Mohon tunggu...
KOMENS
KOMENS Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Komunitas Menulis di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Visi :Mengembangkan wadah Mahasiswa berprestasi di bidang karya tulis dan karangan bebas sesuai bakat yang di milikinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gitar Tak Bernada

19 April 2017   08:34 Diperbarui: 19 April 2017   08:53 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu jalanan kota Surabaya sangat padat. Klakson mobil dan motor saling bersahutan bagaikan burung yang berkicau. Terdengar pula kata kiasan khas orang Surabaya yang turut mengiringi pagi hari itu. Pagi hari itu keluarga Pak Somad tak tampak seperti biasanya. Pak Somad sibuk menyiapkan mobil untuk mengantar istrinya ke Rumah Sakit Dr. Soetomo.

“Munah... munah... tolong ambilkan selimut untuk ibu, cepat” teriak Pak Somad

“Nggih pak, sekedap”

Dengan terburu buru munah mengambil selimut berwarna kuning bergambarkan kartun rugrats. Kemudian dengan perasaan yang cemas, pak Somad menjalankan mobilnya menuju Rumah Sakit Dr. Soetomo. Nasib sial menimpa Pak Somad, belum sampai ketujuan mobil Pak Somad terjebak macet di jalan kertajaya. Kesialan Pak Somad tidak berhenti sampai situ saja, ban mobil Pak Somad terkena paku yang memaksanya harus berhenti. Pak Somad mulai dilanda kebingungan, istrinya sedari tadi tidak henti hentinya menjerit menahan sakit. Pak Somad kemudian memesan taxi untuk mengantar istrinya. 15 menit kemudian taxi pesanan Pak Somad sampai dan langsung bergegas menuju Rumah Sakit.

Rasa cemas dan bingung bercampur aduk dikepala Pak Somad. Dia tak henti hentinya memanjatkan doa meminta keselamatan istri dan anaknya. Munah yang melihat Pak Somad gelisah turut merasakannya pula. Bagaimana tidak, dia sangat dekat sekali dengan istri Pak Somad. Hampir tiap hari dia merawat istri Pak Somad yang sedang hamil tersebut. Keadaan yang genting ini membuat Pak Somad melamun karena terlalu banyak hal yang berputar dikepalanya. Ditengah lamunannya, pak Somad dikagetkan oleh seorang suster.

“Selamat pak, istri bapak melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik” kata suster yang membuyarkan lamunan Pak Somad.

Dengan refleknya Pak Somad melakukan sujud syukur yang diiringi dengan air mata kebahagiaan yang mengucur dari mata sayunya.

“Sus, bolehkah saya bertemu dengan istri dan anak saya?”

“Boleh pak, tapi Pak Somad bisa bicara sebentar dengan saya?”

Pak Somad mengangguk yang kemudian mengikuti suster menuju tempat duduk di lorong Rumah Sakit tersebut. Munah yang dari tadi merasa bahagia dengan kabar yang diberikan suster tadi sedikit bertanya tanya apa yang dibahas oleh Pak Somad dan suster tersebut. Tak berselang lama, pak Somad berjalan menuju ruangan istrinya dengan wajah yang sedikit terlihat shock.

“Kenapa tuan bermuka shock begitu, adakah hal yang terjadi?” Munah membatin dalam hatinya

Langkah berat mengiringi Pak Somad menuju tempat tidur istrinya. Istrinya masih tergeletak lemas setelah melahirkan tadi. Sebisa mugkin Pak Somad menyembunyikan wajah shocknya didepan istri tercintanya. Tapi hal itu sia sia, istrinya mengetahui perasaan Pak Somad.

“Kenapa Abi, kok begitu wajahnya?” dengan suara lirih

“Enggak apa apa umi, bagaimana keadaaanmu?”

“Masih lemes bi, mungkin umi butuh istirahat”

“Istirahat dulu ya, pulihkan dulu tenaga umi” kata Pak Somad sembari menyelimuti istrinya.

Sembari menunngu istrinya tidur, pak Somad nampak kebingungan. Kadang kali dia bergumam pada dirinya sendiri tentang apa yang harus ia lakukan.

Waktu demi waktu berlalu, istri Pak Somad akhirnya pulih kondisinya. Istrinya yang dari tadi bingung dengan wajah shock dari suaminya tersebut memberanikan diri lagi untuk bertanya perihal hal yang membuat Pak Somad shock.

“Bi, sepertinya ada hal yang disembunyikan dari umi, apa itu bi?”

“hmmm.... ini tentang bayi kita” jawabnya dengan nada yang gelisah.

“Kenapa dengan bayi kita bi?”tanya istrinya dengan ekspresi kaget.

“Kita dikasih bayi perempuan, tapi.... dia tidak bisa berbicara” jawab Pak Somad dengan menunduk.

Istrinya yang mendengar kabar tersebut lansung jatuh terduduk lemas diirigi air mata yang mulai menetes. Pak Somad merasa sedih melihat istrinya, dia sebisa mungkin membujuk istrinya untuk menghentinkan tangisannya.

Mobil Pak Somad berjalan meninggalkan Rumah Sakit tersebut. Istrinya tak henti hentinya menangis sambil menggendong buah hati yang baru dilahirkannya. Sesampainya dirumah, tangisan tersebut belum terhenti. Pak Somad merasa kasihan terhadap istrinya.

“Bi, umi nggak mau kalo bayi kita seperti ini bi, umi...” dengan terisak

“Umi yang sabar, ini mungkin adalah jalan yang diberikan oleh Allah kepada kita”

“nggak bi...nggak, umi nggak bisa menerimanya”

Berbagai cara dicoba Pak Somad untuk menenangkan istrinya, tetapi semua usahanya sia sia. Dikeadaan yang membingungkan tersebut terceletuk kalimat yang tak enak didengar.

“Bi, umi nggak mau anak ini, buang saja anak ini. Umi nggak mau anak ini berada dalam keluarga ini”

Pak Somad kaget mendengar kalimat yang diungkapkan  istrinya. Melihat kondisi istrinya yang tak henti hentinya menangis, membuat Pak Somad membulatkan tekad menuruti permintaan istrinya tersebut.

Pak Somad dan Munah berangkat menuju flyover untuk membuang bayi yang baru berusia 2 hari tersebut. Berwadahkan kardus bekas dan selimut kuning untuk melindungi bayi tersebut dari dinginnya udara kota Surabaya Pak Somad memberanikan diri membuangnya dibawah flyover tersebut.. Pak Somad dan munah pulang dengan membawa banyak pikiran yang berputar dikepalanya.

.

.

.

.

10 Tahun kemudian.....

.

.

            Pak Somad sekarang menjadi keluarga yang kaya dan terpandang di kota Surabaya. Kebahagian Pak Somad dan sang istri juga semakin lengkap dengan hadirnya anak laki laki sehat yang telah berumur 4 tahun. Suatu sore yang cerah, pak Somad berkendara dengan mobilnya menuju rumahnya. Di tengah perjalanan dia menepikan mobilnya untuk menjawab telepon dari istrinya. Sang istri memintanya untuk membelikan makanan kucing karena persedian makanannya sudah mulai menipis. Setelah Pak Somad menutup teleponnya dia melirik keseberang jalan, dia melihat seorang anak laki laki yang membawa gitar tua sedang duduk termenung dipinggir jalan.

“Siapa namamu nak?” tanya Pak Somad

Anak tersebut menuliskan sebuah nama di atas tanah

“Faris namamu, kenapa kau menjawab pertanyaanku tadi dengan menuliskannya di tanah?”

Faris memberikan sebuah bahasa isyarat yang menunjukan dia tidak bisa berbicara. Pak Somad lantas merasa kasihan terhadapnya, dia pun mengajaknya untuk tinggal bersamanya. Faris hanya menggangguk tanda dia setuju ajakan Pak Somad. Pak Somad kemudian mengajaknya pulang. Selama diperjalanan Pak Somad sering kali melirik faris, dia teringat akan kejadian 10 tahun lalu saat ia membuang anak pertamanya yang juga tidak bisa berbicara.

“Seandainya anakku yang kubuang dulu masih bersamaku, usianya mungkin sebaya dengan anak ini. Aku harus menolong anak ini sebagai penebusan dosaku pada masa lalu” gumamnya pada batin.

            Tak lama kemudian mobil Pak Somad sampai dirumahnya yang megah bak istana pangeran eropa. Pak Tarjo satpam rumah Pak Somad membukakan gerbang sembari melemparkan senyum ramah kearah Pak Somad. Pak Tarjo bertanya tanya dalam hati tentang siapa anak lelaki yang dimobil tuannya tersebut, tapi lamunannya tersebut lenyap seketika saat suara Pak Somad mengagetkannya. Kemudian Pak Somad masuk kedalam rumahnya dan memanggil istrinya. Pak Somad mengutarakan maksudnya membawa faris kerumah. Setelah dijelaskan panjang lebar, istri Pak Somad setuju dengan tujuan suaminya. Kemudian Pak Somad memanggil seluruh penghuni rumah dan memperkenalkan faris beserta tujuannya mengangkat faris sebagai anaknya. Semua penghuni rumah setuju dengan Pak Somad dan memuji kebaikan Pak Somad.

            Hari Berganti hari, Faris tumbuh menjadi anak yang sangat tampan. Ketampanan Faris membuat istri Pak Somad terkesima dengannya, akan tetapi Faris merupakan anak yang pendiam. Tiap hari dia hanya termenung didalam kamarnya, dia hanya keluar pada saat jam makan dan saat dipanggil Pak Somad. Pada suatu hari Istri Pak Somad mencari kucing kesayangannya. Berulang kali dia memanggil kucingnya namun tak kunjung ada jawaban. Dia mencari kucingnya hampir di semua sudut rumah namun tetap tak berhasil. Hampir dia putus asa mencari kucingnya.

“Ibu.... ibu...” teriak Munah bingung.

Saat itu juga istri Pak Somad berlari ke arah Munah. Dia kaget melihat kucingnya tergeletak tak bernyawa di taman belakang rumah. Hatinya hancur seketika melihat kucing yang disayanginya kini tak bisa bermanja manja dengannya. Pak Somad yang sedang berada dikantornya dikagetkan dengan kabar bahwa kucingnya telah mati. Munah melihat sedikit kejanggalan pada kematian kucing tuannya tersebut. Dia melihat seakan akan kucing tersebut mati karena dicekik. Di leher si kucing terlihat bekas pola tali yang dibuat untuk menjeratnya.

            Semenjak kematian kucingnya, istri Pak Somad menjadi sangat terpukul dan membuatnya sering termenung dan menangis sendirian didalam kamar. Disuatu malam, Munah masih terjaga karena masih ada cucian yang harus diselesaikannya. Ditengah asiknya dia mencuci pakaian terdengar suara benda jatuh dari arah dapur. Munah saat itu memberanikan diri untuk melihatnya. 

Munah kaget melihat kondisi dapur yang berantakan, dia lantas membereskan dapur yang berantakan karena nanti tuannya akan marah karena mengira dia telah membuat dapur berantakan. Saat Munah membereskan dapur, dia melihat sekelebat bayangan seseorang yang berlari taman belakang. Munah memberanikan diri untuk melihat siapakah orang tersebut. Dia mengikuti jejak kaki yang ditinggalkan oleh bayangan seseorag tersebut. Jejak kaki tersebut masuk sampai kedalam rumah dan menuju kamar Faris. Munah berpikir apa yang dilakukan Faris malam malam dan apakah dia yang memberantakan dapur.

            Keesokan harinya, Munah yang curiga terhadap Faris dengan diam diam dia memperhatikan gerak gerik Faris. Sesekali Munah melihat Faris tersenyum dengan senyuman yang misterius. Kecurigaan Munah semakin bertambah saat dia mempergoki Faris sedang mengintip kamar Pak Somad.

“Apa yang dilakukan Faris, sebenarnya siapa itu Faris dan darimana dia berasal?”gumamnya dalam hati.

Pertanyaan itu muncul berulang kali dalam kepala Munah hingga membuatnya ingin sekali menguak identitas Faris.

            Diminggu yang tenang, pak Somad mendapat telepon dari sekertaris perusahaannya untuk melakukan meeting dengan klien. Mobil yang tadi pagi sudah siap dikendarainya menuju perusahaannya. Sepeninggalnya Pak Somad meeting Faris mulai berlaku aneh. Dia mengendap endap kekamar Munah. Munah kaget mendengar suara pintu yang terbuka yang dibaliknya ada Faris berdiri dengan senyum yang misterius.

“Faris mau apa kau masuk kekamarku?” tanya Munah

Faris hanya membalas pertanyaannya dengan senyum misterius. Senyuman itu membuat Munah takut dan mencoba untuk berteriak meminta tolong. Sebelum suara keluar dari mulutnya, mulut Munah dibekak dengan tangannya Faris.

“Diam saja jangan melawan kau pembunuh” kata Faris

Munah terbelalak kaget mendengar suara Faris yang dikiranya selama ini Faris tidak bisa berbicara. Munah berusaha untuk memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman Faris. Tapi semua usahanya sia sia, tenaga Faris lebih kuat dari tenaganya Munah. Munah hanya pasrah dan berdoa sembari meneteskan air mata bukti bahwa dia minta untuk dilepaskan.

“Apakah kau ingat dengan bayi perempuan yang 10 tahun lalu kau buang?”tanya Faris dengan nada marah

Munah kaget mendengar hal tersebut. Bagaimana Faris tahu kejadian 10 tahun lalu yang membuatnya merasa bersalah seumur hidup tersebut. Genggaman Faris sedikit mengendur, hal tersebut digunakan Munah untuk melepaskan diri dan berteriak meminta tolong. Teriakan Munah terdengar oleh Pak Tarjo dan Pak Tarjo langsung berlari menuju arah teriakan Munah. Sesampainya disana Pak Tarjo Kaget melihat Munah bersimbah darah dengan obeng tertancap dilehernya. Tiba tiba dari belakang, Faris menusuk Pak Tarjo berulang kali sampai tak bernyawa.

            Istri Pak Somad masih belum mengetahui kejadian yang barusan terjadi. Dia memanggil nama Munah berulang kali  namun tak kunjung ada respon. Dia lantas mencari Munah dikamarnya. Dia kaget melihat Munah dan Pak Tarjo sudah tak bernyawa dengan darah yang menggenangi lantai. Kemudian Faris muncul dengan senyum misterius sambil memegang pisau ditangan kanannya dan selimut kuning ditangan kirinya.

“Apakah kau ingat dengan selimut ini?”

Istri Pak Somad kaget melihat selimut yang dibawa oleh faris. Dia teringat dengan selimut yang digunakannya untuk sewaktu melahirkan anak pertamanya dulu.

“Siapa sebenarnya kau faris” tanyanya ketakutan.

Faris tidak menjawab dan langsung mengarahkan pisaunya kearah istri Pak Somad. Beruntung istri Pak Somad berhasil menghindar, dan langsung berlari ke kamar tidurnya. Dia kaget melihat anak semata wayangnya sudah terbujur tak bernyawa dan masih terdapat pisau yang menancap di perutnya. Dok... dok... dok.... suara ketukan pintu berulang kali berbunyi.

“Keluar kau dasar pembunuh, keluar kau” teriak Faris.

Dengan tenaga yang Faris miliki, dia dapat mendobrak pintu kamar sampai istri Pak Somad jatuh tersungkur.

“Dasar kau pembunuh”

seketika itu pisau menancap diperut istri Pak Somad. Faris menusuknya berulang kali hingga darah mengalir kelantai kamar.

            Tak berselang lama, mobil Pak Somad sampai digerbang rumah. Di gerbang tak ada Pak Tarjo yang biasanya berdiri menjaga rumahnya. Dia membuka gerbang rumahnya sendiri. Tak seperti biasanya keadaan rumah sepi, dia kemudian masuk dan melihat keadaan seisi rumah yang sepi sekali. Dia memanggil nama istrinya tak kunjung ada jawaban. Dia terkejut melihat darah yang mengalir dari kamar Munah. Mata Pak Somad terbelalak kaget melihat Munah dan Pak Tarjo terbujur tak bernyawa. Pak Somad langsung teringat dengan istrinya dan langsung berlari menuju kamarnya. Begitu Terkejutnya Pak Somad melihat istri dan anaknya tewas dengan pisau yang masih tertancap diperutnya. Faris berdiri dengan senyum yang menunjukan rasa balas dendam.

“Apa yang telah kau lakukan Faris!” teriak Pak Somad

Faris membalasnya dengan tersenyum. Kemudian Faris menunjukan selimut kuning yang bersimbah darah.

“Apa kau ingat dengan selimut ini?”

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Pak Somad.

“Kau telah membunuh seseorang yang telah berjasa bagiku, dia adalah panutan bagiku, dia telah membantuku dalam keterpurukan, kenapa kau tega membuangnya.”

“Aku tidak bermaksud begitu.” jawab Pak Somad.

“Dia meninggal dalam keadaan yang hina dan itu karena kau.”

Seketika itu pisau menacap di perut Pak Somad yang membuatnya tewas.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun