Mohon tunggu...
Arjuna Zubir
Arjuna Zubir Mohon Tunggu... -

seorang yang suka merangkai kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korte Verklaring; Konsesus Uleebalang dengan Kolonial Belanda Semasa Perang Aceh

2 Oktober 2014   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:38 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGULIK kembali lembar sejarah yang pernah terjadi di masa perang antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan kolonial Belanda, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan uleebalang. Ya, golongan yang menjadi pemimpin di wilayah kenegerian (nanggroe), yang berada dalam teritori Kesultanan Aceh Darussalam sebagai perwakilan Sultan Aceh. Pembagian wilayah ini mirip dengan apa yang di era kontemporer dikenal merupakan bentuk negara federasi. Hanya saja, federasi di Aceh kala itu berada dalam ruang lingkup monarkhi.

[caption id="attachment_326890" align="aligncenter" width="600" caption="Peta wilayah kenegerian (nanggroe) yang dipimpin oleh uleebalang tahun 1917 (indonesianhistory.info)"][/caption]

Tatkala kesultanan Aceh diinvasi oleh kolonial Belanda pada tahun 1870-an, golongan uleebalang pada mulanya tetap berpegang teguh bahwa setiap tindakan militer asing terhadap wilayah kesultanan Aceh akan ditanggapi dengan aksi militer balasan. Uleebalang sebagai perwakilan sultan Aceh di wilayah nanggroe-nanggroe bersama para ulama dan rakyat Aceh sangat solid dalam upaya membendung invasi kolonial Belanda. Tapi, lambat-laun para uleebalang mulai berpaling dari kebijakan yang ditetapkan oleh sultan, hingga akhirnya berbalik arah menjadi bagian dari kolonial Belanda, yang ikut-serta menumpas setiap perlawanan rakyat.

Tragedi perang Aceh dengan kolonial Belanda dimulai pada tahun 1873. Sebelum kolonial Belanda mendeklarasikan perang secara resmi terhadap kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873,sehari jelang petaka yang dimaksud, pada 25 Maret 1873, sultan Mahmud Syah dalam surat yang ia kirim kepada Komisioner kolonial Belanda (F.N. Nieuwnehuijsen) bertanya: “Apa salah kami?” (Harry Kawilarang, 2008: 58)

Namun, Nieuwnehuijsen tidak menanggapi surat sultan Aceh dengan cara damai, melainkan langsung menggempur Kesultanan Aceh di esok harinya. Pantai Kuta Raja (Banda Aceh) dihujani peluru-peluru dari kapal Citadel van Antwerpen. Pada 1 April 1873, kapal laut antara pulau Tumasik (kini Singapura) dan London terganggu. Akibatnya, London (Inggris) baru mengetahui berita pernyataan perang di Batavia (kini Jakarta) pada 5 April 1873 dan Den Haag (pusat kolonial Belanda) baru mengetahi sehari kemudian. (Loc.cit)

Kolonial Belanda menginvasi kesultanan Aceh melalui pantai Ceureumen (Ulee Lheue) Banda Aceh, pada 8 April 1873, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler berkekuatan 3.198 serdadu, termasuk 168 perwira KNIL. Kolonial Belanda menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir rapi dari pasukan kesultanan Aceh. Rencananya, Kohler ingin mendirikan pangkalan militer di sekitar muara sungai Aceh. Militer kolonial Belanda masuk ke Banda Aceh melalui jalur sungai dengan menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873. Belanda mengira Masjid itu merupakan istana kesultanan karena berada di tengah kota. Di hari yang sama, kolonial Belanda mengurangi konsentrasi pasukan di masjid karena tidak ada perlawanan. Ketika masjid dalam keadaan lengang, giliran pasukan kesultanan Aceh yang menguasainya. Hal ini menyebabkan terjadinya pertempuran sengit karena Kohler berusaha untuk merebutnya kembali. (Ibid : 60)

[caption id="attachment_326894" align="aligncenter" width="585" caption="Mayor Jenderal J.H.R. Kohler (media-kitlv.nl)"]

14122295842008482971
14122295842008482971
[/caption]

Pada hari ketiga pertempuran (14 April 1873), Kohler yang berdiri di bawah pohon besar rubuh terkapar tak berdaya dan tewas seketika, setelah terkena sebutir peluru yang ditembakkan oleh sniper pasukan kesultanan Aceh. Kematian Kohler menimbulkan kepanikan pada prajuritnya hingga kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen dan menarik mundur pasukan. Perang berkecamuk di mana-mana selama 10 hari. Rakyat Aceh bertempur gagah berani yang menyebabkan kolonial Belanda kewalahan. Invasi Belanda tahap pertama mengalami kekalahan yang sangat memalukan hingga akhirnya terpaksa meninggalkan Aceh pada 25 April 1873. (Ibid : 60-61) – Pohon besar tempat Kohler meregang nyawa dinamakan Kohlerboom (pohon Kohler).

[caption id="attachment_326896" align="aligncenter" width="750" caption="Kohlerboom (pohon Kohler). Tempat Kohler tewas dalam pertempuran (media-kitlv.nl)"]

14122296641826257008
14122296641826257008
[/caption]

Pada era akhir Kesultanan Aceh, terdapat lebih dari 100 nanggroe yang di masa Hindia Belanda disebut Landschoopen dan uleebalang-uleebalangnya disebut Zelfbestuurders, kecuali di daerah yang kini dikenal sebagai Aceh Besar, wilayah itu disebut sagoe dan uleebalang yang memerintahnya disebut Sagi Hoofd. Dalam teori, uleebalang bertindak sebagai perwakilan sultan Aceh. Tetapi dalam teknis di lapangan, dapat bertindak bebas tanpa harus terikat dengan imbauan sultan. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 85)

Menurut seorang pelaku sejarah Aceh di awal kemerdekaan Republik Indonesia yang bernama Hasan Saleh, yang dalam bukunya berjudul Mengapa Aceh Bergolak mengungkapkan bahwa:


“Pengertian uleebalang atau kaum feodal adalah para penguasa kecil yang menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda, dan bertindak sewenang-wenang kepada rakyat selama masa penjajahan Belanda.” (Hasan Saleh, 1992: 15)

Ketika eksistensi kesultanan Aceh terdesak oleh invasi kolonial Belanda pada tahap kedua (9 Desember 1873), sejumlah uleebalang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Rombongan uleebalang ini dipimpin oleh Teuku Nek Meuraxa. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 101) – Belanda mengerahkan 22 kapal perang yang mengangkut 8.545 pasukan tempur dan 4.560 pendukung non-tempur, yang pada umumnya buruh paksa dan 243 perempuan dari pulau Jawa. (Harry Kawilarang, 2008: 81) – Inilah awal mula pengkhianatan uleebalang terhadap sultan, ulama dan rakyat Aceh; di mana konsesus antara uleebalang dengan kolonial Belanda dituangkan dalam perjanjian yang dikenal sebagai Korte Verklaring, yang isinya merupakan penyerahan diri kepada kolonial Belanda secara mutlak. (Hasan Saleh, 1992: 15)

[caption id="attachment_326899" align="aligncenter" width="286" caption="Teuku Nek Meuraxa (dok. buku De Atjehers karya Snouck Hugronje)"]

1412229784563072011
1412229784563072011
[/caption]

Kemudian pada tahun 1898, perjanjian ini diperbaiki oleh Snouck Hugronje dengan memasukkan klausul baru, yang menganggap musuh kolonial Belanda sebagai musuh uleebalang dan mengakui nanggroe uleebalang sebagai bagian dari Hindia Belanda. (Nazaruddin Sjamsuddin, 1998: 16-17)

Untuk memperkuat relasi dengan uleebalang, pemerintah kolonial Belanda memberikan gaji yang berkisar antara 100 – 500 gulden per bulan; jumlah penerimaan ini jauh lebih besar daripada pendapatan seorang ulama yang hanya 10 gulden per bulannya. Sebagai tambahan, para uleebalang juga menerima sebagian pajak ekspor-impor dan cukai. (Ibid : 18) – Sebab inilah yang di kemudian hari menimbulkan friksi tajam antara uleebalang yang telah memposisikan diri sebagai perwakilan kolonial Belanda dengan rakyat Aceh hingga meletusnya peristiwa revolusi sosial atau dikenal sebagai perang Cumbok, yang mengakhiri penindasan uleebalang terhadap rakyat Aceh.

Dalam harian Kompas 16 Januari 1983, Van Koningsveld dari Vrij Universiteit di Amsterdam menuturkan, bahwa menurut pandapat Snouck:


“Perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingannya adalah niaga. Islam harus dinilai sebagai faktor yang sangat negatif karena membangkitkan fanatisme anti-Belanda di kalangan rakyat. Setelah para pemuka gama ditumpas, maka pengaruh agama menjadi tipis di Aceh, sehingga para uleebalang dapat dengan mudah menguasai situasi.” (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 104)

Sebelum perang Pasifik pecah, di wilayah Aceh kecuali wilayah yang kini dikenal sebagai Aceh Besar, terdapat 102 uleebalang atau Zelfbestuurder yang merupakan “raja-raja” kecil yang absolut. Di wilayah yang dihuni ratusan penduduk, uleebalang memegang kendali kekuasaan terhadap rakyat Aceh secara berketurunan (turun-temurun) atas nama sultan Aceh. Akan tetapi, lambat-laun hubungan antara uleebalang dengan sultan semakin lemah. Hingga akhirnya uleebalang memisahkan diri dari sultan dan bertindak dengan leluasa. Uleebalang menjadi “raja-raja” kecil di daerahnya. Dengan demikian, mereka mudah bekerjasama dan mengadakan perjanjian dengan kolonial Belanda tanpa terikat dengan aturan sultan Aceh. (Ibid : 105)

Hubungan yang harmonis antara uleebalang dengan kolonial Belanda melalui kerjasama menumpas perlawanan rakyat, juga terlihat dari kepercayaan yang diberikan oleh Gubernur Hindia Belanda wilayah Aceh, Laging Tobias, yang mengutus seorang lelaki yang kelak dikenang sebagai pahlawan Aceh yang bernama Teuku Umar, dalam misi membebaskan sandera awak kapal uap SS Nisero milik Inggris yang ditawan di kawasan pantai Teunom. (Harry Kawilarang, 2008: 114) – Pembahasan tentang insiden yang menggemparkan dan menjadi topik hangat media terkemuka di Eropa kala itu, tidak diuraikan secara khusus dalam artikel ini.

Perjanjian yang dinamakan Korte Verklaring memperlihatkan secara jelas bagaimana “kedekatan” uleebalang dengan kolonial Belanda di saat perang Aceh sedang berkobar. Di mana pengkhianatan selalu hadir dalam setiap perjuangan. Konsesus antara uleebalang dan kolonial Belanda menjadi suatu catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh setiap generasi negeri ini.

Arjuna Zubir

REFERENSI

Kawilarang, Harry. [Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki], Bandar Publishing, Banda Aceh, 2008

M. Nur El Ibrahimy. [Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh], Media Da’wah, Jakarta, 2001

Hasan Saleh. [Mengapa Aceh Bergolak], Grafiti, Jakarta, 1992

Nazaruddin Sjamsuddin. [Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949], UI Press, Jakarta, 1998

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun