Mohon tunggu...
Arkandiptyo
Arkandiptyo Mohon Tunggu... -

Pelajar kehidupan di ibu kota eropa (brussels, Belgia)... Walau sudah bisa berbahasa Inggris, Prancis, Ceko dan Serbia, tetap tak bisa move on dari Indomie, Kerupuk dan Sambel setelah lari pagi 5km. Semua sambil diiringi mendebat isu terkini, atau sekadar mengamati kehidupan khayalak umum

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kita Sudah Terbiasa - Antara Aksi Teror Jakarta dan Brussels

16 Januari 2016   19:58 Diperbarui: 16 Januari 2016   20:07 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbiasa dengan perbedaan masing-masing individu di komunitas kita yang majemuk. Terlebih lagi di Jakarta, dimana semua kepribadian dan budaya dari seluruh Sabang hingga Merauke tumpah ruah. Hasilnya sebuah kota yang tak keruan dan penuh kemacetan, namun ngangeni dan khas. Kita sudah terbiasa, membiarkan yang senang membuat meme dan caption lucu menghibur kita. Juga membiarkan para penyuka teori konspirasi membuat kita mempertanyakan keabsahan informasi. Ataupun membiarkan lingkaran kerumunan macam ini menganggu lalu lintas kita; entah itu tragedi teroris macam ini maupun tabrakan - kita membiarkannya, menerima semuanya sebagai bagian dari kehidupan Indonesia, bahkan kita menjadi terhibur dengan keadaan mereka, yang mungkin kadangkala terlalu “norak” atau di ekstrem lainnya, provokatif.

Tidak sekedar menerima sementara dalam hati tidak sreg, seperti yang terjadi di Brussels ini. Tidak jarang saya menerima pandangan mata yang menusuk, atau raut muka yang memualkan perut, karena saya dikira berasal dari Afrika. (memang stigma imigran dari benua tersebut lebih sering negatif dibanding positif disini). Masih segar ketika lockdown saja, ketika serombongan turis yang amat bising suaranya dapat melenggang dengan santai, sementara saya harus diberhentikan dua tentara sambil ditanya “cest quoi monsieur dans ton sac?” - apa isi tas saya.

Mereka menerima keberadaan kami, namun dapat terasa, “anginnya” dari beberapa yang tidak setuju. Sementara mayoritasnya, sisanya, sambil lalu, menerima dan membiarkan begitu saja. Lakum dinukum waliya din, bagimu agamamu bagiku agamaku. Hidupku ya urusanku, hidupnya ya urusannya. Bukan kemudian ikut turun tangan dan tertawa riang, bukan kemudian turut share meme lucu. Tidak. Hal macam itu hanya ada di Indonesia tidak di benua biru ini.

Namun tidak berarti kehidupan Eropa ini sebiru warna benderanya. Mereka peduli, tidak sekadar kepo. Kalau memang ada yang butuh bantuan, mereka sigap. Satu kali saya jogging di daerah yang agak terjal dan terjatuh. Beberapa orang di sekitaran langsung datang menanyakan keadaan, menanyakan bagaimana saya bisa pulang, memberi tissue untuk membersihkan luka di lutut saya. Walau sebenarnya luka saya tidak separah itu.

Lucunya, bahkan dalam keadaan itu mereka masih sangat berbeda - ketika saya hanya bisa berkata “pas de probleme, Madame, y’a de metro - j’peux rentrer moi-meme.”, menunjuk pada halte Metro/MRT didekat, bahwa saya bisa pulang sendiri dan tidak usah ke dokter terdekat. Mereka mengiyakan dan hanya mengantar saya ke Metro. Lagi-lagi harus saya akui orang Belgia, dan mayoritas Eropa, memang penganut garis keras ayat Quran satu itu - Lakum dinukum waliya din. Kalau memang orangnya tidak mau diantar, ya tidak usah. Kalau memang orangnya tidak mau makan, ya tidak diberi. (Ya, saya pernah menolak makanan satu kali - dan mereka memang kemudian tidak menghidangkan untuk saya). Jangan justru memaksa.

Dari sudut pandang orang Indonesia, memang awalnya terkesan begitu keras, begitu tidak sopan. Tapi inilah Belgia, inilah Eropa. Ia mengajari saya yang masih sangat muda ini untuk hidup begitu mandiri.

Tidak seperti di kampung halaman dimana kita sudah terbiasa mencampuri urusan orang lain. Yang walau lebih sering banyak mundharatnya, tapi tetap kita lakoni. Tetap kita biarkan dan lanjutkan untuk saling mencampuri urusan dan saling peduli. Peduli dengan cara kita masing-masing…

Namun pada akhirnya, semua positivitas hari itu, keberanian itu, kepedulian itu tersebut mungkin juga berakar pada fakta ironis - yang sudah dikemukakan Cak Nun, “Orang Indonesia tidak takut, karena kita sudah terbiasa…

Terbiasa hidup susah.”


Karena FPI yang mendobrak klub malam atau Forkabi yang sering buat bazar malam dibumbui dangdutan, membuat kita tidak bisa tidur, itu tidak ada di Eropa, yang jam 8 malam saja sudah tutup toko-toko.

Karena supir taxi malam hari yang tidak selalu bisa kita percaya, disini justru dipercaya untuk membawa orang-orang aman ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun