Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Drama

Nina Bobo Jakarta dan Bidadari Surga Berketiak Cinta

8 Februari 2012   01:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.

"Kamu tau gak, apa yang lagi saya pikirin; Jak?" tanya Jakarta sembari duduk ngangkang di pelataran singgasana langit Djawa Dwipa. Saya diem tanda tak tahu. Ia nunduk. Lalu nenggak ke sudut atas cakrawala. Pupilnya yang burem alirkan titik terjauh. Kumpul asap putih rasa cerutu Fidel Castro ngegelontor muram dari liang hidungnya yang tiga biji. Saya pun kibas-kibas, sebab pengap. "Saya lelah Jak. Pengen tidur. Memanunggal bersama taman eden bertabur yakut dan mutiara. Tapaki labirin penuh belukar asmara dan ngimpi basah dinina bobokan garba bidadari surga berketiak cinta" lirihnya tembangkan murung kerinduan yang ngawang-ngawang. Jakarta galau.

Saya manggut-manggut. Sebagai abdi dalem dengan tingkat kasta yang paling bontot, saya memang kudu dipaksa selalu ngerti apa yang jadi keinginan Bos. Dan kini, Jakarta tengah dirundung nestapa. Gundah gulana lantaran pengen tengkurep di kasur yang empuk dengan semua embel-embel dan tetek bengeknya. "Apa kamu bilang?" tanya Jakarta matanya lekat menatap saya. Sepertinya ia tahu apa yang tengah saya pikirkan. "Mmm. Iya Bos. Saya ngerti banget itu" Saya coba timpali. "Kita memang kudu tidur. Tidur adalah sajadah peribadatan terselubung. Ada kumandang siulet Tuhan yang berputar di sana. Dan itu bisa jelas terdengar memeluk ruang kolbu terdalam. Jauh dari propaganda mesum yang selalu jilati dubur dan kemaluan demokrasi. Jauh dari deret sesat radikalisme yang mengaborsi distorsi ideologi. Jauh dari orbit diktator politis birokratis yang mengebiri merah darah anak negeri dengan manifestasi kapitalisme atheis. Juga jauh dari lembar moral rohani yang terstruktural zaman revolusi dajjal" tutur saya panjang lebar sampe nafas saya kembang-kempis.

Jakarta tepuk tangan. Ia terkekeh-kekeh dengar ocehan saya. Tawa ningrat khas gegeden yang mulia dan dipertuan agung itu, khusus dipunyai oleh sifat kodrati jagad Jakarta.

"...Sontoloyo" Ia pun sruput teh manis dalam cangkir emas yang diukir sisa tangis kerontang papua.

Bibir pucat raksasanya sunggang-sungging bahagia. Ia seka dahi peradaban yang berkeringat bau matahari pucat dengan celemek gombel penuh potret paradoksal pusaran statistik angka-angka kemiskinan. "Miskin adalah citra buruk dunia" ujar Thomas Robert Maltus. Namun di sini, miskin adalah urat nadi bangsa. Saya diam. "Tumben ente sok bijak gitu Jak" ucap Jakarta kemudian. Saya senyum simpul semar mesem. Ia usap-usap kepala saya. Rasanya senang sekali. Maklum, setelah sekian lama saya jadi Babu, baru kali ini Bos muji saya.

"Hehe. Lagi jamnya pinter Bos. Tapi bisakah Bos tidur sementara 238 juta jiwa terjaga dalam tatap culas sang penguasa?" jawab saya sekaligus nanya. Jakarta senyum, tangannya mengelap sayang lahan komersil kapitalistik hasil alih fungsi arogansi sejarah yang suram.

"Akulah sang penguasa itu Jak. Aku ini arif. Bijaksana. Aku ini lambang adiluhung gemah ripah loh jinawi. Bukankah jika aku tertidur lalu bahagia, mereka juga akan terlelap dengan damainya" ucap Jakarta yang mulai merenkarnasi dialektika egoisnya. "Aku ingin bidadari surga berketiak cinta Jak"

Bidadari surga? Tentu saja ia mahluk Gusti yang paling seksi. Tapi rasionalkah jika pengalokasiannya juga ditujukan untuk Jakarta. Yang kadang tak sungkan obrak-abrik doktrin luhur transedental bangsa. Dan sekali lagi, Jakarta sepertinya tahu apa yang tengah saya pikirkan. Ia kembali terkekeh-kekeh. Sruput lagi teh manis yang sudah dingin.

"Aku seperti ini, karena aku berdiri di tengah mesin-mesin pertentangan kelas di atas rekontruksi luka-luka bangsa yang kelam. Kaum kaya dan miskin. Buruh dan pengusaha. Budak dan tuan besar. Lalu..." "...Tidak" potong saya. "Bukan anda. Tapi saya. Kami. Rakyat. Anda tidak berdiri di sana. Tapi kami" Saya mulai protes. Berontak oleh sebab otoritas keyakinan dan kebenaran yang dikamuflasekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun