koyak di bawah langit kakiku
(Dalam Ruang Batu, Mira MM Astra)
Kita yang terlahir adalah kita yang telah ‘dipilih dan terpanggil’ dalam mengisi kehidupan ini. Kita sebagai manusia yang berakal budi harus mampu mengingatkan diri, ‘meruwat diri’, menyelamatkan diri dengan merehabilitasi sikap dan mental kita setiap saat untuk dapat membangun diri serta berfungsi sesuai dengan tugas dan kewajiban kita.
Banyak di antara kita yang menjadi-jadikan diri sesuai lakon yang diidamkan sementara sifat, watak, dan karakter kita belum terasah dan belum mampu membuka mata dan telinga memahami sejarah kemanusiaan yang telah ada. Semua ingin menjadi Arjuna atau Bima. Bahkan banyak pula di antara kita yang berebut untuk menjadi dalang dalam kehidupan dengan mencampur baurkan segala bentuk permasalahan demi kepentingan tertentu dengan bumbu intrik yang menarik sejatinya menjauhkan kita dari pemurnian diri. Kita terlampau senang menciptakan kebingungan pada sekitar hingga tanpa disadari kita telah melemahkan diri sendiri dari suara-suara kebenaran.
Beberapa saat yang lalu, di Banyuwangi telah terjadi sejumlah kasus yang bersinggungan langsung dengan ODCB. Disebabkan oleh keinginan untuk melestarikan karena memang kondisi Situs Gumuk Payung, Kecamatan Sempu masih berantakan, akhirnya sejumlah warga yang berasal dari Kecamatan Genteng bermaksud untuk membangun situs tersebut. Sebelumnya, situs yang terletak di lereng Gunung Raung itu sering difungsikan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Banyuwangi yang beragama Hindu.
Dilihat dari tujuannya memang benar –Situs Gumuk Payung berusaha difungsikan kembali– namun apabila ditinjau dari aspek pelestarian menggunakan prinsip-prinsip keilmuan arkeologi, apa yang dilakukan mereka adalah salah. Mengapa? Ya, dalam upaya “membangun kembali” situs tersebut mereka melakukan semenisasi dan menambah komponen bangunan baru di atas situs tersebut.
Saya bersama ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Banyuwangi dan Kepala Seksi Adat dan Budaya pernah melakukan rapat membahas seputar kasus tersebut, dengan mengundang sejumlah stakeholder terkait. Dalam rapat diketahui bahwa sebenarnya masyarakat belum tahu kalau ada aturan perundang-undangan dan sejumlah mekanisme pelestarian yang mereka langgar.
Hal semacam ini adalah masalah klasik yang berulang setiap saat apabila kita yang paham dengan aturan itu berdiam diri. Banyak orang ketika sudah diliputi oleh keinginan untuk memuja Tuhan tidak terluput dari lupa, sengaja atau tidak sengaja. Pada dasarnya untuk mengelola sebuah ODCB setiap orang dan/atau instansi terkait tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Harus ada koordinasi yang jelas dan tentu saja duduk bersama untuk menyamakan persepsi. Memang butuh waktu untuk menggelorakan semangat menjaga warisan budaya Nusantara namun bukan berarti orang-orang di belakang sana tidak melakukan proses tentang hal itu.
Antara ritus dan pelestarian ODCB adalah sebuah janji seorang anak kepada leluhur dan Tuhannya. Di mana setiap generasi tidak hanya menghaturkan seperangkat suci daksina, gantal, burat wangi, juga pisang emas bergula kelapa. Namun lebih dari itu, sudahkah kita fasih membaca alam dan peradaban, bukan sekadar mengejar spritualitas dengan menggilas pengetahuan yang diwariskan leluhur di jantung Bumi Blambangan?
Penutup
Kini 71 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan. Kini tidak ada lagi bunyi dentuman meriam dan rintihan pejuang dan pesakitan yang tanpa peradilan ditawan begitu saja oleh penjajah. Menurut Najwa Sihab (2016), Indonesia memang hampir bebas dari persoalan tuna aksara yang sudah menyusut drastis hingga tersisa hanya sekitar 5-6 % saja. Kendati demikian, meningkatnya angka melek huruf tidak serta merta meningkatkan minat baca dan kesadaran berwarisan budaya.
Kebesaran Indonesia bukan sekadar fantasi dalam potongan geografi maupun demografi. Negeri kepulauan terbesar di dunia, dilimpahi karunia alam dan budaya tak terbantah. Flora dan faunanya memukau, pemilik terumbu karang dan hutan bakau. Tapi kebanggaan kartografis itu semu saja ketika kelestarian warisan budaya tidak terjaga dengan semestinya.