Mohon tunggu...
Humaniora

Keraton Solo for Sale

1 Juni 2016   18:19 Diperbarui: 1 Juni 2016   18:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Buku   :  Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta

Penulis         :  Titis Srimuda Pitana

Penerbit       :  STAIN Press, Purwokerto

Cetakan       :  I, 2014

Tebal              :  x + 182 halaman

ISBN              :  978-602-7636-28-6

Keraton Surakarta adalah bukti kemegahan konsep arsitektur Jawa yang sarat dengan makna simbolis. Keindahan arsitekturnya mengandung daya pikat yang mampu menawan hati wisatawan domestik hingga mancanegara. Kisah sejarah hingga kehidupan para raja pun dikemas menambah sensasi kenangan kejayaan masa lampau.

Ternyata, realitas tersebut  merupakan sebuah realitas ciptaan. Dengan kata lain, sebuah konstruksi baru dari sebuah kontruksi sebelumnya yang telah didekonstruksi. Realitas inilah yang dianalisis secara tajam oleh Titis Srimuda Pitana, seorang pakar arsitektur Jawa dengan bukunya “Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”.

Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta ini dengan berani membongkar makna terdalam arsitektur Keraton Surakarta yang sudah mengalami perubahan secara radikal. Dalam kosmologi Jawa, raja adalah pusat kekuatan kosmis dan keraton adalah pusat kerajaan numinus. Begitulah pendapat Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Jawa (1984). Namun, realitas alam republik menunjukkan bahwa negara telah membunuh metafisika keraton dengan menetapkan Keraton Surakarta sebagai aset dan warisan budaya (heritage).

Berbekal paradigma kajian kritis, Pitana menelusuri jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta dengan membaginya ke dalam tiga dekonstruksi makna simbolik. Pertama, dekonstruksi makna simbolik pola tata ruang dan bangunan Keraton Surakarta. Kedua, dekonstruksi makna simbolik perwujudan arsitektur Keraton Surakarta. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik raja dan Keraton Surakarta. Ketiganya menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap arsitektur keraton sebagai objek bergantung kepada kita sebagai subjek, termasuk negara dan internal keraton sendiri.

Pitana berhasil menampilkan fakta-fakta mencengangkan yang terjadi di Keraton Surakarta. Ia mengungkapkan bahwa realitas kekinian membuat keraton hanya menjadi komoditas yang diperebutkan oleh banyak pihak, yakni negara, swasta, dan keraton sendiri. Arsitektur Keraton Surakarta yang merupakan representasi ajaran hidup (suluk) harus mengalami reduksi makna sakralitas. Malahan, Alun-alun Utara sempat digunakan sebagai panggung pentas goyang-goyang erotis penyanyi Dangdut dalam Perayaan Jumenengan Paku Buwana XIII. Edannya, Alun-alun Selatan sempat menjadi sarang perjudian dan prostitusi. Dengan demikian, keraton hanya dipandang sebagai sumber pundi-pundi kekayaan kaum kapitalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun