Sartre menuliskan bahwa keberadaan manusia (eksistensi) bebeda dengan benda-benda lainnya, eksistensi menjadi bagian penting dari kehidupan manusia dimana manusia memiliki tanggung jawab, harapan, cita-cita maupun peran untuk menunjukan bahwa dirinya ada. Eksistensi Sartre setidaknya memberikan pelajaran bagi kita untuk menilai fenomena pencalonan yang saat ini ada dan mungkin akan terus terjadi menjelang tahun politik di 2024.
Eksistensi calon tidaklah sesuatu yang salah sebagai wujud "ada" nya manusia di alam semesta. Eksistensi calon merupakan wujud tanggung jawab seseorang untuk menciptakan tatanan perubahan sebagai bagian dari cita-cita maupun harapan hidupnya. Namun demikian, eksistensi yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab sosial hanya akan menjadi ekspresi syahwat politik untuk tujuan kekuasaan. Tentu kita juga masih ingat bagaimana tulisan seorang filsuf jerman Nietzche tentang konsepsi kehendak untuk berkuasa.Â
Memang sejatinya kehendak untuk berkuasa bukanlah konsep yang cocok dengan penggambaran kekuasan secara politik namun kehendak untuk berkuasa dapat kita gunakan mengupas bagaimana seseorang dianjurkan untuk mampu melawan belenggu-belenggu ketakutan dan membebaskan napsu maupun insting naluriahnya dengan mengikuti kehendah untuk berkuasa.Â
Di sini kita bisa simpulkan dari pemikiran dua tokoh filsuf diatas bahwasannya dorongan memperoleh kekuasaan merupakan bagian dari esensi kehidupan manusia itu sendiri. Setiap orang telah memiliki garis kehidupan untuk bereksistensi salah satunya dengan mendapatkan kekuasaan. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwasanya kehendah untuk berkuasa ini idealnya diikuti oleh konsepsi nilai-nilai luhur yang tercermin pada diri calon seperti kuat, berbudi luhur, berani, berbudaya, estetik, berani bertindak atas dasar kebenaran.Â
Jangan sampai calon hanya menunjukan pencitraan untuk mengejar popularitasnya saja tetapi tidak memiliki sifat atau karakter sebagaimana manusai unggul (niezche). Jangan lagi masyarakat hanya diberikan pilihan calon yang pandai berkata-kata, pandai berargumentasi, pandai berfilosofi namun miskin aksi.Â
Masyarakat sudah selayaknya mendapat pemimpin yang berkarakter manusia unggul tentu tanpa meninggalkan nilai-nilai religious sebagaimana kultur masyarakat Indonesia. Bukan hanya berdasarkan religious namun digunakan untuk politik identitas. Setiap calon tidak perlu takut dengan rakyat karena hati Nurani rakyat lebih tajam melihat figure dengan kapasitas manusia unggul.Â
Manusia unggul tentu pada akhirnya akan mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat namun sebaliknya ketika mereka tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat maka hanya akan menjadi drama politik menjelang tahun pemilu di 2024.
Penulis: Eko A. Ariyanto & Sayidah Aulia Ul HaqueÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H