Mungkin sebagian masyarakat akan berpendapat Sri Tanjung memang pernah hidup di Banyuwangi, hal ini didukung oleh keberadaan Sumur Sri Tanjung. Sumur ini dipercaya sebagai tempat Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa. Namun di kemudian hari terdapat sejumlah keganjilan, di antaranya: (1) Selama ini belum pernah diadakan penelitian secara komprehensif terkait keberadaan Sumur Sri Tanjung. Secara spiritual memang sudah banyak kalangan mengatakan begini dan begitu, namun apakah mungkin sebuah sumur diekskavasi?; (2) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selain sumur, juga terdapat Makam Sri Tanjung yang berlokasi satu kompleks dengan Makam Daèng Ruyung di Kelurahan Kertosari. Nah, antara sumur dan makam mana yang benar?.
Sebuah Jati Diri
Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan dari penyair Jawa, Noto Soeroto yang bunyinya begini, “Tidakkahnegeri kita menyerupai ibu yang sabar dan selalu memberi? Tanah wutah rah, tanah di mana darah ibu tertumpah.” Sebenarnya untuk mencari jati diri atau pun identitas tidak harus berdiri di atas perlawanan dengan kekerasan hingga pembunuhan. Kata-kata Noto Soeroto menjadi pengingat bahwa darah yang keluar dari perut Sri Tanjung tidak seharusnya dipahami sebagai bahasa pembunuhan, melainkan memandang darah tersebut sebagai darah seorang perempuan yang tumpah dalam rangka pemberian mulia, yaitu kelahiran atau pemberi kehidupan kembali.
Kontruksi awal dari penciptaan relief Sri Tanjung di sejumlah candi sebenarnya tentangpranguwatan. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu luwar saka panandang (terbebas dari penderitaan) atau luwar saka wêwujudan kang salah (terbebas dari wujud yang salah).Pagruwatan merupakan salah satu sarana penyucian diri dari kotoran yang melekat pada tubuh manusia, serta sebagai usaha penyelamatan orang dari suatu gangguan atas kelalaiannya/kesalahan dalam melakukan kegiatan pemenuhan hidup.
Ditilik dari aspek arkeologis, eksistensi pemujaan Sakti di Blambangan masih dapat dilihat buktinya di Situs Gumuk Putri, Dusun Palurejo, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar. Berdasarkan hasil penjajagan yang pernah dilakukan oleh Tim BPCB Mojokerto tahun 2013, di situs tersebut terdapar fragmen kaki arca Durga Mahisasuramardini yang berdiri di atas lapik yang sudah tidak jelas bentuknya. Fragmen tersebut berbahan batu andesit dengan ukuran tinggi 58 cm, lebar 47 cm, dan tebal 28 cm.
Raden Ajeng Kartini dalam salah satu suratnya pernah berkata, aku mengucapkan banyak terima kasih. (Sebenarnya masih) banyak yang dapat kuceritakan tentang perempuan Jawa, tetapi aku masih begini muda dan cuma sekeping saja pengalaman hidupku. Pokok yang harus kugarap, terlalu berat bagiku dan terlalu keramat, untuk ditulis begitu saja. Sebelum aku angkat bicara (dan) melawan (pembunuhan) itu, di dalam hati, jiwa, dan rohaniku harus digali, dibongkar, dan apabila dari situ menyembur darah seperti air mancur, barulah bernilai namanya. menyedihkan memang, tapi begitulah adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H