Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peradaban Hindu-Budda di Nusantara Berawal dari Tepi Pantai

11 Agustus 2017   13:19 Diperbarui: 11 Agustus 2017   16:55 3021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cermin Perunggu dari Situs Pangkung Paruk. Foto: Balai Arkeologi Denpasar, 2009.

Selama ini ketika guru di sekolah menerangkan tentang kronologi awal masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia selalu merujuk prasasti Yupa dan tentu Kerajaan Kutai. Materi itu saja yang diulang setiap tahun dan harus dihafal. Ya, sejauh pengamatan saya buku materi (buku paket) sejarah di Sekolah Dasar dan Menengah masih minim perubahan. Padahal berdasarkan penelitian para arkeolog banyak ditemukan bukti-bukti baru tentang awal peradaban Hindu-Buddha di Nusantara.

Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara bermula dari tepian pantai, dibuktikan dengan keberadaan Situs Buni (Bekasi, Jawa Barat) dan Situs Pangkung Paruk (Buleleng, Bali). Di Situs Buni ditemukan sejumlah kerangka manusia yang sebagian diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata, dan gelang. Berdasarkan hasil pertanggalan terhadap temuan arang di sekitar kerangka  manusia dari Situs tersebut didapat angka 1 SM-4 M. Umumnya rangka  dikuburkan secara langsung dengan  arah kepala di timur laut dan kaki di barat daya. 

Sementara itu, di Situs Pangkung Paruk juga ditemukan kerangka manusia protosejarah atau awal masehi. Model penguburannya di tempat ini ada dua cara, yaitu kerangka ditempatkan di dalam sarkofagus dan dikuburkan langsung di tanah dengan posisi tertekuk. Fakta ini sebagai gambaran tata cara penguburan pada awal masehi di Bali, yang ternyata tidak ada pembakaran mayat.

Temuan yang cukup menarik dari situs Pangkung Paruk adalah bekal kubur berupa cermin perunggu. Dilihat dari gaya ukirannya, cermin ini berasal dari Dinasti Xin pada masa kekuasaan Raja Wang Mang (8-23 M). Saya jadi teringat ucapan Daud Aris Tanudirjo ketika mengisi materi Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) di Trowulan bulan Mei 2017. 

Sudah saatnya arkeologi sekarang merubah peran yang diemban dari legislator menjadi mediator. Harapannya agar masyarakat menjadi paham dan mengerti kronologi sejarah dan tradisi yang berkembang pada masa lalu. Tidak hanya sekadar teori di atas kertas atau sastra agama belaka, melainkan berdasarkan bukti konkret artefak yang berhasil ditemukan di lapangan.

Dikubur Sementara Waktu

Banyak tradisi masyarakat Hindu di Bali dan Jawa yang sebenarnya berawal dari kebiasaan masyarakat prasejarah dan Bali Kuna atau Jawa Kuna. Contohnya penggunaan sarana persembahan berupa bunga, dupa, dan buah ketika melakukan persembahyangan. Selain disebutkan dalam Bhagawadgita, sarana-sarana ini juga tercatat di dalam prasasti-prasasti yang salah satunya adalah prasasti Kusambyan. Prasasti ini menyebutkan bahwa setiap purnama bulan Asuji penduduk Desa Kusambyan melakukan kebaktian. 

Persembahan berupa bunga dan buah tersebut dilengkapi dengan wijen, minyak wijen, dupa, serta wangi-wangian. Kemudian para ahli Weda yang utama melakukan pemujaan setiap purnama bulan Asuji untuk keselamatan rahyang iwak di Kusambyan (Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Madander dan Kusambyan).

Masyarakat zaman dulu melakukan aktivitas pemujaan menggunakan sarana-sarana yang demikian semata-mata bertujuan agar selamat dan bukan untuk menyekutukan Tuhan. Jika dipikir sebelum lima agama dianut oleh masyarakat modern, masyarakat zaman dulu sudah memiliki kepercayaan sendiri. 

Mereka tidak mendasarkan anggapan pada kitab tapi selalu belajar dari alam dan pengalaman. Nusantara yang kita diami ini sebenarnya memiliki tradisi dan kebiasaan yang sangat kaya. Namun, kenapa setelah mengenal agama dan mendalami kitab yang berasal dari luar tradisi dan kebiasaan itu ditolak bahkan berusaha dihilangkan?.

Baiklah, mari kita memperbincangkan kembali soal kerangka manusia beserta sistem penguburannya. Sebagaimana dapat dilihat di Bali, ketika ada individu yang meninggal dan keluarganya belum mampu untuk melakukan pengabenan (pembakaran mayat). Maka mayat tersebut akan dikubur untuk sementara waktu. Kebiasaan ini sebenarnya sudah ada sejak zaman prasejarah. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa sistem penguburan pada masa lalu ada dua macam, yaitu penguburan langsung dan penguburan tidak langsung. 

Penguburan langsung dilakukan dengan cara mayat dikubur secara langsung ke dalam tanah, baik dengan menggunakan wadah maupun tanpa wadah. Umumnya posisi anatomis rangka dapat dikenali dengan baik. Sementara itu, penguburan  tidak langsung dilakukan dengan cara pertama-tama mayat dikubur secara langsung untuk beberapa waktu, kemudian tulangnya sebagian atau seluruhnya dikuburkan kembali. Hal ini mengakibatkan susunan anatomis rangka menjadi berubah. Sama halnya dengan penguburan langsung, penguburan tidak langsung pun juga dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan wadah.

Tradisi Potong Gigi

Awal bulan ini ada salah satu tetangga saya yang baru saja melangsungkan upacara potong gigi atau pangur. Ya, sekilas jika dicermati yang melakukan tradisi ini adalah masyarakat yang beragama Hindu. Sehingga ada anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa tradisi potong gigi merupakan tradisi orang Hindu, sehingga mereka wajib melaksanakan tradisi atau upacara tersebut. 

Benarkah anggapan itu? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh arkeolog terhadap temuan rangka manusia dari Situs Song Keplek (kawasan kars Gunung Sewu, Jawa Timur), Situs Semawang (Sanur, Bali), dan Situs Liyangan (Temanggung, Jawa Tengah) sebenarnya tradisi potong gigi atau pangur adalah tradisi dari Nusantara.

Sampel gigi yang mengalami proses pemanguran pada rangka Situs Semawang, Sanur. Dokumentasi Martha Luhana, 2015.
Sampel gigi yang mengalami proses pemanguran pada rangka Situs Semawang, Sanur. Dokumentasi Martha Luhana, 2015.
Rangka manusia yang ditemukan di Situs Song Keplek berasal dari masa neolitik awal dan telah menjalani tradisi pemotongan gigi ketika berumur sekitar akhir masa remaja atau dewasa muda (18-22 tahun). Berjenis kelamin perempuan yang meninggal pada umur 40 tahun. Rangka manusia Situs Semawang yang mengalami trauma gigi akibat dipangur (dipotong) sebanyak tujuh individu, di antaranya rangka IV, rangka VII, rangka VIII, dan rangka IX. Sampel tersebut berjenis kelamin perempuan dengan usia meninggal antara 17-45 tahun. 

Sementara itu, individu berjenis kelamin perempuan berumur 18-22 tahun yang ditemukan di Situs Liyangan juga menjalani tradisi potong gigi (pangur). Individu ini berasal dari masa Mataram Kuno (abad ke-9-10 M). Sejumlah hasil penelitian terhadap sampel rangka manusia masa lalu menunjukkan bahwa potong gigi atau pangur memang tradisi yang berakar dari kebiasaan masyarakat Nusantara. Sebab, tradisi ini sudah dikenal jauh sebelum agama Hindu-Buddha (budaya India) masuk ke Nusantara dibawa oleh para pendeta melalui jalur perdagangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun