Sudah sejak lama perempuan Jawa selalu diidentikkan dengan kanca wingking dan tidak ada yang membantah anggapan tersebut. Benarkah perempuan Jawa memang demikian? Selain itu, akhir-akhir ini muncul sebuah kerisauan masyarakat tentang baju yang dikenakan mereka ketika memasuki tempat suci.Â
Persoalan ini beberapa kali dikemukakan dalam dharma wacana. Apabila merujuk pada sejarah, berita China dari Dinasti Sung (960 M-1279 M) pernah menyebutkan bahwa perempuan Jawa dalam kesehariannya membiarkan rambutnya terurai dan memakai kain yang menutupi dada sampai ke bawah lutut.
Selain berita China, penggambaran tersebut juga dapat dilihat di relief candi. Relief sebagai media intepretasi visual kesenian, tentunya tidak terlepas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aspek kesenian seperti drama, tari, dan kesusastraan diterjemahkan ke dalam pahatan relief yang berbeda-beda, dan membentuk suatu rangkaian cerita; contohnya relief Sri Tanjung di Palah (Panataran). Relief tersebut terletak pada pendapa teras kedua dan berjumlah 9 panil.
Ia juga memakai kalung di lehernya serta gelang pada kedua pergelangan tangannya. Perempuan (b) berdiri dan kepalanya menoleh ke belakang. Rambutnya terurai. Ia tampak sedang mengikat kain panjang semata kaki yang ia gunakan. Tokoh ini mengenakan kalung di lehernya serta gelang pada kedua pergelangan tangannya.
Berdasarkan bukti artefak tersebut dapat diketahui bahwa secara umum perempuan Jawa memiliki ciri-ciri penggambaran wajah lebih feminin atau halus, dada digambarkan menonjol, tubuhnya cenderung banyak lekukan, dan mengenakan penutup dada. Sehingga terlihat lucu dan konyol kalau masih ada orang yang terkejut melihat perempuan memakai kěmběn/jarikyang secara otomatis memperlihatkan lekuk tubuh, pundak, dan lengannya. Orang Jawa yang mengenakan pakaian yang demikian sampai sekarang juga masih ada, meskipun secara insidental dan sporadis.
Sebenarnya tidak ada yang perlu dirisaukan, kenapa perempuan Jawa selalu pinjungan kěmběn, berkebaya, atau jarikan dalam kesehariannya? Pemakaian kěmběn atau jarik bagi perempuan Jawa bermaksud untuk membentuk pemakainya menjadi lembut dan berhati-hati dalam bergerak. Jarik atau kěmběn yang cenderung dikenakan secara ketat, tak hanya menciptakan siluet tubuh namun juga membentuk sikap pemakainya lebih lembut, sabar, berhati-hati, dan luwěs.
Di sinilah pentingnya pembangunan dan penguatan kepribadian agar tidak terlindas arus globalisasi, tetapi dengan cerdik menyaring dan mengolahnya untuk kemajuan budaya sendiri tanpa kehilangan kejawaanmu. Belajar dari masa lampau untuk menumbuhkan kembali karakter orang Jawa yang sebenarnya menjadi poin penting ketika pakaian peremuan mulai dipersoalkan.