Pengantar
Aja lali marang tĕtĕngĕr sing ana, begitulah kira-kira pesan Suryanto Sastroatmodjo di dalam salah satu bukunya yang pernah saya baca. Pesan itu apabila dihubungkan dengan peristiwa yang belakangan ini terjadi mungkin sangat relevan. Jangan pernah lupa dengan peninggalan yang ada, kira-kira begitulah maksud dari pesan di atas. Puluhan berita setiap hari berseliweran di mata kita, isinya macam-macam tapi yang paling santer terdengar adalah soal unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat pada tanggal 4 November 2016 lalu.
Sampai detik ini Indonesia masih setia, berpegang teguh pada sistem pemerintahan presidensial-demokratis. Negara mengakui kebebasan yang bersumber dari suara rakyat karena kekayaan yang dimiliki oleh suatu negara bukan terletak di sektor sumber daya alam melainkan sumber daya manusianya. Hal ini masuk akal ketika melihat kembali paparan yang disampaikan oleh Panglima TNI (selang beberapa hari pasca aksi 4 November) bahwa jumlah penduduk dunia akan bertambah 1 miliar setiap 6 tahun sekali. Bahkan pada tahun 2020-2030 Indonesia diprediksi akan menikmati bonus demografi.
Ketika negara-negara maju mulai kehilangan generasi muda karena generasi tuanya meningkat tajam, Indonesia memiliki jumlah usia produktif dalam kisaran persentase 70%, dan itu terletak di pundak para kaum muda lho. Aksi 4 November memang membuat risau sebagian masyarakat, karena mengindikasikan bahwa ada yang mulai luntur dari diri ini. Unsur egoisme disanjung-sanjung dengan mengatasnamakan Tuhan. Padahal berbarengan dengan hal tersebut, ada sebuah tanda tanya besar: perlukah Tuhan dibela? Bukankah Tuhan itu Maha Segalanya?
Merawat Ingatan
Sejak awal negara ini dilahirkan dari rahim yang sama yakni Pancasila dan diikat oleh suatu prinsip hidup bernama Bhinneka Tunggal Ika (terpisah tetapi tunggal). Prinsip ini diadopsi dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang merupakan hakikat kebenaran tertinggi dalam sistem religi Hindu-Buddha. Meski dewa tertinggi masing-masing berbeda nama dan perwujudannya, tetapi hakikatnya adalah sama. Sebenarnya masih ada lanjutannya berbunyi tan hana dharma mangrwa (tiada kebenaran yang mendua).
Ketika melihat kembali ke dalam arus sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa kali oleh bangsa asing. Mereka berduyun-duyun datang ke sini untuk mencari penghidupan melalui perdagangan rempah-rempah. Namun, di kemudian hari karena terpasung oleh unsur keserakahan maka bangsa-bangsa asing tersebut menjajah dan menguras habis sumber daya alam yang tersimpan di perut Zamrud Katulistiwa.
Masyarakat dapat belajar dari arus sejarah tersebut, bahwa perbedaan yang disandang oleh Indonesia tentu berpotensi menimbulkan konflik kembali (dulu Belanda telah memanfaatkan peluang ini untuk mengadu domba antar penguasa daerah) apabila di antara anak bangsa tidak saling menjaga. Bangsa ini sangat beruntung karena ras, suku, dan agama dapat duduk bersama dalam satu meja. Hal semacam ini memang cukup sederhana tapi secara berkesinambungan perlu direpetisikan supaya ingatan generasi sekarang dan yang akan datang terus terpelihara.
Setiap saat masyarakat dapat merawat ingatannya dengan cara yang sederhana yakni datang ke museum. Museum bukan hanya objek destinasi pariwisata, tetapi sebagai representasi kemajemukan atau multikulturalisme. Koleksi yang ada di dalamnya (Prasejarah, Klasik, Islam, dan Kolonial) milik berbagai etnik dan berasal dari berbagai daerah dan rentangan waktu yang berbeda namun tetap mendapat perlakuan yang sama.
Berawal dari sebuah museum masyarakat dapat belajar kembali tentang hirarki pemahaman multikulturalisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hirarki tersebut meliputi kesadaran, pemahaman, toleransi, dan apresiasi. Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan dasar dan nilai yang sama, namun yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dan mengapresiasi nilai-nilai yang ada mungkin berbeda.
Tidak Perlu Terjadi
Seandainya setiap individu yang menjadi bagian keluarga besar republik ini bisa memahami tentang keempat nilai itu, mungkin peristiwa 4 November kemarin tidak perlu terjadi. Apabila dihitung sejak dibacakannya naskah Proklamasi oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti negara ini sudah berusia 71 tahun. Ibarat seorang Profesor, Indonesia sudah memiliki alam pikiran yang matang dan tinggal duduk manis menikmati masa tua yang indah sebab dia sudah purna dalam segala hal.
Pedoman hidup orang Indonesia yang tertuang di dalam Pancasila sebenarnya sudah mapan dan purna. Hari ini tidak zamannya lagi ada orang bertengkar hanya gara-gara baju dan ritual yang tidak sama; saling caci gara-gara ayat suci yang katanya disalahartikan dan dinistakan. Apabila orang Indonesia mengakui keberadaan Pancasila sebagai pedoman hidup yang final maka mereka harus lĕgawa, tidak mudah tersulut oleh api kemarahan dan kebencian berlebihan.
Tidak zamannya lagi orang Indonesia yang diakui dunia karena keluhuran budayanya sampai tercabik-cabik hanya disebabkan oleh keberadaan agama. Lihatlah ke dalam museum, di sana masih dapat kita temui lontar dan Al-quran bersanding dengan damai tanpa ada rasa risih dan saling curiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H