y pada tahun 1811-1816. Situs ini terletak di pusat kota, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Banyuwangi.Â
Asrama yang kini dikelola oleh Kodim 0825 Banyuwangi tersebut pernah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto dan Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2013. Menurut mereka bangunan di Situs Inggrisan pernah digunakan  sebagai lodge (penginapan) untuk saudagar Inggris yang datang ke Banyuwangi (1766-1881). Pada tahun 1811 dikuasai oleh Belanda dan digunakan sebagai asrama perwira. Seiring kedatangan Jepang ke Banyuwangi, bangunan ini juga berganti kepenguasaannnya,yaitu sebagai markas Kompetai (Tentara Rahasia).
Ya, sama halnya dengan Kantor Pos, Asrama Inggrisan juga masih terawat dengan baik. Dulu di kawasan kota memang dijadikan kawasan pemukiman kolonial. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya sejumlah bangunan kolonial di sekitar Inggrisan, seperti SDN 1 Kepatihan (dulu HIS), Tegal Loji (Lodge --sekarang Taman Blambangan--), dan Gedung Juang (dulu tempat dansa kaum bangsawan Belanda) namun sekarang sudah dirubah menjadi bangunan modern. Selain itu, hingga kini masyarakat sekitar mengenal lokasi di belakang Taman Blambangan tersebut dengan nama daerah walandan. Bulan Februari lalu situs ini baru saja selesai dikaji secara arkeologis tentang kerusakan/pelapukan yang terjadi oleh Bayu Ari Wibowo, S.S./Jingga Kelana.
Bekas Pusat Kerajaan Blambangan
Hari pun semakin sore dan rombongan bergegas menuju situs yang terakhir, yaitu Situs Umpak Songo. Situs ini letaknya lumayan jauh dari kota, tepatnya di Dusun Krajan, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar. Butuh waktu 30 menit lebih untuk menuju ke sana. Berdasarkan ekskavasi yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1985/1986 diketahui bahwa di Desa Tembokrejo dan Desa Blambangan hingga sekarang masih ditemukan struktur tembok keliling dan sejumlah situs klasik di areal persawahan. Sehingga, merujuk pada sebaran situs dan toponimi dusun dan desa maka kemungkinan di sekitar desa itulah dulu lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan berada.
Situs Umpak Songo ini berupa struktur bata merah yang di dalamnya terdapat umpak berbagai ukuran. Namun sayang, struktur yang sekarang ada adalah tatanan baru. Temuan sejenis berupa umpak tidak hanya ditemukan di Situs Umpak Songo tetapi juga ada di Situs Gumuk Jadah, Muncar. Sebab, di situs itu sekarang masih dapat ditemukan sisa umpak berjumlah dua buah. Masih banyak hal yang menggayut di pikiran terkait dengan kesejarahan Blambangan dan Banyuwangi dari sisi arkeologis. Namun, karena keterbatasan waktu kegiatan kunjungan situs sore itu pun diakhiri dengan foto bersama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H