Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Sejarah Ujung Timur dengan Sudut Pandang Arkeologi

14 November 2016   13:05 Diperbarui: 14 November 2016   18:56 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar
Mendedah sebuah perjalanan yang tak seorang pun melirik barang sesaat. Masa lalu semacam lahan inkubasi ingatan bagi segenap manusia yang rindu akan keagungan leluhur. beratus tahun lalu, tanah ini punya peradaban dan kehormatan sebagai bagian tak terpisahkan dari Wilwatikta. Sekumpulan naskah kuna tergurat, memulas kearifan masa lalu Blambangan dengan penuh kepastian. Menjerang mimpi di atas bara api kesetiaan, sudah saatnya kau tahu bagaimana caranya masa lalu itu menjadi selamat.

Berawal dari perasaan cinta dan keinginan segala bentuk tinggalan tetap hayu di tanah Blambangan, mari duduk bersama memperbincangkan sebuah ilmu yang kata sebagian orang konvensional. Arkeologi memang cukup asing terdengar, sejak duduk di bangku sekolah, orang lebih akrab dengan Ilmu Sejarah yang mentikberatkan pada metode rekontruksi masa lalu di atas kertas. Sedangkan Arkeologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari masa lalu berdasarkan tinggalan berbenda yang masih tersisa di lapangan.

Masa lalu memang unik, menarik, sekaligus sering menuai polemik. Bagi sebagian masyarakat di Banyuwangi, kronologi sejarah daerah ujung timur Pulau Jawa ini masih buram. Sehingga sampai sekarang mereka lebih mempercayai mitos, legenda, ketimbag kronologi sejarah Blambangan dari kaca mata ilmiah. Ibarat sebuah benda, sejarah Blambangan dari kacamata Arkeologi masih seperti puzzle yang belum selesai penyusunannya.

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya sebagian besar tinggalan sejarah di Banyuwangi yang berhasil ditemukan dan diteliti masih sedikit. Tinggalan tersebut ketika ditemukan lebih banyak dalam keadaan tidak utuh, sehingga membutuhkan waktu untuk sekadar mnganalisis atau mengintepretasinya. Ya, memang benar, tinggalan arkeologi memiliki sifat tertentu, seperti terbatas, mudah rusak, dan tidak bisa diperbarui.

Belajar Arkeologi bukan sekadar ilmu katanya atau ilmu yang dipelajari hanya berdasarkan rekontruksi di atas kertas. Belajar Arkeologi bersama objek kajiannya harus paham konteks dan substansi persoalan yang dikaji. Sebab, sbuah objek kalian Arkeologi tidak mungkin dapat berdiri sendiri, pasti ada temuan lain yang dapat menjelaskan bagaimana dan seperti apa objek tersebut hadir di tengah tatanan sosial suatu daerah.

Sepenggal Sejarah Ujung Timur
Sebagaimana telah disinggung di awal, sejarah Blambangan masih seperti puzzle dan belum menemui titik kulminasi yang pasti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arkeolog dapat diketahui bahwa kehidupan di ujung timur Pulau Jawa (setidaknya) dimulai sejak masa neolitik. Hal ini diketahui dari ekskavasi Situs Kendenglembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore. Data Arkeologi yang dihasilkan oleh lapisan budaya neolitik merefleksikan sisa perkampungan dan aktivitas perbengkelan. 

Di lain pihak, artefak yang berasal dari lapisan budaya sejarah merepresentasikan sisa perkampungan dari masa Kerajaan Majapahit (13-15 M). Pada situs tersebut tidak ada data yang menunjukkan keberlanjutan budaya sejak masa neolitik hingga masa sejarah. Di antara kedua lapisan budaya tersebut terdapat lapisan pemisah berupa lapiisan tuffa (abu vulkanik), yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas Gunung Raung.

Sementara itu, ditinjau dari data tekstual berupa Serat Pararaton diketahui bahwa Hayam Wuruk memiliki putra dari istri selir bernama Bhré Wirabhumi. Karena ia lahir dari selir, maka ia tidak berhak atas tahta Majapahit. Walaupun demikian, Bhré Wirabhumi masih diberi kekuasaan oleh ayahnya untuk memerintah di Blambangan. Sedangkan Kusumawarddhani dan suaminya memperoleh kekuasaan Majapahit secara penuh. Sayang sekali sampai sekarang belum diketahui tahun berapa Bhré Wirabhumi  mulai memerintah di Blambangan. Sebab, di Banyuwangi belum pernah ditemukan prasasti yang berkaitan dengan Blambangan maupun Bhré Wirabhumi. Apabila merujuk pada peristiwa Perang Parêgrêg (1323-1328 Saka), maka sekitar abad ke-13 M Bhré Wirabhumi sudah menaiki tahta Blambangan. Hal ini sesuai dengan arang sampel pertanggalan yang ditemukan di Situs Kendenglembu (KDL TP I spit 6), menunjukkan angka 543±34 BP atau sekitar tahun 1322 Saka (1400 M).

gerabah-5829524aae9273c308d7bbbf.png
gerabah-5829524aae9273c308d7bbbf.png
Pararaton juga mengemukakan bahwa dalam Perang Parêgrêg itu awalnya Bhra Hyang Wisésa mengalami kekalahan, tetapi setelah mendapat bantuan dari Bhré Tumapêl (Bhra Hyang Paraméswara) Blambangan dapat dikalahkan. Bhré Wirabhumi kemudian melarikan diri. Ia dikejar oleh Raden Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap, kemudian dipenggal kepalanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1328 Saka (naga lar anahut wulan–1328). Sepeninggal Bhré Wirabhumi, tidak meredakan persengketaan antar keluarga ini. Sebab, ketika Suhita memerintah pada tahun 1355 Saka (1433 M) Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh karena dituduh memenggal Bhré Wirabhumi.

Menjawab Sejumlah Rumor
Sudah sejak lama masyarakat percaya dengan sejumlah rumor yang dikait-kaitkan dengan sejarah ujung timur Pulau Jawa. Dilihat dari arti katanya, rumor adalah gunjingan yang dapat berkembang dari mulut ke mulut. Terdapat dua rumor yang populer di kalangan masyarakat yaitu cerita tentang Ménak Jingga dan Sri Tanjung-Sidapaksa. Kedua cerita ini sangat dipercaya di Banyuwangi. Namun, bagaimana kedua cerita tersebut apabila ditelisik dari sudut pandang Arkeologi?.

Ménak Jingga dipercaya oleh masyarakat sebagai raja Blambangan, dan keberadaannya dikaitkan pula dengan salah satu candi yang ada di Mojokerto yang kebetulan bernama Candi Ménak Jingga. Di dalam candi tersebut terdapat sebuah arca bersayap yang sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai Ménak Jingga, tokoh antagonis dalam Serat Damarwulan. Dilihat dari aspek ikonografi, mengindikasikan bahwa arca tersebut adalah arca garuda. Hal ini dapat diketahui dari sayap dan paruh yang sudah patah. Raffles dalam bukunya berjudul “The History of Java” (1817) menyebutkan, di dekat kolam (Segaran) terdapat arca yang bagian bawahnya berbentuk manusia dan bagian atas tubuhnya berbentuk burung.

capture-582952e5ee9273aa07116409.png
capture-582952e5ee9273aa07116409.png
Ditinjau dari Ilmu Arkeologi, sejauh ini anggapan masyarakat tentang tokoh Ménak Jingga yang dikaitkan dengan candi tersebut tidak terbukti. Begitu pula dengan sosok Sri Tanjung-Sidapaksa, bukti arkeologisnya tidak ada yang berlokasi di Banyuwangi. Sri Tanjung sebenarnya merupakang karya sastra (Kidung) pada masa Majapahit yang dialihwahanakan ke dalam bentuk relief yang dipahat di dinding candi. Sebuah karya sastra dapat dialihwahanakan ke dalam bentuk relief, karena cerita tersebut sangat penting bagi pemahaman ajaran yang bermakna di dalam masyarakat dan relief batu sudah dikenal masyarakat. Selain itu, teknologinya sudah dikuasai oleh golongan undhagi tertentu. Sekarang relief Sri Tanjung itu dapat ditemukan di dinding Candi Surawana, Candi Panataran, dan Candi Jabung.

Mungkin sebagian masyarakat akan berpendapat Sri Tanjung memang pernah hidup di Banyuwangi, hal ini didukung oleh keberadaan Sumur Sri Tanjung. Sumur ini dipercaya sebagai tempat Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa. Namun di kemudian hari terdapat sejumlah keganjilan, di antaranya: (1) Selama ini belum pernah diadakan penelitian secara komprehensif terkait keberadaan Sumur Sri Tanjung. Secara spiritual memang sudah banyak kalangan mengatakan begini dan begitu, namun apakah mungkin sebuah sumur diekskavasi?; (2) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selain sumur, juga terdapat Makam Sri Tanjung yang berlokasi satu kompleks dengan Makam Daèng Ruyung di Kelurahan Kertosari. Nah, antara sumur dan makam mana yang benar?.

