Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdasarkan Prasasti, Upacara Caru Tidak Harus Mengorbankan Hewan

28 Juni 2017   22:03 Diperbarui: 29 Juni 2017   20:07 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik tentang nama Gajah Mada yang sempat viral di dunia virtual karena dihubung-hubungkan dengan paham atau agama tertentu baru saja menemukan titik terang. Berdasarkan bukti arkeologis, seperti prasasti Gajah Mada bertarik 1351 Masehi memang menunjukkan nama Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapatih Mpu Mada pada 1273 Saka (27 April 1351 Masehi). Tujuan pengeluaran prasasti dalam rangka pendirian sebuah bangunan caitya untuk memperingati gugurnya Paduka Bhatara Sang lumah ri Siwabuddha (Raja Kertanegara) bersama para pendeta dan pejabat tinggi kerajaan pada 1214 Saka (1292 Masehi) (Susantio, 2017).

Begitu pula dengan Majapahit yang katanya berupa kesultanan. Persoalan ini telah dibantah oleh sejumlah arkeolog senior seperti Mundardjito, Agus Aris Munandar, dan Hasan Djafar. Identitas keagamaan Majapahit dapat dilihat dari keberadaan candi, relief, gelar penguasa, hingga arca. misalnya Dyah Tya ketika berkuasa di Majapahit bergelar tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Gelar tersebut jelas menunjukkan ciri Hindu dan tercantum dalam prasasti Geneng II bertarik 1251 Saka/1329 Masehi. Berikut ini kutipannya:

sri tribhuwanottunggadewi jayawisnuwarddhani rajabhiseka samjna pinitasajnakrta dyah tya. pinratista ti tiktawilwanagara. Makamanggalyajna bhatara krtarajasapatni sapaksata arddhanareswarimurtimura. bhatara krta rajasamata. (Sri Tribhuwanottunggadewi Jayswisnuwarddhani dengan gelar atau nama julukan Dyah Tya dinobatkan di negara Majapahit, di bawah bimbingan Bhatara Krtarajasapatni yang merupakan sebagian arddhanareswari dari Bhatara Krtarajasa) (Nastiti, 2016: 80).

Perhatikan Data Empirik!

Seorang peneliti dan akademisi seharusnya ketika meneliti atau pun berargumentasi senantiasa memperhatikan data yang sifatnya empirik, artinya  data itu dapat dibuktikan oleh peneliti lain. Bukan bersifat klenik. Mereka harus memperhatikan konteks, bukan asal mengeluarkan argumentasi karena tekanan keadaan. 

Seperti kebiasaan seorang arkeolog yang selalu berpatokan pada keberadaan data arkeologi, yang hakikatnya merupakan hasil aktivitas perilaku manusia dan bersifat kebendaan atau salah satunya lazim dikenal dengan nama artefak.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan artefak bersama konteksnya dalam penelitian arkeologi memegang peranan penting. Sebab, melalui artefak yang ada itulah arkeolog akan berusaha mengetahui kebudayaan masa lampau. Sementara itu, dalam meneliti seorang peneliti (arkeolog) harus bersikap hati-hati untuk menentukan apakah ketika saat ditemukan, suatu artefak masih berada pada proses tingkah laku atau sudah mengalami transformasi.

Pada prinsipnya suatu artefak ketika ditemukan oleh peneliti telah membentuk konteks yang tentu saja berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, konteks ketika masih dalam tahap buat, dengan tahap pakai, mestinya berbeda. Demikian pula ketika artefak telah mengalami transformasi, terutama sekali harus dibedakan antara transformasi budaya dengan transformasi alam. 

Lumayan cukup panjang namun menentukan yang harus ditempuh agar validasi data dapat benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Ya, sebuah artefak tentu saja tidak dapat ditanyai informasi apa yang terkandung di dalamnya jika terlepas dari lingkungannya, terlepas dari konteksnya, baik konteks ruang, waktu, dan bentuk, maupun dengan data lainnya. 

Haruskah Mengorbankan Hewan? 

Saya sering mendapat pertanyaan dari kawan-kawan muda, seperti kemarin ketika berdiskusi di grup Whatsapp ada kawan yang bertanya tentang upacara yadnya atau pacaruan haruskah mengorbankan hewan?

Berkaitan dengan hal tersebut sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Hariani Santiko dengan judul "Puja Caru Pada Masa Jawa Kuna". Berdasarkan data prasasti masa Jawa Kuna persembahan caru atau puja caru pada umumnya dikaitkan dengan upacara pendirian sebuah sima (tanah perdikan), yaitu pada bagian upacara sapatha, pada upacara pemujaan dewa di sebuah bangunan suci, dan/atau di sebuah lapangan yang dipakai melakukan upacara sapatha tersebut. Sapatha berarti "kutukan", disini terkait dengan upacara sumpah kutukan bagi yang melanggar ketentuan sebuah prasasti tentang keputusan raja/pejabat tentang pendirian daerah perdikan (sima). Sapatha ini biasanya terdapat di bagian penutup prasasti. 

Media sesaji caru pada zaman dulu sangat beragam, yaitu berupa persajian nasi terdapat datanya pada prasati di Jawa seperti prasasti Lintakan, sebuah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh raja Tulodong tahun 841 Saka (919 Masehi); persajian susu terdapat dalam prasasti Trailoyapri (Jiu) II yang berasal dari zaman akhir Majapahit, tahun 1408 Saka (1486 Masehi), dan dikeluarkan oleh raja Sri Girindrawarddhana dyah Ranawijaya. 

Hariani Santiko juga mengatakan, setelah nasi yang matang selanjutnya diberi kelengkapan yang terpenting adalah bunga, dupa wangi, bijen (hitam), kayu cendana, dan berbagai jenis lainnya tergantung kemauan si pelaku caru. Persembahan caru berupa darah binatang baru muncul dalam naskah yang bersifat Tantris, baik yang bersifat Buddha Tantrayana atau Vajrayana maupun Hindu Tantra seperti kakawin Arjunawijaya dan Sutasoma.

Jadi, sebenarnya korban hewan dalam pelaksanaan Pacaruan itu tidak diharuskan karena dapat digantikan dengan nasi, susu, dan biji-bijian. Namun, setelah mendapat pemaparan seperti itu kawan saya tersebut menyanggah dengan mengatakan, Mas Jingga, bacaan itu sebuah reverensi, benar dan tidaknya itu tergantung Anda (yang membaca). Yang saya tanya pendapat Anda selaku generasi Hindu bukan pendapat penelitian skripsi yang sehari jadi. 

Duh Biyung, kok jadi ribet ya? Ok, saya berpendapat tapi kalau tidak berpijak pada kajian ilmiah atau data arkeologi yang sahih apakah namanya tidak ngawur? Akhirnya, saya menjawab tanggapan tersebut begini, saya hanya urun rembuk. Diterima atau tidak tergantung dari forum ini. Yang jelas, saya sebagai arkeolog tidak berani berkomentar jika tidak ada data konkret di lapangan. Toh, meski kami mengkaji juga berpijak pada fakta kebiasaan zaman dulu dan tidak asal ngomong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun