Mohon tunggu...
Kuntoro Tayubi
Kuntoro Tayubi Mohon Tunggu... Journalist -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah ruh, dan menebar kebaikan adalah jiwaku. Bagiku kehidupan ini berproses, karena tidak ada kesempurnaan kecuali Sang Pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Bukan Persoalan Melek Huruf

9 April 2018   23:23 Diperbarui: 10 April 2018   00:37 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan membaca tak sekadar keterampilan melek huruf, namun lebih dari itu dari kebiasaan membaca diharapkan menjadi pintu transformasi intelektual serta nilai-nilai edukasi yang diharapkan. Apalagi bagi seorang guru yang dituntut senantiasa melakukan up-gradeasupan intelektual.

Sayangnya tradisi membaca di Indonesia masih lemah. Berdasarkan rasio perbandingan antara jumlah penduduk dengan pembaca surat kabar di Indonesia tahun 2000 adalah 1 :43. Sementara Malaysia pada tahun itu 1 : 8 dan Singapura 1 : 2. Sedangkan dari 33 jumlah perpustakaan baik pemerintah maupun swasta di tahun 2006 sampai 2008 ada penurunan jumlah pengunjung yang datang yakni dari 4.708.016 menjadi 4.433.688. Dan di tahun 2008 menurun 4.421.739 orang lalu bagaimana dengan jumlah guru yang membaca.

Kondisi mentradisikan buku sebagai bagian dari asupan intelektual yang lemah dalam masyarakat kita, disebabkan beberapa hal, seperti masih melekatnya politik buku di Indonesia. Instrumen harga kertas dan berbagai pajak yang dikenakan dalam industri buku. Seperti pajak kertas, pajak tinta percetakan, pajak terhadap penerbitan, pajak penjualan, serta pajak toko buku merupakan instrumen yang menjadikan buku begitu mahal di Indonesia.

Faktor-faktor itulah yang menandakan proses dilema dari keinginan untuk membiasakan tradisi membaca dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pada perbincangan penulis dengan salah satu editor penerbit terkemuka di Indonesia, menyatakan bahwa jika harga buku diatas Rp 50.000, sudah menyebabkan psikologis bagi masyarakat Indonesia untuk mempertimbangkan membeli buku.

Tak bisa disalahkan jika kondisi tersebut juga menimpa pada guru yang notabene menjadi sosok terdepan dalam membentuk karakter manusia Indonesia. Pelantipan intelektual yang harus dilakukan guru, memaksa membaca menjadi konsumsi selain kebutuhan primer mendasar.

Apalagi di tengah akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta kebutuhan mengekslorasi materi pembelajaran yang menarik dan faktual untuk peserta didik.

Di tangan guru, akses intelektual mampu terfasilitasi jika ruang-ruang pembelajaran mampu menyuguhkan informasi yang mampu menjadikan pengaruh pemikiran bagi siswanya. Dan juga bagi pribadi sang guru. Buku tak hanya menjadi tindakan sunyi, namun ia bisa menjadi gelombang dinamika riil.

Banyak buku yang telah mewarnai dan memposisikan trendsetterpemikiran sepanjang hayat kehidupan. Sebagai contoh ajaran-ajaran filsuf Yunani Kuno seperti Plato atau Socrates tak lekang digerus zaman.

Kekayaan batin dan peningkatan kualitas humanitas seseorang dapat dilihat dari pengayaan melalui buku. Beberapa pribadi yang tercermin dari seorang tokoh (yang juga pernah menjadi guru) semacam Agus Salim, Tan Malaka, Mohmaamad Syafiie,  Hatta, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) tercermin integritas pribadi dari proses transformasi dan komunikasi melalui buku. Mereka bukan hanya menjadi guru di depan kelas, tapi mereka juga menyemai nilai-nilai kebangsaan, humanisme sebagai guru bangsa.

Buku tak hanya kumpulan aksara yang didesain sedemikian rupa, ia merupakan proses diskusi yang meretas pikiran seseorang dalam dialog dua arah antara penulisnya dengan pembacanya. Membaca merupakan aktivitas mengkomunikasikan pada batas antara dunia ide / gagasan dan dunia faktual atau riil. Tanpa disadari disinilah kekuatannya bahasa menjadi sesuatu yang mampu merubah.

Maka selain ada program Wajar 9 Tahun, Pemberantasan Buta Huruf ada baiknya galakkan program guru membaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun