Daripada sekadar ikut-ikutan mengikuti tagar (Tanda Pagar) paling eksis di linimasa (timeline) Twitter.
Ke-kepo-an saya pun terpuaskan. Lari pagi saya juga turut dikhatamkan, dan kaki ini mulai melangkah ngulon, ke barat. Turun dari dataran tinggi itu, kembali ke downtown/pusat kota. Indomie dan telur sudah menunggu untuk dimasak di dapur bersama kosan mungil itu.
Telefon genggam yang dari tadi saya silent pun saya normalisasi kembali. Dan dalam sekejap pemberitahuan (notification) demi pemberitahuan dari pelbagai grup entah WhatsApp entah Line, kembali menerjang layar dan merenggut banyak nyawa baterai saya.
Padahal ini adalah alasan saya tetap lari pagi di pagi dingin kelabu khas Belgia itu - sudah muak dengan terlalu banyak info yang ada. Pagi-pagi sudah bahas bom, pelbagai grup pula, capek otak ini. Belum lagi sebenarnya saya harus belajar untuk ujian esok hari. Jadi daripada semakin tidak produktif, tuntaskan kewajiban lari harian dulu.
Sembari berjalan sembari melihat groupchat, nuansa grup-grup yang sejam lalu masih mencekam dan seakan dibawah kekalutan, kini mulai mengembang sesuai tipe grup tersebut - ada yang masih berdiskusi, kenapa bisa seperti ini, apa ini pengalihan isu freeport? Apa teori konspirasi lainnya yang beredar? Analisa video live-nya. Ada pula yang justru tertawa dan saling mengunduh (dan membuat!) Memes lucu yang mengundang tawa, “Sebelum nangkep teoris - makan kacang dulu”. Ada juga yang menunjukan solidaritas, bertukar kata-kata macam #JakartaBerani atau #KamiTidakTakut lengkap dengan poster digital yang tak kalah kece. Sampai-sampai Daniel Ziv harus berkata macam ini :
Tentara Belgia di depan Gare Centrale (Stasiun Pusat) ketika Lockdown Brussels. Copyright Getty Images
Di mata anak Indonesia satu ini, lockdown tersebut memang sedikit berlebihan. Sedikit lebay - hal itu bukanlah karena bom, hanya penangkapan teroris. Kejadiannya pun terjadi di Molenbeek, salah satu daerah pinggiran rawan kemiskinan dan banyak imigran. Hebat sekali ketika kemudian yang menanggung konsekuensi seluruh kota, terutama saya yang tinggal di Centrum alias jantung kota. Kalau di Jakarta, mungkin seperi jika ada baku tembak menangkap grup teroris di Bantargebang (dih grupe kuwi ra kelas mbanget yo?). Kemudian satu Jakarta, semua, transjakarta, KRL dan gedung pemerintah, harus ditutup - membayangkannya saja saya sudah ketawa-ketawa sendiri di kepala; Mana mungkin!
Dan kejadian Sarinah kemarin membuat saya percaya, memang lockdown kemarin terlalu lebay. Efeknya pun sama lebaynya - percakapan grup kami minim hiburan dari meme, tidak ada teori konspirasi - ada yang berdebat, namun levelnya kadang kala terlalu serius. Sampai-sampai debat itu berhasil membuat saya mengalahkan rasa malas gerak dan mulai lari pagi/sore lagi. Dan semuanya terjadi di media sosial karena tidak ada yang berani atau bisa keluar dari daerahnya! Kala itu, yang tetap jalan keluar daerahnya, hanya saya dan beberapa teman saya - masing-masing dari Lebanon, Kroasia, Arab Saudi, Albania, dan saya Indonesia; justru dari negara-negara macam ini. Bukan dari Amerika, Belanda atau orang Belgia itu sendiri. Mayoritas mereka, seperti yang sudah saya gambarkan, menjadi abu-abu. Monotonal - persis mayoritas gedung di Brussels. Hanya terfokus pada permasalahan tersebut dan efeknya pada kehidupan mereka dan teman maupun keluarganya.
Sementara pagi itu (sore waktu Jakarta), tak sampai 5 jam dari tragedi dekat Sarinah itu - tiap-tiap komunitas di Indonesia sudah menginterpretasikan kejadian dengan cara masing-masing. Yang sering ngguyon, ya tetap memelintirkan tragedi ini menjadi bahan dasar tawa. Yang serius nan kritis, ya menganalisis kejadian ini. Yang suka konspirasi, ya tetap saja mengait-ngaitkan kejadian ini dengan teori apapun itu. Melihatnya saya bangga dan bahagia - bukan hanya itu bukti bagi saya, yang bahkan terpisah 6 jam dari Jakarta pun, dengan mudah mendapat hawa yang beredar, bahwa memang kita tidak takut. Memang Jakarta berani.
Tapi hal itu juga bukti bahwa kebhinnekaan, keragaman, memang bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita - sekali lagi, mungkin, karena kita telah terbiasa.