Meskipun perhelatan pemilu akan diselenggarakan pada tahun 2024, namun saat ini sudah mulai terasa bagaimana panasnya perang opini antara dua kubu yang mendeklarasikan diri sebagai kubu perubahan maupun kubu yang ingin meneruskan program presiden saat ini. Demi mewujudkan ambisinya tersebut masing-masing partai politik kini sudah mulai melakukan penjajakan untuk membangun koalisinya. Koalisi dibangun dengan harapan masing-masing kebutuhan partai politik diakomodir dengan menempatkan kader-kader terbaiknya sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden.Â
Dasar koalisipun ditetapkan berdasarkan kecocokan visi, platform partai, maupun posisi partai politik tersebut apakah saat ini berada sebagai bagian dari kolisi atau tidak. Setidaknya hal-hal tersebut yang sering masyarakat dengar dari para petinggi partai politik ketika ditanya tentang arah dan teman koalisinya.  Kesadaran politik ini sejatinya positif bagi terbangunya arah koalisi  yang kuat namun faktanya deklarasi yang sudah dilakukan tidak menjamin koalisi akan berjalan mulus hingga hari ditetapkannya pasangan calon yang diusung. Saat ini saja, berbekal kesepakatan bahwa masing-masing parpol koalisi tidak boleh mencampuri kedaulatan partai masing-masing, tiap partai politik masih melakukan penjajakan untuk mencari kawan politik yang cocok.Â
Kodisi tersebut tentu menjadi persoalan yang menarik untuk dicermati, kira-kira kenapa seolah-olah parpol yang sudah deklarasi untuk bersama-sama membangun koalisi seolah-olah tidak percaya diri dengan koalisi yang dibangunnya. Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebabnya. Pertama, parpol koalisi tidak bersepakat dengan tokoh politik yang akan diusung sebagai calon presiden maupun wakil presiden. apalagi jika tokoh tersebut telah merupakan kader salah satu partai politik tersebut, tentu parpol lain juga menginginkan kadernya bisa dipasangkan dengan kader partai yang sudah disepakati.Â
Kedua, adanya godaan atau lobi-lobi pimpinan parpol dengan mengajak parpol yang sebelumnya sudah menjalin koalisi dengan parpol lain, untuk pindah koalisi dengan iming-iming kadernya diusung sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Â ketiga, munculnya isu-isu yang diidentikan/dikaitkan dengan calon yang sebelumnya sudah diusung tersebut akan berdampak menurunkan suara parpol secara internal, misalnya: isu politik identitas, korupsi, radikalisme dsb. keempat, mekanisme internal parpol yang menyulikan bangunan koalisi saat ini bisa kuat, misalnya: hasil musnas telah menetapkan ketua umum sebagai kader terbaik untuk diusung menjadi presiden.Â
Muara dari semua kesulitan maupun rapuhnya bangunan koalisi ialah persoalan elektabilitas. Tidak semua partai saat ini memiliki tokoh dengan elektabilitas yang tinggi namun secara internal partai kader partai harus menempatkan kadernya sebagai pelengkap pasangan calon. Parpol dengan suara kecil tentu sadar diri bahwa mereka tidak akan memiliki nilai tawar yang tinggi, namun untuk partai dengan suara legislatif besar akan memiliki nilai tawar tinggi meskipun kader partainya memiliki elektabilitas yang kecil. Dilema politik semacam ini tidaklah mudah bagi semua partai politik karena sejatinya masing-masing parpol menginginkan berkuasa lima tahun kedepan.Â
Strategi kedekatanÂ
Berbagai upaya kemudian dilakukan unsur partai agar partai politiknya tetap menjadi pengusung bakal capres atau cawapres. Upaya yang dilakukan seperti dengan menggaet tokoh publik, pemerintah, ataupun tokoh agama untuk ditawarkan kepada partai lain sebagai pembuka pintu koalisi. Cara lain adalah dengan mendekatkan diri pada tokoh yang saat ini memiliki elektabilitas tinggi di pemerintahan, mendampingi sang tokoh disetiap kegiatan-kegiatan pemerintahan dengan harapan masyarakat melihat keidentikan kedua tokoh ini. Situasi ini apabila dijelaskan dengan salah satu teori gestalt tampak sangat menarik.Â
Teori gestalt merupakan teori yang menjelaskan tentang sebuah persepsi visual dimana Kotak manusia akan memiliki kecenderungan untuk mengelompokan, menyatukan, dan menyederhanakan apa yang dilihat secara visual sehingga membantu sebuah kesatuan yang utuh. dalam teori gestalt ini terdapat satu prinsip yang bisa mewakili situasi tersebut yaitu principle of proximity. Prinsip ini menyatakan bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu. Dalam hal kedekatan para tokoh politik dengan tokoh pemerintah yang telah memiliki elektabilitas tinggi situasi ini sangatlah cocok. Masyarakat akan memiliki pandangan bahwa kedua tokoh yang pada waktu bersamaan muncul dipublik akan membentuk persepsi bahwa tokoh tersebut adalah sama secara ideologi, visi, program, leadership dst.Â
Strategi kedekatan yang saat ini sedang dimainkan nampaknya memberikan hasil yang signifikan. Elektabilitas calon nampak memiliki kenaikan signifikan atau mampu mempertahankan elektabilitas pada jalur kemenangan saat pilpres dilakukaan. Banyak lembaga survei kemudian merilis dampak signifikan dari kedekatan calon kepada tokoh lain yang saat ini mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi dari masyarakat. Namun tentu masyarakat haruslah melihat situasi ini tidak hanya sekedar efek kedekatan namun pilihan pemimpin nantinya didasarkan pada ide, gagasan, visi, program yang dicanangkan untuk Indonesia maju. tidaklah cukup hanya mendompleng popularitas dengan menaikan elektabilitas. Pada saatnya nanti masyarakat harus cerdas memilih mana pemimpin yang benar-benar memiliki ide, gagasan, visi, dan program yang merakyat dan pemimpin yang hanya menang kedekatan dan menang survei. Patut ditunggu bagaimana gerak langkah partai politik menyiapkan pemimpin-pemimpin untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. SEMOGA BERMANFAAT
penulis : Eko A. Ariyanto & Sayidah Aulia Ul HaqueÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H