Ketika masa kanak-kanak hingga kelas satu SMA, saya tinggal di lokasi yang tidak jauh dari rel kereta api. Oleh karena itu, melihat dan mendengar suara kereta api lewat sepertinya sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Meskipun masih kecil, saya bisa membedakan mana kereta barang mana kereta penumpang, dan tidak jarang kedatangan kereta lewat tersebut menjadi hal yang ditunggu oleh saya dan teman-teman, ditunggu hanya untuk membuat pisau mainan dari sebuah paku. *ups
Tanggal 28 September 2016 ini, ternyata PT. KAI akan berusia 71 tahun, dan ini baru saya sadari saat melihat display picture teman-teman yang bekerja di perusahaan tersebut. Usia tujuh puluh satu tahun berarti sama dengan usia negara kita sekarang, sebuah usia yang tidak muda lagi, pastinya sudah banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Tahun1980-an ketika saya masih lucu dan menggemaskan, pertama kali naik kereta api harus satu gerbong dengan kambing dan ayam. Masih teringat kehebohan dalam gerbong tersebut di mana suara ayam dan kambing bersaing dengan suara para pedagang asongan yang berteriak-teriak menjajakan jualannya.Â
Tahun1990-an, ketika saya sudah tumbuh menjadi gadis manis dan tetap imut, kondisi kereta api tidak jauh berbeda, tetap penuh, sampai-sampai penumpang bergelantungan di balik jendela yang sudah tidak berkaca, bahkan mereka duduk manis di atas gerbong. Pedagang hilir-mudik berteriak sambil membawa dagangannya, "Yang haus, yang haus.", "Cangcimen, cangcimen", "Leupet na yeuh," mengalahkan suara pengamen yang tidak jelas menyanyikan lagu apa.Â
Tidak kalah bandel dengan saat kecil, saya yang saat itu sudah kuliah, bila hendak pulang kampung dari Bogor, saya turun persis dekat rel kereta api, kemudian berlari menuju kereta yang hendak berangkat dari Stasiun Serpong menuju Stasiun Rangkasbitung tanpa membeli karcis terlebih dahulu. Bila bapak pemeriksa karcis datang, saya cukup membayar seribu rupiah di atas kereta atau saya akan naik gratis bila bapak pemeriksa datang saat saya sudah lelap tertidur, bukan pura-pura tidur ya*nyengir.
Selain naik kereta untuk pulang kampung, saya juga pernah ikut teman naik kereta dari Bogor ke Stasiun Kota. Pada masa itu, ada dua pilihan kereta, yaitu ada ekspress Pakuan yang kondisinya lebih baik dan lebih manusiawi untuk penumpang dibanding kereta ekonomi, meskipun harus membayar lebih mahal.
Setelah lulus kuliah, bekerja, menikah dan pindah kota, saya sudah jarang menggunakan kereta api karena lokasi kerja cukup dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan kota. Sesekali menggunakan kereta hanya untuk keperluan mengunjungi Mangga Dua, berangkat dari stasiun Tangerang menuju Stasiun Kota.
Kegiatan saya mengunjungi Mangga Dua tersebut berhenti di tahun 2011, saat PT. KCJ mengubah rute menjadi 5 rute utama, karena untuk tiba di Stasiun Kota, saya harus pindah dua kali kereta berbeda.Â
Setelah absen beberapa tahun, tahun 2016 ini saya bersama dua rekan kompasianer mencoba kembali naik kereta dengan tujuan Stasiun Kota. Ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya di Stasiun Tangerang, selain tersedia tempat parkir yang luas, lebih rapi dan sudah menggunakan sistem tiket elektronik, yang sebenarnya lebih mudah bila kita memiliki e-money, saya masih melihat panjangnya antrean yang membeli tiket maupun refund.Â
Kondisi kereta sudah jauh berbeda dengan saat terakhir saya naik, di mana sudah tersedia kursi untuk lansia, ibu hamil, dan kaum difabel, tidak ada lagi yang makan dan minum di dalam kereta, petunjuk rute terpampang jelas dan ada pemberitahuan nama stasiun pemberhentian.
Bagaimana kondisi stasiun dan kereta di kampung halaman saya?Â