Relief Sri Tanjung di Candi Panataran, dokumentasi pribadi
Relief Sri Tanjung di Candi Panataran, dokumentasi pribadi
Berdasarkan data Arkeologis, terdapat ciri khas relief Sri Tanjung di sejumlah candi yaitu penggambaran seorang perempuan menunggang ikan ketika menyeberang dari alam kehidupan ke alam kematian. Selain itu, di sana juga digambarkan Sidapaksa yang duduk bermuram durja di tepi sungai. Satu hal yang perlu diketahui terkait dengan cerita Sri Tanjung, sebenarnya cerita ini berakhir dengan suka cita karena Sri Tanjung hidup kembali dan bertemu dengan Sidapaksa. Di dalam relief teras pendapa Candi Panataran digambarkan Sri Tanjung bersandar di pangkuan Sidapaksa.

Sebuah Jati Diri
Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan dari penyair Jawa, Noto Soeroto yang bunyinya begini, “Tidakkahnegeri kita menyerupai ibu yang sabar dan selalu memberi? Tanah wutah rah, tanah di mana darah ibu tertumpah.” Sebenarnya untuk mencari jati diri atau pun identitas tidak harus berdiri di atas perlawanan dengan kekerasan hingga pembunuhan. Kata-kata Noto Soeroto menjadi pengingat bahwa darah yang keluar dari perut Sri Tanjung tidak seharusnya dipahami sebagai bahasa pembunuhan, melainkan memandang darah tersebut sebagai darah seorang perempuan yang tumpah dalam rangka pemberian mulia, yaitu kelahiran atau pemberi kehidupan kembali.

Kontruksi awal dari penciptaan relief Sri Tanjung di sejumlah candi sebenarnya tentangpranguwatan. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu luwar saka panandang (terbebas dari penderitaan) atau luwar saka wêwujudan kang salah (terbebas dari wujud yang salah).Pagruwatan merupakan salah satu sarana penyucian diri dari kotoran yang melekat pada tubuh manusia, serta sebagai usaha penyelamatan orang dari suatu gangguan atas kelalaiannya/kesalahan dalam melakukan kegiatan pemenuhan hidup.

sri-tanjung-2-5829537a707e61d3063592d9.png
sri-tanjung-2-5829537a707e61d3063592d9.png
Ruwatan yang tergambar dalam relief Sri Tanjung merupakan sebuah realitas mitos yang dianggap sebagai pandangan hidup bagi masyarakat. Mitos dalam konteks ini bisa dipandang sebagai pemahaman tentang dunia nyata karena merupakan akumulasi gambaran masa klasik (Hindu-Buddha) yang tumbuh dan masih bertahan sampai saat ini dalam ingatan kolektif masyarakat Banyuwangi. Akumulasi tersebut mengandung aspek eksistensi manusia dalam memperoleh kasunyatan secara rohani melalui pemujaan Saktiguna membangun yang hdup dengan kenyataan.

Ditilik dari aspek arkeologis, eksistensi pemujaan Sakti di Blambangan masih dapat dilihat buktinya di Situs Gumuk Putri, Dusun Palurejo, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar. Berdasarkan hasil penjajagan yang pernah dilakukan oleh Tim BPCB Mojokerto tahun 2013, di situs tersebut terdapar fragmen kaki arca Durga Mahisasuramardini yang berdiri di atas lapik yang sudah tidak jelas bentuknya. Fragmen tersebut berbahan batu andesit dengan ukuran tinggi 58 cm, lebar 47 cm, dan tebal 28 cm.

Raden Ajeng Kartini dalam salah satu suratnya pernah berkata, aku mengucapkan banyak terima kasih. (Sebenarnya masih) banyak yang dapat kuceritakan tentang perempuan Jawa, tetapi aku masih begini muda dan cuma sekeping saja pengalaman hidupku. Pokok yang harus kugarap, terlalu berat bagiku dan terlalu keramat, untuk ditulis begitu saja. Sebelum aku angkat bicara (dan) melawan (pembunuhan) itu, di dalam hati, jiwa, dan rohaniku harus digali, dibongkar, dan apabila dari situ menyembur darah seperti air mancur, barulah bernilai namanya. menyedihkan memang, tapi begitulah adanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun