Kita semua pasti tahu perusahaan perdagangan elektronik supermasif yang dinamakan Amazon. Perusahaan yang didirikan pada tahun 1996 oleh Jeff Bezos ini telah memakan dunia dengan jasa yang ditawarkan.Â
Situs ini mampu menghubung penjual di ujung dunia ke pembeli dalam waktu yang instan. Selain itu, paket langganan seperti Amazon Prime yang menawarkan pengiriman gratis, diskon, dan berbagai macam keuntungan lainnya membuat Amazon menjadi perusahaan dengan valuasi ke-4 terbesar di dunia.
Saat ini, diperkirakan Amazon sudah memperkerjakan 800.000 karyawan full-time dan part-time. Sayangnya, banyak di antaranya protes bahwa upah minimum di Amazon terlalu kecil  untuk hidup.Â
Pada tahun 2018, upah minimum pekerja Amazon hanya menghasilkan $11 USD per jam. Meskipun itu, upah minumum nasional pada saat itu adalah $7,25 USD per jam. Walaupun sudah melebihi upah minimum nasional, bagaimana bisa terbentuknya gerakan sistematis untuk menaikkan lagi upah minimum Amazon?
Permasalahan dimulai ketika pekerja melihat kesenjangan upah antara mereka dengan pendiri dan CEO mereka, Jeff Bezos. Beliau adalah orang terkaya di dunia dengan aset sekitar $185,6 miliar USD.Â
Dalam satu detik, alumni Universitas Princeton ini menghasilkan sekitar $2.219 USD atau Rp32.600.00! Walaupun kelihatannya sangat besar, sebagian besar aset tersebut adalah dalam bentuk saham Amazon. Dalam kata lain, tidak liquid penghasilannya. Ini merupakan miskonsepsi yang banyak dipercayai orang.Â
Kembali ke Amazon, banyak karyawan yang merasa tidak adil dalam jumlah upah mereka saat melihat penghasilan CEO-nya. Karena itu, Amazon semakin tertekan setiap harinya untuk memenuhi permintaan karyawannya atau bisa mendapatkan bad press atau image yang buruk di publik. Mengingat kembali 800.000 karyawan tersebut, bisakah Amazon membiayai permintaan tersebut? Tentu saja. Tapi maukah mereka?Â
Di waktu yang sama juga, Amazon berinvestasi dalam teknologi Artificial Intelligence (AI) serta Machine Learning (ML). Pengunaan algoritme yang kompleks dalam website-nya untuk rekomendasi barang, customer service otomatis dan lain-lain menambahkan penghasilan mereka.Â
Tak hanya itu, robot gudang yang dikembangkan oleh Kiva Systems (anak perusahaan Amazon) secara efektif menghapuskan guna manusia di beberapa gudang mereka. Tren ini juga kita jumpai di restoran cepat saji dimana kasir umumnya diganti oleh robot kiosk yang sedia mengambil pesanan 24/7.
Lalu, apa hubungannya dalam upah minimum?
Mengikuti perkembangan teknologi yang semakin hari semakin tidak bergantung ke manusia, Amazon bisa menggeserkan sebagian tenaga kerja mereka ke robot yang lebih efisien, efektif, dan murah.Â
Pertama, robot tidak perlu waktu istirahat atau makan. Yang mereka butuhkan adalah biaya maintenance yang mungkin datang setiap beberapa bulan sekali. Yang kedua, robot lebih presisi dalam mengerjakan tugas dan bisa diatur semau kita. Dan yang terakhir yang juga paling penting, robot tidak akan protes!
Liciknya dari Amazon, perusahaan yang setiap tahunnya menghasilkan $280,5 milyar USD, komplain ke pemerintah bahwa ini tidak adil. Dengan senang hati, Jeff Bezos mengumumkan bahwa harusnya semua perusahaan dan usaha di Amerika Serikat juga mengikuti upah minimum yaitu $15/jam.Â
Dengan menggunakan pelobi, Amazon mampu mempengaruhi proses pembuatan undang-undang dengan "membayar" anggota parlemen untuk kepentingan mereka. Oleh karena itu, pemerintah AS setuju untuk meningkatan upah minimum dari $7,25 ke $15 pada 2025. Di mata publik, Amazon terlihat sebagai pahlawan yang ingin memperjuangkan hak buruh. Padahal, ini juga merupakan strategi mereka untuk menghapuskan kompetitor.
Hah, upah minimum bisa menghabiskan kompetitor?
Ya, sebenarnya Amazon sanggup membiayai peningkatan upah minimum tersebut. Namun, untuk bisnis-bisnis kecil atau UMKM belum tentu. Bagi mereka, peningkatan dalam upah minimum berarti memberhentikan karyawan atau mengurangi jumlah jam kerja. Apalagi untuk bisnis kecil yang profit marginnya sudah tipis.
Sebenarnya, Amazon tidak terlalu peduli terhadap peningkatan upah minimum tersebut. Mau $15 atau $150 mereka bisa mebiayainya. Hal terpenting adalah untuk semua pihak merasakan peningkatan upah tersebut agar penghasilan lebih sedikit atau mungkin bangkrut. Dan juga upah minimum yang tinggi akan menciptakan hambatan masuk (barrier of entry) yang memudahkan Amazon untuk tetap di atas dan kompetitor mereka dibawah.
Ironisnya, peningkatan upah minimum justru akan memperbesar kesenjangan upah. Karena pekerja keterampilan rendah sangat rentan terhadap PHK alhasil dari majikan yang tidak mampu mebiayainya. Akhirnya mereka terpaksa untuk menaikkan harga, mengurangi jam toko, atau beralih ke robot seperti Amazon.Â
Justru akibat dari automasi ini adalah menaiknya permintaan untuk pekerja terampil tinggi seperti programmer, data scientist, dan sebagainya yang sudah mapan upahnya. Bahkan ada penelitian yang menyimpulkan bahwa kenaikan 10% dalam upah minimum bisa menaikkan penganggurang hingga 3.4%.
Menurut penulis, konsep upah minimum harus dihapus atau setidaknya dibuat lebih kecil untuk bisnis kecil. Karyawan harus memperkuat sendiri hubungan mereka ke majikan melalui kebebasan ekonomi, bukan undang-undang upah minimum.Â
Justru karyawanlah yang menetapkan gaji mereka sendiri melalui negosiasi agar kedua pihak bisa lebih sejahtera. Dalam kasus perusahaan-perusahaan supermasif, baru diperlukan regulasi untuk mencegah eksploitasi buruh yang memang sering terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H