Pitana kemudian menyuguhkan implikasi dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta yang bakal membuat anda merasa miris sekaligus trenyuh. Pasalnya, keraton yang dahulu pusat pemerintahan, kini harus pasrah menerima takdir sejarah dengan menjadi bagian dari pemerintah kelurahan. Hidup matinya keraton ditentukan kucuran dana pemerintah. Raja hanya dipandang sebagai kepala keluarga. Komunitas keraton pun harus rela dipersamakan dengan masyarakat kebanyakan. Ironisnya, keraton justru menjadi lembaga legitimasi bangsawan modern. Gelar-gelar kebangsawanan pun diobral kepada kaum elite bak barang dagangan.
Namun, di balik kondisinya yang serba memprihatinkan, keraton masih dipercaya masyarakat sebagai panutan budaya Jawa. Melihat kenyataan tersebut, Pitana memberikan solusi, yakni keraton harus membangun ruang kesadaran baru atas peran keberadaannya di tengah perubahan (hlm 145).
Buku Dr. Titis Srimuda Pitana kaya akan literatur yang hampir mencapai 300 buah. Ia membangun argumentasi yang detail, logis, dan menggunakan diksi yang tepat sehingga buku ini sangat enak dibaca. Buku ini ibarat oase di tengah keringnya analisis kaum positivis yang hanya mampu menggapai kulit luar objek penelitiannya sendiri. Oleh sebab itu, buku ini sangat layak dibaca siapa saja yang peduli dengan masa depan Keraton Surakarta. Harapannya, Keraton Surakarta mampu bangkit dari kondisi sakaratul maut sehingga dapat kembali mengemban tugas sebagai penegak budaya Jawa. Selamat Membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H