Mohon tunggu...
Ariyani Na
Ariyani Na Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Hidup tidak selalu harus sesuai dengan yang kita inginkan ... Follow me on twitter : @Ariyani12

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menahan Hati untuk Menjaga Periuk Nasi

10 Februari 2016   12:22 Diperbarui: 10 Februari 2016   13:04 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terinsiprasi dari komentar seorang Kompasianer Sepuh  yang ada di artikel Kisah Pilu Driver GoJek vs Customer, demikian,

“Benernya sih, sikap "menahan-hati" itu akan selalu terjumpai di setiap profesi yang "dianggap-rendah" oleh sesamanya, bang..... Pada penjual nasi goreng yg dianggap konsumennya menjual nasi gak enak. pada pemilik toko kelontong yang dimaki konsumennya. Pada kontraktor yg bertemu pemilik rumah yg enggan membayar, pada rekanan yg mesti meladeni kebutuhan pejabat yg aneh2. Dan....... pada mahasiswa yg menghadap dosennya .......... Tapi itulah seninya hidup. hihihi Pekerja sosial semisal Ketua RT atau ketua DKM pun harus siap menerima perlakuan seperti itu ...... Bravo, bang!”

Saya tertarik dengan kalimat “menahan hati akan selalu dijumpai di setiap profesi yang dianggap rendah oleh sesamanya.” Dan menurut saya bukan hanya profesi yang dianggap rendah tetapi hampir pada semua profesi.

Prinsip bahwa pembeli adalah raja seringkali dijadikan alasan untuk seorang pembeli, baik barang ataupun jasa, boleh bersikap semaunya dan tidak peduli ‘nasib’ maupun perasaan si penjual barang ataupun jasa.  Yang muncul dalam pikiran pembeli mungkin kalimat seperti ini “Saya mau kasih rejeki kok, kenapa harus jadi saya yang susah?” atau dengan kata lain “Saya mau kasih rejeki kok, kenapa dipersulit?”  

Bagi yang tidak berada diposisi penjual, membaca cerita yang dituliskan pada artikel kisah pilu driver gojek, pasti akan langsung merespon bahwa pembeli-pembeli seperti itu harus diberi ‘pelajaran’, namun bagi penulis cerita yang bertindak sebagai penjual jasa tentu tidak dapat berlaku demikian, karena disana ada PERIUK NASI yang tetap harus dijaga, agar keluarganya tetap dapat makan kenyang.

Sama seperti cerita seorang pedagang kelontong yang sudah bertahun-tahun berjualan, kemudian baru-baru ini dibantu anaknya berjualan. Pengalaman bertahun-tahun si pedagang ini menghadapi pembeli tentu tidak serta merta dapat langsung diikuti oleh si anak, sehingga tidak jarang pedagang ini mengingatkan si anak untuk menurunkan nada suara saat meminta pembeli untuk sabar antri dilayani.

Perasaan kesal bercampur marah tentu akan hadir saat berhadapan dengan pembeli yang bersikap semaunya, tetapi demi menjaga suasana dan kelangsunganan usaha/pekerjaan, tentu perasaan itu tidak akan diungkapkan secara langsung dihadapan orang tersebut, melainkan akan berusaha meredam marah dan bersabar menghadapinya, dan ini yang saya anggap sebagai kemampuan MENAHAN HATI agar tidak merasa sakit hati.

Bukan hanya terjadi di profesi yang berhadapan langsung dengan konsumen, di lingkungan perkantoran juga sering kita jumpai prilaku ‘akulah raja’ sehingga merasa harus di nomor satukan dan tidak boleh ada penolakkan, contoh seorang bagian marketing yang marah-marah pada bagian operation hanya karena ada aplikasi nasabah bernilai ratusan juta yang harus ditolak karena tidak memenuhi persyaratan umum.  

Tidak semua orang mampu menahan hati saat berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak enak seperti yang diceritakan driver gojek tersebut, terutama bagi orang yang belum berpengalaman menghadapi hal-hal tersebut, perlu proses belajar untuk ‘meluaskan hati’ menerima perlakuan yang mungkin dapat disebut sebagai ‘tindakan yang merendahkan.’

Pengalaman berhadapan dengan pembeli atau pengguna jasa yang memaksa kita ‘menahan hati’ akan membuat kita lebih dapat menghargai orang dengan profesi lain yang mirip atau bahkan profesi yang dianggap lebih rendah sekalipun. Selain itu, pengalaman tersebut akan membuat kita lebih pintar mengenal karakter pembeli dan sudah memiliki ‘jurus’ untuk bagaimana menghadapinya.

Perlakuan yang tidak enak tentu bukan selamanya disebabkan karena kesewenang-wenangan pembeli atau pengguna jasa, tetapi bisa juga disebabkan karena kesalahan kita, baik disengaja atau tidak sengaja, dan untuk menghadapinya tentu tetap perlu menahan hati dan mengakui bahwa yang dipermasalahkan oleh pelanggan tersebut memang tidak seharusnya terjadi. Untuk kasus ini, agar tidak terulang pada pelanggan lain maka perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan.

Perlu ada saling menghargai, baik pembeli maupun penjual barang dan jasa agar tidak terjadi hal-hal yang membuat salah satu pihak merasa terhina atau dirugikan. Penjual barang atau jasa berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan pembeli juga harus mau mengikuti aturan atau etika jual-beli, dan tidak dapat berprinsip bahwa saya punya uang maka semua boleh suka-suka saya, sehingga dengan demikian prinsip pembeli adalah seorang raja dapat kita ganti menjadi seorang partner.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun