Sudah hampir pasti kotestasi pilihan presiden pada tahun 2024 akan diikuti oleh tiga pasang calon presiden dan wakil presiden. Pasangan-pasangan tersebut ialah calon yang diusung oleh koalisi partai Nasdem dan PKB dengan mengusung pasangan Anis Baswedan serta Muhaimin Iskandar, lalu pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung koalisi PDI-perjuangan dan PPP. Terakhir adalah pasangan yang diusung koalisi besar dari Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat yang mengusung Prabowo Subianto serta Gibran.
Selama beberapa bulan ini hiruk pikuk serta lika-liku pemilihan calon menarik sekali untuk diikuti apalagi oleh kami sebagai seorang pengamat abal-abal dan penikmat berita. Lalu Lalang informasi yang disampaikan oleh para elit partai berseliweran di media masa baik media cetak, media elektronik, kanal media social dan perbincangan-perbincangan yang kami dengar di warung kopi, caf maupun group-group wa.
Kata-kata viral pun sempat muncul menjadi buah bibir seperti "ojo grusa-grusu", "ojok kesusu", "petugas partai", "anak presiden" dst. Kami menikmati semua ini sebagai bagian dari opini-opini riang penikmat demokrasi dan kebebasan ekspresi masyarakat.
Kami juga menikmati berbagai suguhan komentar-komentar dari pengamat politik top negeri ini tiap kali ada manuver partai maupun pernyataan-peryataan elit tentang arah koalisi maupun bagaimana upaya mereka mengcounter isu-isu diruang publik. Selain itu suguhan elektabilitas yang dirilis memberikan bukti kehandalan pendekatan metodologis masing-masing Lembaga survei sekaligus sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat.
Â
Tentu banyak hal yang bisa diceritakan tapi sejauh ini dengan keterbatasan pengamatan hanya ada lima poin yang membuat kami tertarik serta ikut untuk beropini dalam kapasitas kami sebagai pengamat politik abal-abal dari Lembaga antah brantah.
Pertama, keputusan Nasdem mengusung Anis Baswedan sebagai bakal calon presiden dianggap sebagai keputusan yang tidak sejalan dengan harapan Presiden Jokowi. Nasdem yang sejak awal menjadi pendukung Jokowi pada pemilihan tahun 2019 dianggap kontradiktif dengan harapan presiden Jokowi. Dengan memutuskan pilihan pada Anis Baswedan Nasdem bersama dengan partai Demokrat dan PKS memilih isu perubahan yang tentu berbeda jalan dengan harapan pemerintah.
Kedua, keluarnya PKB dari koalisi yang digagas bersama dengan Gerindra. Seperti yang sama-sama kita tahu PKB berdasarkan keputusan partai menyatakan akan mengusung ketua umunya Muhaimin Iskandar sebagai capres ataupun cawapres. Untuk memenuhi mandat tersebut terbangunlah koalisi bersama Gerindra yang memang sejak awal telah mengusung Prabowo sebagai capres.
Setelah menunggu sekian lama, tampaknya harapan PKB dipilih sebagai cawapres kian menipis seiring masuknya partai Golkar ke gerbong koalisi bersama Gerindra. PKB seakan tidak senang dengan masuknya Golkar karena dengan begitu peluang PKB dipilih menjadi cawapres semakin kecil mengingat suara Golkar lebih tinggi.
Ketiga, terbentuknya koalisi pengusung Prabowo. Sejak awal, koalisi ini berusaha untuk menggandeng partai-partai yang selama ini berada di balik pemerintahan presiden Jokowi. Bahkan sebelum koalisi Indonesia Maju ini terbentuk para partai yang saat ini berada di koalisi pemerintahan telah berusaha untuk membuat koalisi besar yang saat itu merepresentasikan harapan maupun keinginan presiden Jokowi.
Namun ternyata koalisis besar ini memang sulit untuk terbentuk karena untuk menyatukan seluruh partai pendukung pemerintah tidaklah mudah. Partai-partai besar seperti PDI perjuangan tentu ingin partainya memiliki calon sendiri sedangkan partai-partai lain juga tidak ingin harapan maupun suara mereka dikalahkan dengan suara PDI perjuangan yang dominan.
Keempat, keputusan MK mengesahkan keputusan untuk memperbolehkan warga negara usia dibawah 40 tahun asalkan memiliki pengalaman menjadi kepala daerah hasil pemilihan langsung bisa dicalonkan sebagai presiden maupun wakil presiden. Keputusan ini memantik berbagai opini dimasyarakat mulai dari yang mendukung putusan MK, namun banyak juga yang menganggap MK telah mendukung adanya politik dinasti, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa MK sudah tidak netral lagi sebagai panglima penegakan konstitusi.
Kelima, penetapan calon presiden dan calon wakil presiden. Baik koalisi yang dibangun oleh PDI perjuangan dan PPP yang mengusung ganjar dan Mahfud maupun koalisi yang dipimpin partai Gerindra yang menetapkan mengusung Prabowo serta Gibran sama-sama menyebutkan ada campur tangan presiden Jokowi.
Terlepas dari lima pengamatan itu, masih banyak episode-episode dari drama-drama politik yang sebenarnya lebih banyak lagi dari yang kami cermati tadi, namun setidaknya dari kelima hal itu kami sebagai pengamat politik abal-abal memiliki pandangan kalau ada yang sedang diskenariokan oleh para elit negara ini yang kami sebut sebagai sutradara dari semua skenario tersebut.
Â
Skenario yang gagal
Hasil analisis abal-abal kami menemukan kalau sejak awal sang sutradara telah menyadari bahwa elektabilitas Prabowo sebagai salah satu capres amatlah tinggi meskipun beliau telah mengalami kekalahan dua kali pada pemilihan presiden tahun 2014 serta 2019. Para pemilih Prabowo ternyata hingga saat ini amatlah solid yang berpotensi menjadi modal kemenangan Prabowo di pemilu tahun 2024.
Untuk itulah kemudian Prabowo perlu dijaga dari semua penumpang gelap yang berasal dari kelompok-kelompok radikal atau kelompok intoleran yang ingin memanfaatkan tingginya elektabilitas Prabowo. Oleh karena itu sang sutradara kemudian berusaha untuk membuat skenario awal dengan melemparkan isu menggabungkan kekuatan ganjar pranowo sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun skenario ini ternyata menemui jalan buntu, nyatanya tidak mudah mengkonsolidasikan dua kekuatan dari masing-masing partai pengusung untuk merelakan kadernya sebagai calon wakil presiden. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu sudah mendeklarasikan Ganjar sebagai calon presiden yang diusung berbekal elektabilitas yang tinggi, sedangkan gerindra juga sama-sama memiliki bekal elektabilitas untuk memposisikan Prabowo sebagai calon presiden. Padahal dengan bersatunya dua kekuatan ini bisa merepresentasikan arah dukungan pemerintah serta menciptakan kontestasi pilpres dengan dua pasang colon yang berpotensi mempermurah biaya pemilu.
Daya pikat dari sang sutradara
Deadlock kedua kubu antara kedua partai besar ini tidak kemudian menyurutkan langkah sang sutradara. Skenario selanjutnya ialah menarik dukungan partai politik lain yang masih gamang menentukan arah dukungan serta yang berpotensi membuat poros koalisi baru. Cara yang dilakukan untuk itu ialah dengan melakukan endorsement kepada sang calon presiden Prabowo. Â
Pada beberapa kesempatan masyarakat seakan sengaja disuguhkan sinyal-sinyal dukungan baik melalui ungkapan sosok pemimpin kedepan yang tegas, merakyat, membiarkan pemasangan baliho kedekatan kedua tokoh ditempat-tempat strategis, maupun menciptakan kedekatan secara fisik yang bisa ditangkap oleh public sebagai restu yang diberikan. Upaya ini akhirnya memberikan dampak positif sesuai dengan harapan dengan masuknya partai Golkar, PAN serta diikuti oleh Demokrat untuk menyatakan dukungan kepada calon presiden Prabowo. Â
Tergabungnya banyak partai pada satu gerbong koalisi lantas tidak begitu saja memudahkan proses pengambilan keputusan. Hal ini setidaknya terlihat jelas saat terjadi tarik ulur kepentingan untuk menetapkan sang calon wakil presiden.
Masing-masing partai mendorong kadernya untuk disandingkan dengan sang calon presiden. Sehingga berpotensi menimbulkan deadlock diantara partai koalisi ini. Bahkan ada isu-isu saat itu yang menyatakan adanya deklarasi poros baru yang sebelumnya sudah sempat hilang.
Untuk menjembatani hal itu, disodorkanlah sang putra presiden sebagai jalan tengah. Meskipun sempat menuai polemik dan opini-opini yang negative nyatanya masing-masing partai bisa menerima jalan tengah ini.
Narasi Penghianatan
Disisi yang lain, publik kemudian mengkait-kaitkan dengan isu keretakan hubungan presiden dengan ibu ketua umum PDI Perjuangan. Dengan berbagai endorsement yang dilakukan kepada sosok Prabowo seolah-olah presiden Jokowi bagaikan kacang lupa kulitnya. Ditambah lagi dengan pemberian restu kepada sang putra untuk menjadi pendamping Prabowo.
Narasi penghianatan yang dikaitkan dengan etika politik menguat seiring dinamika yang muncul. Namun apabila dicermati lebih dalam untuk hal tersebut PDIP seolah tidak banyak bereaksi secara berlebihan. Kami meyakini bahwa PDIP tau tentang semua hal yang dilakukan dan mungkin juga memberikan restu pada setiap skenario yang dibuat.
Disisi yang lain, dipinangnya Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo menunjukan kalau proses kaderisasi di internal partai berjalan dengan baik. Gibran sama halnya dengan presiden Jokowi maupun Ganjar Pranowo lahir dari rahim yang sama sebagai sosok penerus ideologi Bung Karno. Tentu tidak mungkin ada penghianatan dari semua ini. Sosok Presiden Jokowi bukanlah orang yang bisa melakukan itu. Â
PDI-P tentu sebagai partai yang selama ini menggelorakan ideologi Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara memiliki kepentingan yang besar supaya kedepan pemimpin negara ini adalah orang-orang yang mengedepankan dan berkomitmen menjaga nilai-nilai itu. PDI-P tentu juga paham bagaimana selama ini paham radikal dan intoleran masih terus tumbuh dan menjadi ancaman kedepan
Kami mencermati bahwa saat ini kepentingan bangsa kedepan jauh lebih diutamakan dari hanya sekedar persaingan politik semata. Tantangan kedepan salah satunya ialah menjaga ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara 1945.
Siapapun yang berpotensi menang berdasarkan Lembaga survei pada pemilu mendatang antara pasangan Ganjar-Mahfud ataupun Prabowo-Gibran dipastikan adalah pasangan yang berkomitmen untuk menjaga empat pilar tersebut. Dengan tanpa mengesampingkan calon lain, setidaknya pemerintah dan PDI-P telah melahirkan sosok penerus Presiden Jokowi yang berkomitmen meneruskan program pembangunan berdasarkan Trisakti Bung Karno.
Dari semua orkestrasi ini, kita disuguhkan bagaimana sang negarawan memberikan contoh mengedepankan kepentingan bangsa dan negara adalah jauh lebih penting daripada hanya sekedar gengsi politik. Inilah alasan sesungguhnya kenapa sang sutradara mengorkestrasi irama politik sedemikian rupa hanya demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, MERDEKA...
Salam dari penulis: Eko A. Ariyanto & Sayidah Ul HaqueÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H