“Ngumpulin uang setahun habis hanya untuk lebaran, selalu seperti itu setiap tahun.” Demikian pengakuan seorang buruh bangunan saat kami berbincang soal penghasilan dan biaya hidup.
Habis-habisan untuk berlebaran mungkin juga banyak terjadi pada kaum urban yang tinggal di Ibukota maupun kota besar lain, baik yang memiliki penghasilan pas-pasan maupun yang sedikit lebih baik.
Keperluan Lebaran yang menguras kantong
Hari Minggu lalu, tepatnya satu minggu jelang lebaran saya melihat hampir semua pusat perbelanjaan baik pasar tradisional maupun mall, penuh, jalanan macet, begitu juga KRL tujuan Tanah Abang luar biasa padatnya. Semua sibuk berburu keperluan lebaran, bukan hanya baju namun sepatu, sendal, kerudung, mukena, sarung dan keperluan lain yang akan dipakai untuk berlebaran.
Bila satu keluarga terdiri empat anggota keluarga, maka bisa dihitung berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk semua anggota keluarga, belum lagi bila si anak sudah jelang remaja, yang ingin mengikuti gaya masa kini namun belum dapat membeli dengan uangnya sendiri, maka biasanya sebagian besar pengeluaran akan terbagi kesana. Tidak cukup hanya untuk keluarga, biasanya kita juga akan membeli pakaian atau sarung untuk dibawa sebagai oleh-oleh saat pulang kampung.
Bukan hanya kebutuhan pakai, lebaran juga identik dengan kue dan makanan yang enak-enak, belum lagi kue atau makanan yang harus dibawa ke kampung halaman sebagai oleh-oleh yang akan dibagikan bukan hanya kepada kerabat, namun juga tetangga dan sanak saudara yang jumlahnya hampir seisi kampung.
Mudik dan Mencari Gengsi di Kampung
Mudik memang sudah menjadi tradisi masyarakat saat lebaran, sehingga bagi penduduk Ibukota akan mulai merasakan kehilangan dan kesepian beberapa hari sebelum dan sesudah lebaran. Sepi karena tetangga banyak yang meninggalkan rumahnya, dan kehilangan karena para pedagang sudah mulai tidak terlihat dan terdengar lagi menjajakan dagangannya.
Seperti yang buruh bangunan ceritakan, biaya terbesar yang harus dikeluarkan adalah untuk keperluan mudik, karena bukan hanya untuk ongkos transportasi menuju kampung halaman, namun harus juga mengeluarkan banyak uang untuk diberikan kepada orang tua, dan sanak saudara yang jumlahnya hampir seisi kampung. Bukan hanya itu, biasanya saat di kampung tidak sedikit yang kemudian akan sekaligus berlibur ke tempat-tempat wisata terdekat bersama keluarga yang ada dikampung, dan biaya untuk kegiatan ini pun tidak cukup sedikit.
Lucunya, karena ingin dianggap sukses hidup di ibukota, banyak yang memaksakan diri untuk tampil cantik dan membawa barang-barang mewah untuk dipamerkan kepada orang-orang di kampung halaman. Masih teringat dengan asisten rumah tangga saya yang selalu harus ke salon untuk rebonding atau smoothing rambutnya sebelum pulang kampung, dengan alasan agar terlihat cantik saat di kampung meskipun biaya yang harus dikeluarkan untuk ke salon mencapai seperempat gaji bulanannya.
Untuk alasan mencari gengsi di kampung halaman pula, tidak heran bila kita melihat toko perhiasan dan toko handphone akan dipenuhi pembeli, bahkan juga ada yang memaksakan diri untuk membeli mobil atau motor baru untuk dibawa saat mudik.
Habis-habisan setelah lebaran
Untuk memenuhi semua keperluan lebaran yang saya sebutkan diatas, tidak sedikit jumlah uang yang harus dikeluarkan, bahkan ada yang sampai menggunakan seluruh tabungan bahkan gaji yang seharusnya digunakan keperluan hidup bulan depan dipakai untuk memenuhi kegiatan lebaran. Bagi yang tidak memiliki tabungan, ada juga yang harus berhutang baik melalui kartu kredit maupun berhutang langsung kepada teman atau bahkan ada yang berani meminjam kepada renternir.
Setelah lebaran usai, kehidupan akan kembali seperti semula, memulai kembali bekerja mengumpulkan uang untuk membayar hutang atau untuk dihabiskan pada lebaran tahun depan.
Selamat menyambut hari raya, semoga kita bisa memaknai Idul Fitri dengan sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H