Pagi itu ia datang menemuiku. Langkahnya begitu pelan. Jalanan lengang seolah mengiringi hadirnya. Diantara sepi aku bisa mendengar kesahnya. Di sela udara dingin pagi aku merasakan desau nafasnya, harum tubuhnya terbawa bersama angin yang mengarah ke ambang pintu. Semerbak, menetap diam dalam palung jiwaku.
"Apa kabar kekasihku?"... Kusambut dirinya dengan uluran tanganku yang segera menggenggam jemari lembutnya.
Wajah manisnya mampu sembunyikan lara, menunduk tanpa kata. Kuraih tangan halusnya, kuusap helai demi helai rambutnya yang legam seperti kisah kelam yang ia coba ceritakan.Â
"Aku..." Suaranya terpatah. Di rona wajahnya tak kulihat pelita tipis seperti yang biasanya.
Kami sama sama terdiam, sama sama duduk tanpa beradu pandang. Dia menunduk terisak, kepalaku terdongak menerka nerka. Selama ini ia adalah cahaya, menerangi sudut gelap ruang hati yang lama berselimut kebahagiaan buatan.
Kini, cahaya itu meredup bersamaan tetes tetes gerimis yang meniadakan mentari untuk menghangatkan pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H