Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Sejarah Ujung Timur dengan Sudut Pandang Arkeologi

14 November 2016   13:05 Diperbarui: 14 November 2016   18:56 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

capture-582952e5ee9273aa07116409.png
capture-582952e5ee9273aa07116409.png
Ditinjau dari Ilmu Arkeologi, sejauh ini anggapan masyarakat tentang tokoh Ménak Jingga yang dikaitkan dengan candi tersebut tidak terbukti. Begitu pula dengan sosok Sri Tanjung-Sidapaksa, bukti arkeologisnya tidak ada yang berlokasi di Banyuwangi. Sri Tanjung sebenarnya merupakang karya sastra (Kidung) pada masa Majapahit yang dialihwahanakan ke dalam bentuk relief yang dipahat di dinding candi. Sebuah karya sastra dapat dialihwahanakan ke dalam bentuk relief, karena cerita tersebut sangat penting bagi pemahaman ajaran yang bermakna di dalam masyarakat dan relief batu sudah dikenal masyarakat. Selain itu, teknologinya sudah dikuasai oleh golongan undhagi tertentu. Sekarang relief Sri Tanjung itu dapat ditemukan di dinding Candi Surawana, Candi Panataran, dan Candi Jabung.

Mungkin sebagian masyarakat akan berpendapat Sri Tanjung memang pernah hidup di Banyuwangi, hal ini didukung oleh keberadaan Sumur Sri Tanjung. Sumur ini dipercaya sebagai tempat Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa. Namun di kemudian hari terdapat sejumlah keganjilan, di antaranya: (1) Selama ini belum pernah diadakan penelitian secara komprehensif terkait keberadaan Sumur Sri Tanjung. Secara spiritual memang sudah banyak kalangan mengatakan begini dan begitu, namun apakah mungkin sebuah sumur diekskavasi?; (2) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selain sumur, juga terdapat Makam Sri Tanjung yang berlokasi satu kompleks dengan Makam Daèng Ruyung di Kelurahan Kertosari. Nah, antara sumur dan makam mana yang benar?.

Relief Sri Tanjung di Candi Panataran, dokumentasi pribadi
Relief Sri Tanjung di Candi Panataran, dokumentasi pribadi
Berdasarkan data Arkeologis, terdapat ciri khas relief Sri Tanjung di sejumlah candi yaitu penggambaran seorang perempuan menunggang ikan ketika menyeberang dari alam kehidupan ke alam kematian. Selain itu, di sana juga digambarkan Sidapaksa yang duduk bermuram durja di tepi sungai. Satu hal yang perlu diketahui terkait dengan cerita Sri Tanjung, sebenarnya cerita ini berakhir dengan suka cita karena Sri Tanjung hidup kembali dan bertemu dengan Sidapaksa. Di dalam relief teras pendapa Candi Panataran digambarkan Sri Tanjung bersandar di pangkuan Sidapaksa.

Sebuah Jati Diri
Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan dari penyair Jawa, Noto Soeroto yang bunyinya begini, “Tidakkahnegeri kita menyerupai ibu yang sabar dan selalu memberi? Tanah wutah rah, tanah di mana darah ibu tertumpah.” Sebenarnya untuk mencari jati diri atau pun identitas tidak harus berdiri di atas perlawanan dengan kekerasan hingga pembunuhan. Kata-kata Noto Soeroto menjadi pengingat bahwa darah yang keluar dari perut Sri Tanjung tidak seharusnya dipahami sebagai bahasa pembunuhan, melainkan memandang darah tersebut sebagai darah seorang perempuan yang tumpah dalam rangka pemberian mulia, yaitu kelahiran atau pemberi kehidupan kembali.

Kontruksi awal dari penciptaan relief Sri Tanjung di sejumlah candi sebenarnya tentangpranguwatan. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu luwar saka panandang (terbebas dari penderitaan) atau luwar saka wêwujudan kang salah (terbebas dari wujud yang salah).Pagruwatan merupakan salah satu sarana penyucian diri dari kotoran yang melekat pada tubuh manusia, serta sebagai usaha penyelamatan orang dari suatu gangguan atas kelalaiannya/kesalahan dalam melakukan kegiatan pemenuhan hidup.

sri-tanjung-2-5829537a707e61d3063592d9.png
sri-tanjung-2-5829537a707e61d3063592d9.png
Ruwatan yang tergambar dalam relief Sri Tanjung merupakan sebuah realitas mitos yang dianggap sebagai pandangan hidup bagi masyarakat. Mitos dalam konteks ini bisa dipandang sebagai pemahaman tentang dunia nyata karena merupakan akumulasi gambaran masa klasik (Hindu-Buddha) yang tumbuh dan masih bertahan sampai saat ini dalam ingatan kolektif masyarakat Banyuwangi. Akumulasi tersebut mengandung aspek eksistensi manusia dalam memperoleh kasunyatan secara rohani melalui pemujaan Saktiguna membangun yang hdup dengan kenyataan.

Ditilik dari aspek arkeologis, eksistensi pemujaan Sakti di Blambangan masih dapat dilihat buktinya di Situs Gumuk Putri, Dusun Palurejo, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar. Berdasarkan hasil penjajagan yang pernah dilakukan oleh Tim BPCB Mojokerto tahun 2013, di situs tersebut terdapar fragmen kaki arca Durga Mahisasuramardini yang berdiri di atas lapik yang sudah tidak jelas bentuknya. Fragmen tersebut berbahan batu andesit dengan ukuran tinggi 58 cm, lebar 47 cm, dan tebal 28 cm.

Raden Ajeng Kartini dalam salah satu suratnya pernah berkata, aku mengucapkan banyak terima kasih. (Sebenarnya masih) banyak yang dapat kuceritakan tentang perempuan Jawa, tetapi aku masih begini muda dan cuma sekeping saja pengalaman hidupku. Pokok yang harus kugarap, terlalu berat bagiku dan terlalu keramat, untuk ditulis begitu saja. Sebelum aku angkat bicara (dan) melawan (pembunuhan) itu, di dalam hati, jiwa, dan rohaniku harus digali, dibongkar, dan apabila dari situ menyembur darah seperti air mancur, barulah bernilai namanya. menyedihkan memang, tapi begitulah adanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun