Contoh kasus tentang penjara definisi ini terjadi di Banyuwangi. Dalam sebuah rapat koordinasi saya pernah berdebat dengan salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Banyuwangi tentang situs. Dari perdebatan itu, ternyata yang bersangkutan menganggap sebuah tempat dapat disebut sebagai situs apabila di dalamnya mengandung kelima unsur Cagar Budaya sebagaimana disebutkan undang-undang.
Penjara definisi ini dapat menjadi kesenjangan cukup serius antara konsep yang dimiliki oleh seorang arkeolog, tim ahli Cagar Budaya, pemerintah daerah, dan masyarakat. Idealnya, sebelum adanya penugasan untuk terjun langsung ke lapangan, tim ahli tersebut harus diuji dan diberi pembekalan terkait dengan dunia kepurbakalaan. Sebab, anggota tim ahli ada yang berasal dari akademisi di luar arkeologi.
Penguatan Kembali
Bagaimanapun kondisinya mari kita sedikit berdamai dengan kasus-kasus Cagar Budaya yang terjadi di daerah. Anggap saja, orang yang gemar merusak tinggalan masa lalu itu kurang waras karena lupa dengan kesejatian dirinya. Saya rasa sudah waktunya kita belajar kembali tentang kearifan budaya masa lalu. Mira MM Astra di dalam esainya pernah mengatakan, di zaman Kurawa, penyakit terpopuler adalah ‘penyakit lupa diri’, tidak èling. Yang memungkiri kebenaran-kebenaran dengan dalih-dalih tertentu, terutama kepentingan Kurawa yang diletakkan di atas segalanya. Lupa diri yang diakibatkan oleh ego keras yang tidak dapat berubah dan diobati oleh pertapa atau rsi sakti sekalipun. Bahkan seorang pendidik mumpuni seperti Pandita Drona sekalipun tak mampu memperbaikinya (Astra, 2015).
Memang harus diakui, di antara optimisme pasti ada perasaan yang lumayan lelah. Usaha yang dilakukan oleh kawan-kawan arkeolog sebagai ujung tombak di daerah masih bertepuk sebelah tangan dengan program yang digadang oleh bupati dan wali kota. Aturan hukum di atas kertas sudah selesai disahkan oleh kepala daerah, namun selang beberapa saat kemudian pelaksanaanya di lapangan terbentur dengan ketiadaan anggaran. Akhirnya, program yang berkaitan dengan kecagarbudayaan terhenti begitu saja. Hal semacam itulah yang sering menjadi dilema tersendiri bagi arkeolog yang ada di kabupaten/kota.
Sekali waktu tengoklah sejumlah rangkaian relief dan deretan prasasti yang berjajar di candi dan museum. Memang keadaannya tampak kusam karena tergerus zaman yang tanpa henti melaju bak cakra sudarsana. Meskipun kusam dan berdebu, namun dari sanalah kita dapat memulai belajar menguatkan kembali prinsip budaya dan kearifan lokal yang ada.
Ketika kita menengok relief-relief candi, di sana masih.dapat kita temui dengan gampang sosok perempuan yang memakai kĕmbĕn, sesuatu hal yang akhir-akhir ini dipandang tabu oleh segelintir orang. Padahal hal itu merupakan contoh konkrit dari kearifan budaya masa lalu bangsa ini. Orang sekarang butuh belajar bagaimana dengan santun menghormati masa lalu bangsa Indonesia. Meskipun dilihat dari aspek pemahaman dan agama orang sekarang berbeda jauh dengan orang dulu –faktor inilah yang menjadi salah satu pemicu terputusnya kesinambungan sejarah dan pelestarian– bukan berarti dengan gampang menolak untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya. Jika kebudayaan bersama warisannya itu hanya sampai pada ujung lidah semata, bagaimana jagat yang bernama Indonesia bisa hadir di kedalaman hati agar tercipta rasa turut memiliki. Jika dalam parwa disebutkan bahwa Indraprasta dibangun dengan kemustahilan dan kemayaannya, apakah kita sebagai sumber daya manusia yang berakal budi dan menghuni negara ini tak dapat sedikitpun mewujudkannya?.
Antara Ritus dan Pelestarian ODCB
Sebab kita
mendengar daun-daun aswattha bergetar
memuja arah pada kabut laut