Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Narasi Kematian dalam Perspektif Arkeologi

3 Januari 2017   12:04 Diperbarui: 3 Januari 2017   12:12 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat yang hidup di era sekarang sering beranggapan bahwa manusia baru mengenal budaya penguburan setelah mendapat pengaruh agama yang nota bene berasal dari luar. Ketika ditanya soal masa lalu, mereka selalu memulainya dengan ungkapan ‘konon katanya’ karena memang sistem pewarisan secara lisan masih terjaga dengan baik di kepala masing-masing.

Masyarakat lebih familiar dengan mitos, legenda, dan cerita rakyat daripada kajian yang memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bagi mereka kajian-kajian yang dibuat oleh ilmuan dalam bentuk tulisan itu rumit dan membingungkan. Sebab, tidak sesuai dengan anggapan mereka dari awal.

Sudah bukan rumor lagi kalau manusia sejak dulu takut dengan kematian. Meskipun ada banyak ilmu kanuragan dikuasai namun tetap tidak bisa dijadikan alat untuk menghindar dari siklus kematian. Di Indonesia sendiri kematian sering digunakan untuk bahan film. Semua pasti paham dengan aktris Suzana. Seorang perempuan yang sering memerankan tokoh-tokoh mistis. Aneh memang, di sini kematian ditakuti sekaligus digandrungi.

Setiap daerah di Indonesia memiliki sejumlah tradisi yang berkaitan dengan kematian. Seperti di Jawa ada Upacara Nyèwu, di Toraja ada Upacara Rambu Solok, dan ada Upacara Tabot di Bengkulu. Semua upacara tersebut pada intinya sengaja diadakan untuk menghormati si mati.

Berbicara soal upacara kematian dan praktik penguburan yang dilakukan oleh masyarakat, dapat ditelusuri berdasarkan bukti-bukti artefak yang masih dapat kita temui hingga sekarang. Untuk mengidentifikasi sisa-sisa manusia dan budaya mereka, biasanya Arkeolog menggunakan pendekatan Paleoantropologi. Ilmu ini mencoba untuk memahami bentuk dan variasi dari kerangka manusia, dalam skala individu dan populasi. Oleh karena itu, rekonstruksi informasi biologis dan budaya suatu kerangka manusia telah menjadi dasar Paleoantropologi.

Sampel Rangka

 Hingga sekarang, sedikitnya ada tiga kerangka manusia  yang berhasil ditemukan di tanah Jawa. Pertama, di Pantai Utara Jawa Tengah ditemukan Situs Kubur Prasejarah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional pada tahun 1977-1978 dapat diketahui bahwa ada dua tipe kubur di kawasan tersebut, yaitu kubur dengan wadah (tempayan dan nekara perunggu) dan kubur tanpa wadah (terlentang). Orientasi kerangka manusia mengarah ke utara-selatan.

Kedua, di Situs Song Keplek (manusia Holosen) yang terletak di kawasan karst Gunung Sewu. Sistem penguburan yang ada di situs ini termasuk ke dalam kategori penguburan primer lurus, dengan posisi terlentang. Orientasinya timur ke barat dengan kepala di sebelah timur (dengan wajah menghadap ke atas, pada kedalaman 105 cm) dan kaki di sebelah barat. Lengan kanan dan kiri dilipat melintang di dada. Lengan kiri ditempatkan di atas lengan kanan. Sebelum dimakamkan, mayat tersebut diikat terlebih dahulu.

Ketiga, di Situs Liyangan yang merupakan situs permukiman Mataram Kuna. Manusia Liyangan ditemukan dalam konteks kubur sekunder (penguburan kembali), karena dalam kubur tersebut hanya ditemukan tulang-tulang utama saja yaitu tengkorak dan tulang-tulang panjang. Hal yang menguatkan sebagai kubur sekunder adalah kondisi rangka yang berada dalam sebuah fitur dengan anggota tulang belulangnya tidak berada dalam satu susunan anatomis. Tradisi penguburan berulang semacam ini di Indonesia telah dikenal sejak masa akhir prasejarah.

Arca Perwujudan

Ketika Pulau Jawa memasuki masa Klasik cara penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal diekspresikan melalui pembuatan sejumlah arca perwujudan. Namun, arca itu dibuat khusus untuk orang-orang tertentu, seperti arca Śiwa Mahādewa dari Candi Kidal, perwujudan Anusapati (1227-1248 M); arca Ardhanariśwara, perwujudan Kṛtanagara dengan permaisurinya (1268-1292 M); arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, perwujudan Kṛtarajasa Jayawardhana (1293-1309 M); dan arca Parwati, perwujudan Tribhuwanatunggadewi (1328-1350 M) yang ditemukan di Candi Ngrimbi.

Adanya sejumlah arca perwujudan tersebut menandakan bahwa masyarakat Indonesia pada zaman dahulu telah mengenal konsep dewaraja. Konsep ini merupakan transformasi konsep pemujaan arwah leluhur yang telah dikenal oleh masyarakat sejak zaman perundagian. Ketika budaya India menawarkan nama-nama dewa tertinggi untuk menjuluki kekuatan supranatural, masyarakat Austronesia dapat menerima dan menyetarakan konsepsi dewa-dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja.

Suatu ketika saya pernah membaca pertanyaan dari media massa begini, padahal menurut sejarah sebelum Majapahit runtuh di Jawa kansudah ada ngabèndengan bukti tempat perabuan raja-raja? Memang, soal abu yang sering ditemukan sebagai pendaman di dasar candi sering mengecoh masyarakat. 

Akhirnya, muncul sebuah klaim yang mengatakan bahwa candi adalah makam raja. Kenyataannya, abu itu bukan abu manusia atau raja, tetapi abu binatang yang dijadikan korban dalam pelaksanaan upacara. Adanya upacara-upacara tersebut berawal dari adanya keinginan rakyat untuk mengenang rajanya, sehingga dibuatkan bangunan suci bagi pemujaan atau pendharmaan. Ia disucikan sebagai ista dewata. Raja yang sangat berjasa dalam pandangan rakyat tentu akan selalu dikenang sepanjang masa dan pendharmaannya akan selalu ramai dengan berbagai upacara keagamaan.

Menjawab Kegamangan

Sekarang masyarakat Hindu di berbagai daerah –salah satunya di Banyuwangi–sedang gencar-gencarnya “mempromosikan” Upacara Pĕngabènan dan Upacara Pangĕntas-ĕntas. Hingga di media massa yang pernah saya baca ada pertanyaan, bersumber dari manakah selamatan kematian ala Jawa berasal? Pertanyaan itu muncul akibat dari adanya perasaan risau. Risau karena melihat tata cara ala Jawa yang dilakukannya untuk menghormati leluhur ternyata tidak sama dengan masyarakat Hindu  lainnya.

Terkadang masyarakat tidak sadar, bahwa adat dan tradisi yang coba mereka pertahankan sebenarnya berasal dari dalam, bukan dari luar. Masyarakat sekarang lebih sering terkontaminasi oleh anggapan yang serampangan dan tanpa dasar yang jelas. Kita lebih percaya dengan klaim mainstream (grubyuk), yang sengaja dilontarkan oleh oknum-oknum tertentu sehingga merasa asing dengan budaya sendiri. Endingdari semua itu lantas suatu hal yang sudah mapan malah dipertanyakan.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Dari sampel rangka yang sebelumnya telah dibahas, kita sebenarnya dapat melihat sebuah fakta bahwa sistem penguburan di dalam tanah sudah digunakan sejak zaman dulu ketika masyarakat Nusantara masih mengenal kepercayaan (prasejarah). Sejauh ini sistem kremasi jenazah, ngabèn, atau pangĕntas-ĕntassecara artefaktual tidak terbukti. Karena pada masa Mataram Kuna pun masih menggunakan sistem penguburan di dalam tanah.

Masyarakat Jawa-Hindu tidak perlu bingung jika tidak bisa ngabèn.Kita tidak perlu minder melaksanakan upacara kematian ala Jawa. Sering terdengar bahwa sistem penguburan di dalam tanah dan alat yang namanya bandhusa(keranda mayat) itu identik dengan agama A, sistem penguburan menggunakan peti mati identik dengan agama B, dan sistem pembakaran mayat (ngabèn) identik dengan agama C. Benarkah sistem penguburan tersebut memang milik agama tertentu?.

Mengenai hal ini, Gunadi Kasnowiharjo (Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta) pernah mengatakan, sistem penguburan membujur dengan arah hadap utara-selatan mirip posisi makam pada pemakaman orang Islam. Oleh karena ciri-ciri fisik manusia Situs Binangun secara Paleoantropologis dapat dipastikan berasal dari paleometalik, maka orientasi kubur utara-selatan tidak dapat dikorelasikan dengan sistem penguburan pada masa Islam. So, hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan, dengan tiada egoisme agama, itu kata Soekarno pada sebuah kesempatan. Sanggupkah?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun