Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

(Opini) Melukisi Langit Jakarta dalam Puisi-puisi Granito Ibrahim

7 Januari 2012   01:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:13 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya selalu menghabiskan akhir pekan di sini Jak. Menikmati sejuknya desah dan hembus kicau yang makin hilang; Bersama mereka" jelas seorang teman saat tak sengaja saya bertemu dia bersama sekumpul musisi jalanan di salah satu pinggiran taman kota yang mulai sempit di jantung Ibu Kota sana.

"Hmm. Jadi teringat salah satu puisi saya. Lembayung Berkabut Asap. Kamu tau kan. Kamu tau kan Jak; puisi itu?" lanjutnya sambil meneguk setengah air botol mineral. Saya menggangguk. Tak lama kemudian, dia; Granito Ibrahim namanya; berdiri dan membacakan sebait puisinya kencang-kencang namun mendalam.

"Rekah fajar menepuk kota dengan lembayung berkabut asap/berlarian jelaga merebut kicau burung dari sarangnya/dengung lebah seakan senyap ditelan derudebu kendaraan/aspal menghitam semua sudut/menyelimuti kembang ilalang"

Puisi Granito saat itu terdengar sendu bersama gurat hujan turun mengguyur hutan beton yang menjulang tinggi di bawah atap langit hitam kota Jakarta. Riuh klakson dan ratusan deru knalpot berpolusi pekat menghias jalanan padat merayap. Racunnya mampet di gorong-gorong. Dan deras meluap lebar di gang-gang sempit pemukiman kumuh kaum miskin yang tersingkir. Perahu-perahu kertas; berlayar ber-adu lomba di atas selokan kecil bersama riuh tawa anak-anak jalanan yang bertelanjang dada. Semua; seakan menggali nasibnya di bawah lengkung bias pelangi yang berdiri indah membayang; di antara pelepah daun pisang dan tumpuk gunungan sampah yang baunya sangat.

"Jakarta makin menangis Jak. Dengan semua ini" Granito pun mematikan dalam-dalam rokok putihnya. Tak lama; kepul kecil putih membayang menambah pekat kabut polusi yang terbawa jatuhan air hujan pun hilang. Riuh alunan melodi yang digesek biola dan petikan merdu sebuah gitar bolong terdengar memecah telaga berkecipak ikan-ikan di seberangnya.

Memang; Jakarta makin menangis bersama rakyatnya yang kian meringis. Banjir, kepadatan penduduk, kesenjangan sosial dan berbagai masalah banyak mendera tubuh Jakarta yang kian renta. Dan selalu berbicara tentang Jakarta; tak akan mungkin terlepas dari persoalan pencemaran udara. Dengan tingkat polusinya yang sangat tinggi; malah membuat Jakarta kini disebut sebagai kota hamparan terkotor nomer tiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand.

Hingga tahun 2011; diperkirakan sebanyak 12 juta kendaraan yang beredar di Jakarta dari jumlah penduduknya sebanyak 9,6 juta jiwa, ditambah warga luar yang beraktifitas di Jakarta pada siang hari sebanyak 2,5 juta jiwa.

"Hal tersebut memberikan kontribusi sekitar 70 persen tingkat polusi di sini. Selebihnya; ada gas buangan pabrik, pembakaran sampah dan gas buangan perusak ozon" tutur Granito seperti yang diungkapkan oleh Deputi Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup.

Udara yang bersih harus menjadi salah satu kebijakan utama Jakarta dengan segala kepentingannya. Perluasan taman, pengembangan jalur hijau dan keindahan kota dalam ruang terbuka hijau (RTH) menjadi titik penting untuk terciptanya lingkungan Jakarta yang sehat dan bersih. Tidak saja untuk penyeimbang alam dan peningkatan kualitas udara, namun juga ke arah fungsi sebagai penyerapan air, tiang dan penopang tanah Jakarta yang banyak di-issue-kan hampir tenggelam karena keroposnya.

"Mestinya, Jakarta ngikut kayak di kampung saya. Mereka yang mau pada kawin, diwajibkan menanam satu pohon. Malah kalo di sini, semestinya tiap warga tanpa kecuali sangat diwajibkan untuk itu" ucap salah satu musisi jalanan yang sedari tadi ikut menyimak perbincangan. Seperti yang diungkapkan Essais Tandi Skober : "Menanam pohon, sekecil apapun, pada hakekatnya, di akherat kelak akan menjadi taman surga"

Jika kita sedikit menengok ke belakang, di tahun 1984; Jakarta adalah sebuah kota yang indah. Maklum saja; ketika itu, Jakarta masih memiliki Ruang Terbuka Hijau sebesar 28,8 persen dari luas daratan kota yang mencapai total 661,52 kilometer persegi. Namun di tahun 2003; angkanya nyaris menyusut hingga 9,12 persen. Lantas pada tahun 2007, luas Ruang Terbuka Hijau di Jakarta hanya sebesar 6,2 persen saja. Artinya sejak 23 tahun tersebut, Ruang Terbuka Hijau di Jakarta yang seluas 191 kilometer persegi; berkurang sebanyak 150 kilometer persegi akibat dari perluasan lahan komersil dan area pemukiman dan pemerintahan. Benar sekali, "Embun kehilangan gairah tak tahu lagi kemana arah/saat subuh menjenguk daun-daun yang terbang entah melayang/gugur jatuh terkubur/kelabu gedung kota menelan hijaunya" seperti yang ditulis Granito. Semoga saja, rencana penambahan Ruang Terbuka Hijau seluas 22, 8 hektar di tahun 2012 ini sedikit banyaknya akan mampu memecahkan permasalahan polusi di Jakarta yang makin memprihatinkan.

Dan lagi, seharusnya sarana transportasi publik yang sudah disediakan oleh Pemerintah bisa menjadi salah satu alternatif akan pemecahan masalah pencemaran udara; meski memang, Pemerintah harus senantiasa terus mengoptimalkan dan memperbaiki hingga sarana transportasi publik dirasa aman dan nyaman oleh masyarakat seperti halnya kendaraan pribadi.

Itulah Jakarta. Sebuah jantung dari tubuh Indonesia yang semestinya kokoh mengalirkan darah bersih ke semua organ-organnya. Taman surga dunia tempat di mana seharusnya kepak sayap dan cakar garuda bertengger setelah terbang menatap cakrawala nusantara di antara mega-mega khatulistiwa. Namun; dengan segala kekurangannya, dengan segala kelemahannya, dengan segala kerusakannya; wajar saja jika Garuda lebih memilih terduduk diam sendirian di dalam ruangan dingin dan gelap tempat birokrat dan politikus memadu janji-janji beraroma mesum dan maksiat. Rakyat pun bertambah sakit.

Namun; jangan biarkan Jakarta selalu dalam "Harapan menjadi mimpi/seluas hutan semen bernafas karbondioksida". Jakarta tak harus kehilangan harapan bersama geliatnya pembangunan. Jakarta tak semerta harus menjadi kelam dengan kolam kotor yang bertimpang-timpang. Dan bukan saja kepada dunia; namun kepada rakyatnya Jakarta harus kembali menyunggingkan suci tulus manisnya senyuman. Dan itu; bukan hanya dalam mimpi belaka.

"Musim mengganti dedaunan dengan bisik-bisik di jalanan/dengan peluh berjatuhan dari tisik baju anak-anak/pengamen yang membawa tembang lapar dan dahaga/dan menggenggam receh koin tak berarti buat sebagian orang/buat sebagian jendela yang menyala di gedung tinggi menggapai"

Granito pun tersenyum diiring aplaus dari teman-teman musisi jalanan saat setelah saya membacakan sebuah bait dari puisi Anak-anak Jalanan miliknya.

"Suatu saat; Jakarta akan tumbuh menjadi tanah hijau merumput sayup indah merdu seruling dedaunan, berkuncup rimbun warna kupu-kupu anggun, dan sembilan pelangi; merobek mata telaganya. Di sana : selamanya merdeka akan terdengar di halaman cinta negeriku" ucap saya kemudian.

.

.

.

Kamu Sarjana Bukan? Jangan Mau Jadi Kuli

.

ARI JAKA

06012011

Thanks to : Granito Ibrahim dan puisinya (Lembayung Berkabut Asap & Suara Anak-anak Jalanan)

Sumber data dan gambar : Google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun