Mohon tunggu...
Arizona San
Arizona San Mohon Tunggu... -

seorang yang benci keramaian namun takut berjlan sendirian,, seorang yang sedang belajar merangkai kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beranda Senja

1 September 2014   04:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:57 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lorong waktu tak berpintu membawaku kembali berada di beranda senja ini. Beranda senja yang melukiskan siluet-siluet jingga pada mega. Beranda senja dengan segala keindahannya. Keindahan yang  akan terhapus oleh jejak-jejak malam. Disini, ditempat yang sama, diwaktu yang sama, berpayungkan langit yang sama dan bernafaskan udara yang sama aku kembali.

Kembali untuk menanti kehadiranmu. Duduk ditempat yang sama setiap senja. Merajut harapan demi harapan.Harapan yang selalu aku rajut dengan benang-benang kerinduan. Namun sulaman harapanku mulai terkikis oleh waktu meskipun harapan itu telahku tancapkan kokoh pada relung hati.

Ku hanya terdiam ditemani kehampaan hati. Hati yang selalu dipenuhi harapan tentang mu. Walaupun hari ini aku tau penantian panjangku akan sia-sia. Harapan yang ku simpan akan hilang begitu saja. Sekarang waktu benar-benar membunuh harapanku sampai keakar-akarnya.

Waktu semakin memburu memaksaku tuk kembali pulang. Namun aku tetap bergeming, terdiam disini. Mataku menerawang ke angkasa menyaksikan burung camar mulai kembali ke sarangnya.

Senja mulai digelayuti awan hitam. Semburat jingga yang terlukis indah di cakrawala mulai menghilang dengan pasti. Berganti dengan hitam yang gelap. Angin mulai berlari kencang membawa dedaunan terbang bersamanya.

Memoriku mulai menari bersama hembusan angin. Memori mulai memutar episode-episode tentang kita, tentang cinta tanpa kata. Layaknya pita film yang diputar kembali menghempaskanku pada episode itu. Episode-episode tentang kita, tentang kisah klasik kau dan aku . Kisah manis itu. Kisah yang mengalun dengan indah. Semua tentang mu. Semuanya.

&&&

Empat tahun lalu

Di penghujung senja aku masih saja terpaku di taman ini. Tenggelam dalam lautan kata-kata.

Ah cinta yang indah itu hanya ada dalam cerita fiksi kataku mengomentari sebuah buku yang baru saja aku selesaikan.

Mataku mulai berlari meyelidik sudut-sudut taman ini hingga lensa mataku menangkap senyum indah itu. Sungguh senyum terindah yang pernahku lihat. Ku perhatikan dia yang duduk bersebrangan denganku. Matamu terlihat bening dan indah. Sorot matanya berbinar bagai bulan dan bintang yang menerangi malam yang gelap. Ku perhatikan dia dengan seksama.

Mungkin aku terlalu lama memandangnya hingga akhirnya dia menyadari tatapanku. Mata kita saling beradu diantara siluet jingga itu. Jantungku mulai berdebar tak terkendali. Semburat merah mulai menghampiri wajahku. Ku tertunduk, tak sanggup melihat sorot matanya yang teduh. Ku sembunyikan  semu merah pipiku ini rasanya wajahku seperti kepiting rebus saat itu.

&&&

Senja ke-tujuh

Lelaki itu lagi

Setiap ujung senja, ia selalu duduk di bangku taman itu. Bangku yang bersebrangan dengan tempatku. Sejakku menangkap senyumnya mata ini rasanya tak ingin melepaskan bayangannya. Seakan ada medan magnet menarikku untuk memandangnya. Aku selalu memperhatikannya di beranda senja ini.

&&&

Senja ke-sepuluh

Lelaki itu masih selalu berada di beranda senja. Masih ditempat yang sama tak ada sedikitpun yang berubah. Kita hanya saling diam. Saling menatap lembut dan hanya saling melempar senyum di udara. Sampai detik ini aku tak tau siapa namanya. Beberapa hal yang aku tahu pasti tentangnya, dia selalu berada di beranda senja dengan sebuah buku yang terlihat selalu sama dari tempat aku memandangnya. Dan aku tahu dia sangat menyukai sweater. Setiap senja dia selalu memakai sweater dengan paduan yang serasi dengan celana panjang. Sweater dan celana panjang yang dia kenakan selalu dengan warna senada, memberi kesan kau sosok yang teduh. Dia selalu pandai memadupadankan pakaiannya sehingga dia selalu terlihat indah di mataku. Tapi bodohnya aku,  sampai detik ini aku tak tau siapa namanya. Aku terlalu takut untuk berkenalan dengannya. Memandangnya seperti ini saja sudah cukup membuat keajaiban di hati ini. Ah apa dia juga merasakan semua ini? Merasakan kehangatan yang menyapa saat ujung senja.Tuhan berikanlah aku sedikit saja keberanian untuk sekedar menyapanya.

&&&

Senja ke-empatbelas

Semalam aku sudah bertekad untuk menyapanya. Ku kumpulkan semua keberanian untuk menyapanya.

Senja mulai menggelayuti langit mengubah warna birunya menjadi warna jingga yang sempurna. Saatnya pertemuan kita, aku duduk di bangku seperti biasa selalu bersebrangan denganmu. Aku mencoba menyemangati diri sendiri. Mengumpulkan segala keberanian yang semalam aku bangun.

“Aku pasti bisa,”

Daun-daun yang berguguran karena angin berputar-putar disekelilingku seakan memberi ku semangat.

“ Ayo jingga, kau pasti bisa. Ini kesempatanmu.”

Aku menghelakan nafas panjang mencoba merasakan hembusan angin. Mencoba menentralisasikan saraf-sarafku yang tegang. Aku mulai bangkit, dengan langkah gontai dan badai hebat di hatiku. Ku mulai melangkah menuju dirimu. Jarak ku tinggal tiga langkah lagi darinya.
“Hai,” sapaku dengan gagap

Ah, bodohnya diriku kenapa aku menjadi gagap seperti ini. Aku tak pernah berteman dengan gagap tapi kenapa ia bersamaku hari ini.

Kau menyambut sapaku dengan hangat, dengan senyum yang membuatku tak pernah melepas pandang darimu.

Dalam hati aku mendesis, bodohnya aku seharusnya aku menyapanya dari awal ketika aku melihat senyum itu, lihatlah dia begitu bersahabat.

“ Akhirnya, kau datang juga.”

Hah, ku kerutkan keningku tak mengerti maksud ucapanmu.

Kau sepertinya bisa membaca keherananku.

“ Kau selalu memperhatikan akukan.”

Aku hanya tersenyum getir, salah tingkah aku dibuatnya jadi selama ini dia mengetahui aku memperhatikan.

“ Namaku Senja.”

“ Hah, namamu Senja.”

“ Kenapa namaku aneh, yaa?”

“Bukan.. bukan, namamu indah, namamu Jingga.”

“ Jingga dan Senja di beranda senja,”gumamnya

Aku diam saja. Kalimatnya terasa berbeda. Sisa senja itu kita hiasi dengan gelak tawa hingga senja dengan sempurna mengantarkan mentari pulang keperaduannya.

Dia Senja yang selalu berada di beranda senja ini karena dia selalu menyukai senja. Dia  menyukai ketika semburat jingga mengantarkan mentari kembali ke peraduanya. Sekarang aku tahu buku apa yang selalu dia bawa di bawah langit senja. Buku sketsa yang dia bawa setiap senja.Melukiskan senja dengan segala keindahannya.

&&&

Putaran waktu sangat cepat ketika aku bersamanya. Tak terasa, sudah satu bulan aku dan Senja menghabiskan waktu di beranda senja ini, menghabiskan waktu di tempat yang sama, dibawah kesempurnaan senja yang sama. Andai aku bisa meminta kepada dia, aku ingin  memilikinya bukan hanya kala senja saja tapi setiap saat setiap waktu. Tapi aku terlalu takut permintaan itu menghancurkan indahnya kebersamaan kita. Aku juga tak tau apa dia mengharapkan hal yang sama? Apa semua ini hanya harapanku saja? Harapan dari hati yang gersang. Hati yang sejak lama tak tersiram cinta. Ah, sudahlah aku tak ingin memenuhi hati ini dengan harapan-harapan kosong. Harapan yang membuatku selalu merangkai kebersamaan kita dengan simpul yang salah. Simpul yang belum tentu kau menginginkannya. Cinta kadang membuat kita terlupa mana simpul nyata mana simpul yang kita rangkain dari keinginan, harapan dan khayalan diri kita sendiri. Ah, biarlah ku rasakan cinta ini sendiri aku tak ingin berharap lebih. Sudahlah dekat dengannya saja cukup membuatku bahagia.

&&&

Keberuntungan

Hari itu aku bertemu Senja tidak di beranda senja. Aku bertemu denganya disebuah toko buku terbesar di kota kami. Saat itu aku hampir putus asa mencari buku karangan Tetsuko Kuroyanagi. Mataku tak sengaja menangkap sosok dengan sweater yang begitu kukenal.

“ Senja?”

Dia hanya diam saja, sepertinya ia sibuk dengan buku yang berada di tangannya sehingga tak menyadari kehadiranku

“Senja?” sapaku sembari menepuk bahunya pelan.

Dia terkejut hingga buku yang dia pegang terjatuh. Aku mencoba melukis senyum termanis disudut bibirku. Dia terperangah seperti melihat hantu saja.

“Jingga?“ Senja langsung menatapku dengan seksama. Tatapan itu membuat keributan di hatiku. Sepersekian detik kemudian dia pun tersenyum.

“ Ku kira Jingga dan Senja hanya akan bertemu di beranda senja saja.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Andai kau tahu disetiap doaku, ku selipkan harapan agar kita selalu bertemu tak hanya di senja saja bisikku pada angin.

Waktu bergerak begitu cepat tak terasa senja pun tiba. Saatnya kita mengantarkan mentari kembali ke peraduanya.

“ Emm, bagaimana kita menghabiskan senja di taman seperti biasa bukan kah tugas kita, Jingga dan Senja mengantarkan mentari pulang.”

Aku hanya mengganguk, mengiyakan ajakannya.

Kami bergegas menuju parkiran montor yang berada di bawah toko buku terbesar di kota kami itu.

Namun hari ini senja tak indah, awan menutupi jingga. Hujan turun ditengah perjalanan kami menuju taman. Duduk dibalik punggung Senja membuatku merasakan kehangatan ditengah deraian hujan.

“ Kita berteduh dulu, hujan semakin deras,”  kata Jingga dengan mendekatkan kepalanya ke telinga Senja agar suaranya dapat mengalahkan deraian hujan.

“ Baiklah”

Mereka berteduh disalah satu warung makan yang mudah dijumpai disepanjang jalan. Warung makan itu cukup ramai, tampaknya banyak diantara mereka yang berteduh juga dari serangan kawanan hujan.

Mereka duduk di sudut warung makan itu. Duduk bersebelahan seakan tak ada jarak yang memisahkan mereka. Siku mereka bahkan bisa saling menyentuh.

“ Kita makan dulu ya, sembari hujan reda” kata Senja

“ Baiklah “

“ Kau mau pesan apa?” kata Senja sambil membolak-balik kertas menu itu.

“ Teh hangat dan mie rebus aja”

Senja pun memanggil pelayan warung itu memesan du gelas teh hangat dan dua mangkuk mie rebus.

“ Maaf, seharusnya aku langsung mengantarkan kamu pulang,” kata Senja ketika melihat baju Jingga basah kuyup.

Aku tak menjawab hanya menggeleng. Bukan karena aku marah tapi aku menahan dinginnya angin malam itu. Aku menggigil kedinginan. Melihat itu langsung saja Senja melepaskan jaket yang ia kenakan.

“ Pakailah,” kata Senja dengan lembut

Namun jaket Senja tak dapat membantu banyak,  jaketnya cukup basah. Aku tetap saja kedinginan, aku menggigil sampai gigiku bergemelutuk. Melihat itu Senja panik, ia meneriaki pelayan warung itu agar cepat memberikan mereka segelas teh hangat atau apa sajalah yang dapat menghangatkan badan. Setelah menunggu beberpa menit, dua gelas teh hangat dan dua mangkok mie rebus telah tersaji.

“Minumlah dulu agar badanmu sedikit lebih hangat.”

Tanganku bergetar menerima gelas teh hangat itu. Melihat aku seperti itu tiba-tiba Senja mendekatkan tubuhnya, tangan kirinya memegang bahuku, sedangkan tangan kananya memengang tanganku, membantuku agar  aku bisa meminum teh hangat itu.

Hangat dengan cepat merambat ke seluruh badan Jingga. Hangat bukan dari seteguk teh hangat itu tapi hangat dari perlakuan Senja.

“ Kita makan dulu, setelah itu aku akan mengantarkan kamu pulang,” kata Senja setelah melepaskan tangannya dari bahu aku.

Hujan telah berhenti saat mereka telah selesai makan. Hujan hanya menyisakan basah dan dingin. Disepanjang jalan pulang, aku hanya diam merasakan kehangatan disela-sela dinginnya malam.

Kehangatan malam ditengah hujan itu sekarang hanya tinggal kenangan. Sejak kejadian malam itu Senja tak pernah muncul seakan hujan membuatnya tiada.

Beranda senja ini takkan pernah sempurna tanpamu Senja bisikku  pada siluet penghias senja.

Beberapa hari aku telah mencari Senja namun hanya sepi yang aku jumpai. Di beranda senja, di toko buku bahkan di warung malam itu tiap hari aku datangi. Namun nihil Senja tak pernah muncul.

Bodohnya diriku ini, aku tak pernah tau dimana ia tinggal. Bahkan sekedar nomor teleponnya saja aku tak tau. Ku pikir dulu aku tak memperlu karena aku yakin aku akn selalu bertemunya di beranda senja. Tapi sekarang lihatlah aku tak pernah bertemunya lagi. Kenapa? Kenapa tuhan, ia pergi begitu saja?Apa dia merasa bersalah membuat ku kedinginan?Tapi bukankah ia juga memberikan ku kehangatan. Atau jangan-jangan ia tau perasaanku padanya tapi ia tak mempunyai perasaan yang sama denganku karena itu, ia pergi karena tak ingin menyakitiku. Oh, Tuhan tolong jelaskanku sebenarnya apa yang telah terjadi?

Sepekan sudah Senja pergi tanpa kata dan sapa. Setiap hari aku masih menunggunya di beranda senja. Disetiap penantianku selalu terselip harapan dapat menemukannya kembali.Kembali disini menikmati senja, berbagi udara yang sama dengannya. Setiap senja aku selalu di taman yang sama dan diwaktu yang sama, ketika jingga dan senja mengantarkan mentari.

Aku tertunduk lemah, waktu pelan namun pasti mengikis harapanku. Aku lelah, harapanku tak kunjung berlabuh.

Tiba-tiba seorang anak berusia sekitar 10 tahun menyapa Jingga “ Kakak pasti yang namanya Jingga,”

“ Iya,” jawabku singkat saat ini aku sedang tak ingin berbicara dengan siapapun.

“ Ada titipan untuk kakak, maaf aku terlambat menyerahkannya,” kata anak itu sambil mengulurkan sebuah surat dari saku celananya.

Aku raih surat itu. Surat dari siapa? Siapa pula anak ini? Apa aku mengenalnya?pikiranku dipenuhhi dengan beberapa pertanyaan.

Sebelum sempat bertanya pada anak itu, ia sudah bergi begitu saja. Samar-samar sebelum ia pergi, ia sempat berkata “ Maaf membuat kakak menunggu kak Senja.”

Kubuka perlahan surat beramlop jingga itu.

Dear Jingga

Aku tahu kita selalu bertemu saat mentari akan pulang. Kesempurnaan senja selalu menghiasi pertemuan kita. Tahukah kau, kehadiranmu mampuh memberikan warna-warni dalam hidupku. Bahagia,takut dan cemas

Bahagia saat aku tahu kau memperhatikanku. Bahagia saat kau berani menyapaku. Aku merasa takut saat membuatmu harus kehujaan, melihatmu kedinginan membuatku takut dan merasa bersalah. Aku selalu cemas ketika senja, karena aku tak tahu apa aku bisa berjumpa denganmu lagi.

Maafkan aku yang pergi tanpa kata dan sapa. Maafkan aku Jingga. Jingga maukah kau menungguku di beranda senja. Aku pasti akn kembali untukmu. Selama di bumi ini ada beranda senja, aku takkan pernah pergi darimu. Meski sekarang kita jauh, tapi kita masih tetap berpayungkan senja yang sama, bernafaskan udara yang sama. Meskipun aku berada dibelahan bumi yang lain.

Kaulah Jingga yang akan selalu menghiasi Senja

Beberapa gambar terjatuh sesaat setelah aku membaca surat itu. Gambat sketsa diriku, gambar saat wajahku bersemu merah. Oh, Tuhan ternyata ia memiliki perasaan yang sama. Aku akan selalu menunggumu Senja janjiku di beranda senja ini, janji yang ku patri dalam hati.

&&&

Kawanan gerimis mulai menyapa tanpa permisi menghempaskanku dari lamunanku. Gerimis menyerang tubuhku, butiran air mataku pun tak sanggup lagi aku bendung. Kau takkan pernah kembali Senja takkan pernah.

Sebuah koran terjatuh dari tanganku. Berita kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpangnya menjadi headline koran itu. Deretan nama korban tertera disana, bahkan namanya berada disana. Tangisku menari bersama deraian gerimis.

TAMAT

*cerpen ini masuk dalam buku analogi Sahabat yang diterbikan oleh ORBIT NULIS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun