“Berangkat lagi, Mas?”
“Kamu sudah tanya itu berkali-kali! Jangan munafik! Jaman sekarang udah nggak penting halal haram. Yang penting kita bisa makan dan Dimas sekolah sampai selesai.”
Terdengar hela napas perempuan, terabaikan seiring suara pintu tertutup.
Lelaki itu melangkah dalam gelap dini hari, tangannya mempersiapkan sebuah sarung kain untuk wajah, juga badik bergerigi yang terselip mantap di pinggang. Itu mata pencahariannya, beberapa bulan ini.
***
“Bapak berangkat lagi ya, Bu?” lelaki muda dengan seragam putih abu tengah sibuk mengaitkan tali sepatu.
“Iya. Sudah, jangan difikirkan. Kamu harus fokus, minggu depan ujian nasional.”
Setelah cium punggung tangan, si muda jangkung berlalu bersama sepeda motor baru. Sekolah.
Tinggallah perempuan itu di rumah sendirian. Tidak, berdua dengan seorang bayi mungil yang lelap pulas dalam ayunan kain. Mati-matian ia mengatur laju denyut jantung yang tak pernah teratur beberapa bulan terakhir ini. Bukan karena kemiskinan yang berkali-kali menjerat leher mereka hingga ke depan pintu rumah rentenir. Bukan juga rasa malu yang teramat kecut menenggelamkan mereka dari keluarga besar nan gemar menyindir dalam setiap momen temu keluarga. Tapi pada lelaki itu, suami yang dibaktinya hingga rela meninggalkan hidup mewah bersama orangtua.
Sejak awal ide itu muncul, ia tak pernah setuju. Bagaimana mungkin merelakan suami tercinta mencari nafkah dalam bahaya? Tapi adakah pilihan lain? Ketika pekerjaan halal seperti kuli serabutan atau buruh tak kunjung cukup menutup kebutuhan hidup mereka. Meski dengan pekerjaan sekarang ia tak lagi yakin do’a dapat menjaga suaminya agar baik-baik saja, apatah lagi memberi kepantasan atas berkah rezki yang halal. Ia malu sesungguhnya, malu pada Tuhan.
Si sulung lelaki tak pernah tahu. Yang ia tahu bapaknya adalah seorang buruh perkebunan sawit dengan jam kerja tak tentu. Kadang berangkat pagi sekali sebelum subuh. Kadang sore mejelang maghrib, atau dinihari saat tak ada lagi orang yang bangun. Setiap kali ia bertanya pada sang ibu, jawaban yang didapat hanyalah sama, agar ia fokus sekolah dan ujian.
Kadang ia ingin bertanya, kenapa bapak tak berangkat kerja siang saja. beberapa buruh pernah dilihatnya bekerja normal sebagaimana pekebun layaknya. Juga kenapa bapak tak memiliki ala-alat kebun di rumah seperti sabit, tanco, atau sejenisnya. Tapi, ah ibunya selalu menjadi benteng pertanyaan. Memaksanya puas dengan uang saku yang telah bertambah dan menu makan yang sedikit berubah.
Menurut, baginya adalah penghormatan khusus pada orang tua, terlebih ibunya. Wanita lembut yang membesarkannya itu tak pernah pantas bagi kata-kata keras, meski bapak berkali melakukannya. Ia tidak ingin seperti bapak. Ketidakinginan yang kadang melahirkan benci, atau sekedar amarah untuk melawan. Apa yang tidak menjijikkan bagi laki-laki kasar dan kaku seperti lelaki itu? Tapi benteng ibu lagi-lagi kuat, ia tetap anak penurut, sekalipun pada bapak.
“Bu, berangkat.”
“kemana, nak?”
“rumah temen. Belajar.”
“kok sore sekali. Nanti pulang jam berapa?”
“mungkin setelah maghrib.”
“Jangan malem-malem, ya. Kebun sawit yang dekat sawah itu rawan.”
“Iya.”
Jarum pendek penunjuk waktu berdiri lunglai di angka lima, saat anak itu lelaki itu pergi meninggalkan rumah.
***
Senyap, amat senyap. Anak lelaki itu lupa bahwa ini malam jum’at. Ia pulang terlalu malam, walaupun masih jam sembilan. Ada ragu untuk sesuatu yang marak ditakutkan. Tentang kabar kabar yang beredar bahwa tempat ini tak aman. Tentang banyak korban berjatuhan dari parang badik dan bahkan sabit pengunduh sawit. Juga tentu, nyawa melayang tak lagi berbilang dari pelintas jalan bernasib malang. Tapi ia harus tetap pulang, ibunya pasti cemas menunggu di rumah, mungkin sendirian.
Sepeda motor baru melaju agak tergesa. Jaketnya rapat melindungi hawa dan masker melekat kuat menutup hidung dari debu tanah merah. Tak ada cahaya di tengah kebun sawit kecuali terang bulan yang remang. Pun tak tampak ada orang lewat meski satu saja, padahal siang hari jalan ini termasuk ramai dan terang. Sudah, ia tak ingin berfikiran macam-macam, walau ketakutan tak elak mengejar bahkan untuk laju sepeda motor delapan puluh kilometer per jam. Yang ia tahu ia harus segera sampai di rumah, selamat.
Kebun sawit gelap membentang empat kilometer terasa berlipat kali lebih panjang. Motor baru berjalan bagai kutu, sesenggukan sendirian. Ia merapal berbagai-bagai do’a yang terlintas di fikiran. Tuhan mohon selamatkan, Tuhan mohon penjagaan. Dan sesuatu datang. Roda dua yang melaju begitu cepat. Sesaat ia merinding, itukah pertolongan, atau pertanda kesialan? Lampu utama ditembakkan padanya dari belakang. Ia gegas, namun motor belakang tak kalah cepat. Ia panik tak perduli lagi lubang kecil dan batu tergeletak usil di jalanan. Tubuhnya berpentalan, mengikut ritme sepeda motor menggagahi tanah merah gelap.
Wwuussss... sepeda motor perkasa melewatinya begitu saja, tanpa tegur sapa barang tanya mau kemana. Tak ada yang tertinggal kecuali sign kiri yang tampak menyala. Oya, ia lupa. Orang bilang sign kiri harus tetap menyala jika terpaksa melintas di kawasan angker tersebut, sebagai pertanda bahwa ia penduduk pribumi asli. Semoga ini menyelamatkan. Lalu menyusul lebih sigap si perkasa yang hanya tinggal titik di kejauhan.
Ia lega. Lampu rumah penduduk tampak terang limaratus meter di depan. Sedikit bernafas puas sebab selamat dari undian maut kebun sawit pemakan korban. Dikendurkan cengkeraman gasnya. Ia meraba peluh yang menghujani pelipis. Juga angin yang sedari tadi lebih dingin sebab kaus dan jaket sudah lagi kuyup oleh keringat.
Dalam santai yang lega, dua sosok hitam menyambut di ujung kanan jalan. Siapa minta pertolongan atau tebengan begini malam? Jangan-jangan korban pembegalan? Tapi tak ada tanda-tanda. Dua bayangan hitam kian tegap melangkah ke tengah. Semakin dekat, wajahnya kian tak terlihat. Sesuatu panjang berkilat ditimpa sinar bulan, mantap di genggaman. Oh tidak. Ia nampaknya mesti lebih gegas dari sebelumnya.
Gas dipacu sambil melaju sekuat mampu. Arrggh.. sialan! Besi panjang menghadang lehernya hingga ia jengkang, sepeda motor lepas dari badan. Sign kiri samasekali tak menyelamatkan. Kemudian tangan kekar menariknya dari belakang, bocah muda dicangking seperti anak kucing. Ia memberontak hebat. Tapi dua orang cukup membungkam mulutnya dengan kain, sekedar meredam suaranya agar tak terdengar siapapun nun di depan sana. Ia meronta, kencang. Kedua tangannya masih berfungsi saat tubuhnya melompat dan berusaha merebut sepeda motor lalu pulang ngebut dengan selamat. Tapi siapa mampu melawan dua orang hitam berbadan besar?
Pukulan bertubi mendera wajah dan tangannya yang mencoba bebas. Sakit, tapi ia merasa harus menang. Membalik badan lalu bersiap menerjang, tapi tak berhasil. Kepalnya meleset dan hanya ditangkap si badan besar denan enteng. Tak ada akal, ia hanya berusaha sigap meraih topeng kain pembungkus wajah, berhadiah bogem mendarat pulas di hidungnya. Tersungkur jatuh untuk kemudian sontak kaget bukan kepalang.
“Arg, bocah sialan!! Bangsat!!” begal menyumpah serapah, topeng kainnya terlepas.
Ingin si anak lelaki membalas rasa perih juga nyeri di hidungnya. Tapi terlambat. Tubuhnya lebih dulu dibanting paksa. Ia rebah, sekejap kemudian sesuatu dingin menerobos masuk ke dalam perutnya dengan amat tidak sopan. Ada rasa sakit tak tertahan kala belati bergerigi itu ditusukkan kedua kali di perut sebelah kiri, dan ditarik ke kanan sekian senti.
Anak lelaki itu tak tau apa yang terjadi. Robek di perutnya merebut kesadaran. Ia hanya ingin mengucap satu kata kala topeng terlepas dan wajah yang tampak di terang bulan, “Bapak..ini Dimas.” Ia hanya ingin pulang, bukan bermalam di bawah pohon sawit pinggir jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H