Memahami Dunia Sosial-Historis
Verstehen merupakan metode ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, Dilthey mampu menciptakan kekhasan hermeneutika sebagai seni memahami dunia sosial-historis.Â
Ada kesamaan dan perbedaan antara memahami karya-karya seorang pengarang, seperti buku, dokumen atau surat- surat, dan memahami manusia dan masyarakat atau apa yang disebut Dilthey "dunia sosial- historis".Â
Kesamaannya adalah bahwa keduanya adalah jejaring atau susunan simbol-simbol yang bermakna. Kesamaan antara karya-karya, seperti surat-surat R.A. Kartini, surat-surat Paulus atau pasal-pasal konstitusi negara, dan dunia sosial-historis, seperti---ambil contoh dari Clifford Geertz---"agama orang Jawa" atau "sabung ayam di Bali" adalah bahwa keduanya menampilkan simbol-simbol bermakna yang tidak terserak begitu saja, melainkan membentuk susunan atau struktur tertentu.Â
Istilah ringkas untuk struktur-struktur simbol-simbol bermakna adalah "teks". Dalam arti ini teks hendaknya tidak dibatasi pada tulisan-tulisan, melainkan secara luas, yaitu mencakup segala hal yang merupakan struktur-struktur simbol bermakna.
Perbedaan kedua hal itu tidak sebesar kesamaannya, yakni terletak pada dinamikanya. Karya-karya tertulis yang ingin kita pahami, seperti surat-surat atau kitab-kitab suci, dapat dianggap teks-teks yang sudah selesai, tetapi dunia sosial-historis, seperti praktik ritual, problem gender, atau krisis sosial, adalah teks-teks yang belum selesai dan terus berubah, maka maknanya dapat terus berubah menurut perubahan komunikasi para pelaku.Â
Meskipun demikian, dunia sosial- historis pada taraf tertentu juga menjadi obyektif dan stabil, sehingga makna simbol-simbol di dalamnya dapat dipahami karena relatif stabil.Â
Makna yang terus berubah dan tidak mengandung sesuatu yang tetap di dalamnya akan sulit dipahami. Karena itu, setuju dengan Hegel, Dilthey menjelaskan dunia sosial-historis yang menjadi obyek penelitian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan sebagai objektiver Geist (roh obyektif). Obyek penelitian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan tidak diketahui lewat introspeksi, melainkan lewat interpretasi.Â
Dilthey memusatkan perhatiannya pada model hubungan timbal balik dari penghayatan (Erleben), ungkapan (Ausdruck) dan pemahaman (verstehen).
Konsep pertama berasal dari kata Jerman Erlebnis. Hal ini mengacu pada pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna, maka bahasa Inggris mengalihkan kata itu dalam frasa lived experience.Â
Kata itu sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan "penghayatan". Konsep kedua adalah Ausdruck. Konsep ini dihubungkan dengan perasaan Ausdruck atau ungkapan di sini berarti pengejawantahan diri manusia dalam bentuk produk-produk kebudayaan.Â