Fashion ala suporter sepak bola Inggris maupun Italia nampaknya jadi budaya yang sah-sah saja jika diikuti oleh suporter sepak bola kita. Meskipun, rasanya kurang cocok jika suporter kita yang tinggal di daerah tropis mengenakan pakaian seperti parka yang cocok dikenakan di daerah dengan empat musim.Â
Yang penting suporter kita jadi lebih modis ketika dateng ke stadion dan tidak lagi menggunakan sandal yang menurut saya berbahaya karena dapat mencederai kaki jika terinjak oleh orang lain ketika banyak bergerak di tribun penonton.
Jika budaya fashion sepak bola eropa pantas-pantas saja untuk ditiru, ada hal yang jangan sampai ditiru oleh suporter klub sepak bola dari kultur eropa yaitu rasisme. Suporter klub sepak bola Italia boleh saja jadi yang paling modis di seluruh dunia, tapi soal etika hilang respek rasanya pada sepak bola Italia karena sangat lekat dengan rasisme.Â
Kasus yang belakangan ini menguak yaitu kasus rasisme terhadap Moise Kean, pemain Juventus dan timnas Italia keturunan Afrika yang mengalami rasisme saat pertandingan melawan Cagliari.Â
Sejak awal pertandingan suporter Cagliari mengeluarkan teriakan yang menyerupai suara monyet untuk mengejek Moise Kean. Di menit ke-85 Kean mencetak gol lalu berlari menuju pendukung lawan dan berdiri terpaku sambil merentangkan tangan di depan mereka.
Kasus yang dialami Moise Kean adalah kasus rasisme kesekian kalinya yang terjadi di sepak bola Italia. Yang mengecewakan dari kasus ini, setelah pertandingan pelatih Juventus Massimiliano Allegri dan rekan satu tim Kean, Leonardo Bonucci justru berkomentar bahwa apa yang dilakukan Moise Kean terlalu reaktif dan tidak perlu dilakukan.Â
Hal ini sangat disayangkan karena rekan satu tim dan pelatih yang merupakan orang Italia ras kulit putih seharusnya adalah pihak yang ikut protes terhadap tindakan rasisme bukan malah menunjukkan sikap defensif.Â
Rasisme nampaknya akan selalu menjadi budaya sepak bola Italia, karena FIGC atau federasi sepak bola Italia juga memiliki sikap buruk dan tidak tegas terhadap kasus-kasus yang terjadi. Bahkan, FIGC memutuskan bahwa suporter Cagliari yang jelas-jelas melakukan tindakan rasisme tidak bersalah dan akhirnya tidak disanksi karena menganggap rasisme dilakukan hanya oleh segelintir orang. Budaya yang jangan sampai ditiru oleh suporter maupun federasi sepak bola Indonesia.
Urusan rasisme sepak bola kita harus meniru budaya sepak bola Belanda yang lebih tegas mengenai tindakan yang tidak beretika ini. Di kompetisi sepak bola Belanda, wasit akan dengan tegas menghentikan pertandingan jika ada tindakan rasisme yang terjadi seperti suporter yang menirukan suara monyet untuk mengejek pemain keturunan Afrika.Â
Tindakan ini pernah terjadi ketika wasit dua kali menghentikan pertandingan antara AZ Alkmaar melawan Den Bosch berlangsung dimana suporter Den Bosch berteriak dan bersiul mengejek Jozy Altidore pemain AZ Alkmaar asal Amerika Serikat keturunan Afrika.Â
Meski reputasi kompetisi sepak bola Belanda tidak sebesar kompetisi sepak bola Italia, namun ada hal yang perlu ditiru yaitu budaya ketegasan akan melawan tindakan rasisme. Sepak bola Indonesia harus punya budaya yang tegas menentang rasisme jika nantinya terjadi.Â