Disampaikan oleh : Ranty Wiliasih, M.Si
Regulasi Landasan halal di Indonesia ada pada UUD 1945 Pasal 29. Di Ayat 1 dijelaskan bahwa  Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Titik kritis landasan halal ada pada Ayat 2 yang berbunyi  "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menandai agamanya masing-masing dan untuk beri-beri menurut agamanya dan kepercayaannya itu."Â
Dalam Islam, memakan sesuatu yang halal merupakan bagian dari praktik menjalankan ajaran agama atau bernilai ibadah. Hal tersebut berimplikasi bahwa penjaminan kehalalan produk bagi masyarakat merupakan kewajiban Negara sebagaimana yang tetuang didalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Dari sisi hukum positif di Indonesia, jaminan dari pemerintah untuk memfasilitasi peredaran makanan halal dituangkan dalam sejumlah peraturan yang mengatur tentang prosedur dan standar produk halal di Indonesia.
Tujuan akhir atau muara dari regulasi halal adalah keterjaminan produk halal yang diukur di masyarakat (amanat UU 45 pasal 29). Regulasi halal merupakan hulu dari keterjaminan kehalalan semua produk yang beredar di Indonesia. Dampak lain adanya regulasi halal adalah tertib administrasi dalam hal pengurusan halal dan masuknya sertifikasi sebagai pemasukan tambahan bagi kas negara.
Hubungan antara Regulasi halal dan potensi ekonomi ada pada dua keadaan. Petama, adanya Regulasi halal berimplikasi pada peningkatan produksi produk halal dalam negeri dan menjadi  substitusi impor produk halal luar negeri. Hal tersebut berdampak terhadap PDB Indonesia yanga akan meningkat. Kedua, adanya Regulasi halal berimplikasi pada peningkatan produksi produk halal dalam negeri dan  potensi eksporproduk halal yang meningkat. Hal tersebut berdampak terhadap PDB yang akan meningkat.
Adanyan regulasi halal memiliki potensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan. Dilansir dari (Jakarta Post, 2018) Undang-undang halal ini dapat mendukung Indonesia dalam perdagangan internasional karena banyak negara telah membuka peluang masuknya produk bersertifikat halal. Ambil contoh Malaysia.Â
Menurut Wakil Perdana Menteri Datuk Seri Dr. Ahmad Zahid Hamid, industri halal berkontribusi sekitar 7,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Malaysia dan menciptakan total 28.000 pekerjaan. Industri ini berbagi nilai ekspor tahunan sebesar RM43 miliar ($ 11 miliar) dan menarik investasi senilai RM13,3 miliar pada tahun 2017. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang jauh melampaui Malaysia, Indonesia berpotensi lebih besar dibanding Malaysia jika pengembangan halal value chain terserifikasi halal dengan baik.
Perdagangan internasional memberikan kelonggaran terkait Regulasi halal bagi negara eksportir. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengizinkan setiap negara untuk menerapkan standar halal untuk melindungi konsumen Muslim sesuai dengan GATT Article XX (pengecualian umum), bahwa setiap negara anggota WTO untuk kepentingan konsumen dapat menerapkan regulasi teknisnya sendiri.Namun, standar halal harus ditetapkan dan diterapkan sesuai dengan Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement, untuk mendapatkan keuntungan perdagangan internasional.
Dampak dari UU No 33/2014 dijelaskan oleh (Hidayat dkk, 2019) bahwa dengan berlakunya undang-undang jaminan halal, 35 mempengaruhi produk dan penjagaan sertifikasi halal.Sehingga dengan adanya kewajiban produsen untuk menghasilkan produk halal maka perusahaan harus segera mengembangkan produknya melalui proses produksi halal. Proses produk halal merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang meliputi penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan suatu produk. Pemerintah juga telah membentuk badan penyelenggara untuk menjamin produk guna membantu produsen dalam memperoleh sertifikasi halal.Â
Dampak Jaminan Halal juga berdampak dari hulu ke hilir industri halal. dampak dari adanya jaminan halal di mana semua produsen memiliki sertifikat halal dan semua produk berlabel halal. Sertifikasi Halal berdampak besar pada banyak bisnis, menghasilkan peningkatan penjualan dan mendapatkan kepercayaan dari konsumen Muslim.
Isfahani, Pourezzat, Abdolmanafi dan Shahnazari (2013) menemukan bahwa unsur-unsur lain mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan pembelian meskipun produk tersebut bersertifikat Halal dan kepatuhan syariah. Hal ini dikarenakan konsumen melihat atribut intrinsik dan ekstrinsik produk dalam keputusan pembelian (Caswell, 2006). Orang dengan religiusitas intra personal dan inter personal, ternyata juga memperhatikan harga dan kualitas produk dan cenderung tidak membuat impulsif.
Seorang Muslim keputusan pembelian dipengaruhi oleh kepercayaan konsumsi mereka. Temuan penelitian Yousaf dan Malik (2013) bahwa mahasiswa Pakistan yang tergolong sangat religius lebih sadar harga dalam membeli tetapi terlepas dari tingkat religiusitasnya, mereka lebih sadar kualitas (Social and Behavioral Sciences 130 (2014) 160 - 166 (Mokhlis, 2006) ). YA Aziz dan Vui (2012) juga melakukan studi survei pada non-Muslim di Lembah Klang juga melaporkan bahwa selain kesadaran halal dan sertifikasi halal, niat beli mereka dipengaruhi oleh promosi pemasaran dan merek. Selain itu, merek produk yang terkenal dan ketersediaan informasi bahan-bahannya meningkatkan kepercayaan pelanggan. Temuan mereka menunjukkan bahwa merek berperan dalam menentukan tingkat kepercayaan konsumen terhadap kehalalan produk.
Sertifikasi halal juga berdampak pada kinerja inovatif produsen. Salindal (2019)dalam penelitiannya menjelaskan sertifikasi Halal secara signifikan mempengaruhi kinerja inovatif dari perusahaan makanan bersertifikat halal. Peningkatan kinerja inovatif mengarah pada peningkatan kinerja pasar. kinerja inovatif sepenuhnya memediasi hubungan antara sertifikasi halal dan kinerja pasar. Perusahaan makanan bersertifikat halal dan perusahaan makanan bersertifikat non halal memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal kinerja inovatif dan kinerja pasar.Dari beberapa kasus, idealnya adanya regulasi halal akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri halal di Indonesia, secara ekonomi dapat memperluas ekspor produk halal dan membuka lapangan kerja.
Pemberlakuan mengenai kewajiban melakukan UU No 33 tahun 2014 per Oktober 2019, belum dapat dilihat efeknya karena Covid 19 di awal tahun 2020. Kendala (obstacle) pengembangan halal industri dijelaskan oleh (Widiastuti et al, 2020),pertama, Rendahnya sosialisasi dan edukasi sehingga memahami kurang memahami aturan dari regulasi merupakan kendala yang berarti.  (Yunos dkk. 2013) juga menjelaskan Kajian dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa program pendidikan dan alat pemasaran merupakan mekanisme penting untuk mendorong keberhasilan industri halal.Â
Baik pengusaha maupun konsumen perlu dididik tentang prinsip Halal dan meningkatkan pemahaman mereka tentang produksi Halal dari pemilihan bahan hingga produk siap dikonsumsi. Sedangkan faktor sosialisasi menjadi hal terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan industri halal di Indonesia. Sosialisasi dan pemasaran yang baik merupakan kunci utama dalam pengembangan industri halal (Battour, M. & Ismail, MN: 2016; Boediman, EP: 2017; Krishnan, S., et. Al .: 2017).
kedua, Sosialisasi dan edukasi menjadi kendala berikutnya. Hambatan prioritas berikutnya terkait dengan kebijakan dan sosialisasi. Kebijakan suatu negara memang memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan industri halal, termasuk Indonesia. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Gabdrakhmanov, NK (2016), dan Majid, B., & Mitra, A. (2016). Sedangkan faktor sosialisasi menjadi hal terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan industri halal di Indonesia. Sosialisasi dan pemasaran yang baik merupakan kunci utama dalam pengembangan industri halal (Battour, M. & Ismail, MN: 2016; Boediman, EP: 2017; Krishnan, S., et. Al .: 2017).
ketiga, Rendahnya koordinasi antar lembaga dalam kejadian dalam efisiensi meupakan pr yang harus diselesaikan bersama. Hal ini karena adanya pengurusan sertifikasi dari LPPOM MUI ke BPJPH. Untuk mengoptimalkan potensi industri halal di Indonesia dibutuhkan sarana infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, perlu peningkatan pelayanan infrastruktur baik dari pemerintah maupun swasta.Â
Namun demikian, masih terdapat kendala dalam pembangunan infrastruktur, yaitu: (1) kurangnya koordinasi kelembagaan yang menangani infrastruktur (2) kurangnya infrastruktur yang memadai. (Widiastuti, dkk 2020) Masalah ini masih bertambah dengan adanya perubahan UU dalam UU Cipta Kerja yang belum tersosialisasi dengan baik. Sehingga ini masih menjadi PR bersama untuk membangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H