Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 secara tidak langsung juga memberikan amanah kepada pemerintah untuk menjadi penanggung jawab utama dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Mengelola bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran rakyat perlu juga mempertimbangkan kemakmuran rakyat di masa yang akan datang. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan, sehingga tidak merusak lingkungan dan tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan masyarakat yang bergantung pada lingkungan hidup yang sehat, misalnya menjaga keberlangsungan alam yang dipergunakan oleh masyarakat adat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sayangnya, tindakan pemerintah yang sering menutup mata terhadap pembukaan lahan ilegal, bahkan mendukung ekspansi dan konsesi lahan secara berlebihan, baik untuk pertambangan maupun perkebunan sawit, menunjukkan komitmen yang lemah terhadap pelestarian lingkungan Indonesia.
Saat memberikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta pada Senin, 30 Desember 2024, Presiden Prabowo mengucapkan sebuah pernyataan yang menjadi kontroversi. “Kalau ada deforestasi, ya kita tanam sawit lagi. Itu juga baik untuk ekonomi,” ujarnya. Pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan fakta bahwa konversi hutan menjadi perkebunan sawit secara masif justru menyebabkan penurunan drastis keanekaragaman hayati. Berbagai jurnal ilmiah seperti Ecological and Socio-economic Functions Across Tropical Land Use Systems After Rainforest Conversion, yang ditulis oleh Jochen Drescher dari Departemen Ekologi Hewan, Universitas Göttingen, telah membuktikan secara ilmiah bahwa monokultur kelapa sawit hanya mampu menopang sebagian kecil spesies yang sebelumnya hidup di hutan tropis serta merusak ekosistem alami yang krusial bagi keberlangsungan lingkungan.
Sementara itu, berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), lebih dari 20 juta hektare hutan Indonesia telah beralih fungsi menjadi tambang dan perkebunan sawit, banyak di antaranya tanpa izin atau melalui praktik korupsi. Salah satu contohnya adalah pembukaan lahan sawit ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, yang mencakup lebih dari 19.000 hektare pada tahun 2020. Aktivitas ini melibatkan perusahaan besar yang bekerja sama dengan oknum dari pihak-pihak berwenang, merusak habitat satwa langka seperti harimau, gajah, dan orangutan. Hal serupa pun juga dapat dijumpai di Pulau Kalimantan dan Papua yang telah mengalami deforestasi skala besar dalam 10 tahun terakhir.
Selain itu, dari aparat negara dalam pembukaan tambang emas ilegal di kawasan hutan lindung di Gunung Pongkor, Bogor, Jawa Barat, yang terungkap pada tahun 2022. Oknum MN, bagian dari aparat negara, diduga memberikan perlindungan terhadap aktivitas ilegal yang melibatkan jaringan besar penambang liar sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Dilansir dari artikel WALHI yang berjudul Kajian terbaru soal Papua: Terungkap Indikasi Kepentingan Ekonomi Dalam Serangkaian Operasi Militer Ilegal Di Intan Jaya, Papua, Kasus serupa juga terjadi di Papua pada 2021. Konflik tanah di kawasan Intan Jaya antara masyarakat adat dan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia yang terindikasi berhubungan dengan oknum aparat militer/polisi mengakibatkan adanya intimidasi dan penggusuran paksa terhadap masyarakat adat setempat.
Kerap kali kasus penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan pada aparat dan lembaga pemerintah hanya dilabeli sebagai tindakan "oknum" di media massa dan siaran pers lembaga terkait. Padahal, dengan frekuensi skandal yang sangat sering, seharusnya menjadi alarm bahwa persoalan penyalahgunaan kekuasaan bukan sekadar masalah individu, melainkan cerminan dari pembusukan sistematis yang bersifat struktural. Dengan terus-menerus menempatkan kesalahan pada "oknum," akan timbul kecenderungan untuk mengabaikan akar masalah berupa budaya impunitas, lemahnya pengawasan, serta jejaring korupsi yang telah mengakar dalam birokrasi maupun institusi negara.
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, berisiko mencelakai masa depannya sendiri karena pengelolaan SDA yang tidak berkelanjutan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah mengatur bahwa sumber daya alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, berdasarkan sumber yang terungkap dalam artikel ini, hanya segelintir elite politik dan bisnis yang menikmati keuntungan, sementara lingkungan dan hak masyarakat adat terabaikan. Pemerintah Indonesia, baik di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo maupun Presiden Prabowo Subianto, dapat dinilai gagal dalam menjalankan amanah konstitusi yang menugaskan negara untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI