Adanya sejumlah arca perwujudan tersebut menandakan bahwa masyarakat Indonesia pada zaman dahulu telah mengenal konsep dewaraja. Konsep ini merupakan transformasi konsep pemujaan arwah leluhur yang telah dikenal oleh masyarakat sejak zaman perundagian. Ketika budaya India menawarkan nama-nama dewa tertinggi untuk menjuluki kekuatan supranatural, masyarakat Austronesia dapat menerima dan menyetarakan konsepsi dewa-dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja.
Akhirnya, muncul sebuah klaim yang mengatakan bahwa candi adalah makam raja. Kenyataannya, abu itu bukan abu manusia atau raja, tetapi abu binatang yang dijadikan korban dalam pelaksanaan upacara. Adanya upacara-upacara tersebut berawal dari adanya keinginan rakyat untuk mengenang rajanya, sehingga dibuatkan bangunan suci bagi pemujaan atau pendharmaan. Ia disucikan sebagai ista dewata. Raja yang sangat berjasa dalam pandangan rakyat tentu akan selalu dikenang sepanjang masa dan pendharmaannya akan selalu ramai dengan berbagai upacara keagamaan.
Menjawab Kegamangan
Sekarang masyarakat Hindu di berbagai daerah –salah satunya di Banyuwangi–sedang gencar-gencarnya “mempromosikan” Upacara Pĕngabènan dan Upacara Pangĕntas-ĕntas. Hingga di media massa yang pernah saya baca ada pertanyaan, bersumber dari manakah selamatan kematian ala Jawa berasal? Pertanyaan itu muncul akibat dari adanya perasaan risau. Risau karena melihat tata cara ala Jawa yang dilakukannya untuk menghormati leluhur ternyata tidak sama dengan masyarakat Hindu lainnya.
Terkadang masyarakat tidak sadar, bahwa adat dan tradisi yang coba mereka pertahankan sebenarnya berasal dari dalam, bukan dari luar. Masyarakat sekarang lebih sering terkontaminasi oleh anggapan yang serampangan dan tanpa dasar yang jelas. Kita lebih percaya dengan klaim mainstream (grubyuk), yang sengaja dilontarkan oleh oknum-oknum tertentu sehingga merasa asing dengan budaya sendiri. Endingdari semua itu lantas suatu hal yang sudah mapan malah dipertanyakan.
Masyarakat Jawa-Hindu tidak perlu bingung jika tidak bisa ngabèn.Kita tidak perlu minder melaksanakan upacara kematian ala Jawa. Sering terdengar bahwa sistem penguburan di dalam tanah dan alat yang namanya bandhusa(keranda mayat) itu identik dengan agama A, sistem penguburan menggunakan peti mati identik dengan agama B, dan sistem pembakaran mayat (ngabèn) identik dengan agama C. Benarkah sistem penguburan tersebut memang milik agama tertentu?.
Mengenai hal ini, Gunadi Kasnowiharjo (Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta) pernah mengatakan, sistem penguburan membujur dengan arah hadap utara-selatan mirip posisi makam pada pemakaman orang Islam. Oleh karena ciri-ciri fisik manusia Situs Binangun secara Paleoantropologis dapat dipastikan berasal dari paleometalik, maka orientasi kubur utara-selatan tidak dapat dikorelasikan dengan sistem penguburan pada masa Islam. So, hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan, dengan tiada egoisme agama, itu kata Soekarno pada sebuah kesempatan. Sanggupkah?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H