Mohon tunggu...
Arke
Arke Mohon Tunggu... karyawan swasta -

2 + 2 = 5

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senandung Gendheng Seorang TKI

27 Juni 2016   05:08 Diperbarui: 27 Juni 2016   08:19 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar koleksi pribadi

Kaget, nyaris salto bahkan sempet koprol, bangun, terus koprol lagi jumpalitan sampe keringet ini ngebasahin nyaris seluruh tubuh ini hingga sampe selangkangan ketika masih menyaksikan penggolongan antar manusia hanya dari 'siapa' bukan dari 'apa' yang sudah dilakukan manusia itu sendiri.

Subhanallah.... Hanya itu ucapan relijius yang masih tersisa dari manusia gendheng seperti diriku. Begitu hebatnya manusia ketika merasa lebih dari manusia lainnya. Betapa congkaknya manusia ketika mengkerdilkan manusia lainnya. Betapa Tuhan ditiadakan keberadaannya ketika kemunafikan diaplikasikan dengan hatinya yang tak kunjung terupgrade oleh hidayah dan masih betah dengan operating system yang ketinggalan jaman.

Kaya miskin, besar kecil, semua itu hanyalah sebuah sebutan. Hanya sebuah kata yang diucap dari hasil karya jumawa lidah manusia yang tak kunjung mengambil kaca terbening untuk membedakan iblis dan malaikat di wajahnya, hingga kemanapun kakinya melangkah, hanya kekosongan yang menutupi keseluruhan kornea matanya.

"Apa kamu, hanya seorang kuli kok sampe berani mimpi mencium seorang putri!".

"Kamu kira kamu ini siapa? Brani braninya membayangkan sarapan dengan meja makan porcelain peninggalan dinasti Ming!".

"Dia itu siapa?".

"Dia kan cuma....".

"Dia itu kan hanyalah....!"

Bahkan seekor sapi tak pernah sombong karena dagingnya dihalalkan ketimbang babi? Lalu meludahi babi sebagai binatang haram?. Sementara kamu, ... Kamu yang dibaluri do'a semenjak lahir ke dunia bisa secongkak itu melebihi seekor binatang?.

Senandung ini mungkin sumbang, mungkin pula tak selembut angin malam yang mengusap tengkukmu kala berdzikir malam. Senandung parau nan memuakkan. Tapi ketahuilah, senandung getir dari tanah seberang ini lebih iklas dari senandung senandung keseharianmu yang masih suka mengunyah duniawi, menafikkan ukhrawi dan menuhankan benda benda yang membungkus jasad kasarmu.

Senandung sumbang yang sangat merdu di telinga seorang pencari nafkah di tanah sebrang, senandung sumbang yang sangat menentramkan manakala dinyanyikan saat hening menelan malam, senandung sumbang yang terasa menyejukkan manakala bersimpuh pasrah mengharap pertemuan dengan sang Lailatul Qodar.

Salam kereria...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun