Teror Pemangsa Janin (Bagian 2): Makam Terbelah
By Ariya Wirasastra
SETELAH Mirda siuman dan agak tenang, Abah Azis minta Aran ikut dengannya sambil membawa  bungkusan yang sudah disiapkan Nyai Ipah dari rumah. Abah juga meminta Mang Dadang berjaga di teras menemani istrinya yang sedang merukiyah Mirda.
Aran berpikr jika Abah mengajaknya ke suatu tempat yang jauh dan menyeramkan.  Ternyata tidak,  Abah malah berbelok ke samping rumah  yang  telah ditumbuhi belukar.  Sebetulnya Aran khawatir ada serangga bahkan ular yang menyengat.  Namun melihat lelaki sepuh di depannya berjalan dengan tenang dalam kegelapan, maka dia pun memberanikan diri mengikutinya.  Akhirnya mereka sampai persis di tembok belakang rumah kontrakan.Â
Betapa terkejutnya Aran saat menjumpai di balik tempat tinggalnya terdapat  tujuh makam tak terawat.  Bulu kuduknya pun merinding menyusul rasa takut dan ngeri yang muncul. Aran menyesal  karena setelah hampir setahun mengontrak rumah itu, belum sekali pun dia  memeriksa sekeliling rumah. Pantas selama ini dia dan Mirda kerap merasakan suasana yang angker jelang dini hari, dan puncaknya beberapa minggu terakhir setelah kandungan Mirda masuk usia tujuh bulan.
Malam kian gelap dan udara semakin dingin. Cahaya dari lampu di tiang listrik depan kontrakan, tak lagi menjangkau  posisi Aran dan Abah.  Maka  Aran berinisiatif menggunakan androidnya untuk menerangi pandangan mereka. Dilihatnya ketujuh makam itu sudah rusak  nisannya, sebagian masih ada sisa serpihannya tapi selebihnya sudah rata dengan tanah.
Dengan bantuan  sinar lemah itu tampaklah ketujuh makam itu dikelilingi rumput liar dan belukar, tapi anehnya semua  makam bertanah gersang,  keras serta gosong.  Hampir semua batu nisan melapuk dan serpihannnya berserakan.
Abah terus melangkah menerabas belukar dan gelap tanpa  rasa takut.  Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Aran supaya mengarahkan cahaya  pada makam  di sudut kanan belakang rumah, persis di balik dapur dan kamar mandi yang dimana Mirda sering beraktivitas.
"Audzubillahi minas syaitonir rodzim," Â lirih Aran ketika menyaksikan makam itu merekah terbelah dua meninggalkan lubang dalam di tengahnya.
Abah tak berucap apapun melainkan  segera mengambil alih android lelaki muda itu lalu menyuruh menimbun lubang di makam. Digunakanlah  bebataan, rumput dan batang belukar kering untuk menimbun. Aran tak berani menginjakan kaki ke atas makam untuk memadatkan lubang, Abah Ade juga tak memaksa. Selanjutnya Abah mengeluarkan isi bungkusan yang dibawakan Nyai Ipah. Sebotol air melati dan segumpal garam dapur ditebarkannya ke seluruh permukaan makam.
Aran tersentak kaget  dan melangkah mundur manakala dari  bekas rekahan keluar asap putih  bagaikan  karburator panas disiram air. Semenara Abah tetap tenang sambil terus menebar garam.  Setelah dirasanya cukup, orang tua itu mengajak beranjak dari situ.
Tak berapa lama  keduanya sudah kembali ke dalam rumah seteah membersihkan diri serta berwudhu.  Sementara Mirda sudah membaik, bahkan kini tertidur pulas.  Nyai Ipah menemani di sisi tempat tidur sambil  membaca  ayat-ayat suci dengan pelan.
Ketiga tamu di rumah Aran itu memutuskan bermalam di teras rumah sambil memastikan keadaan aman.  Setelah menggelar kasur lipat untuk Nyai Ipah,  Aran  kembali ke ruang tamu bersama Abah dan Mang Dadang.  Merasa kedinginan, Abah minta dipinjamkan jaket. Angin malam bertiup kencang membuat suasana mencekam.
Setelah meminum kopi yang sudah dingin, Abah Azis menceritakan alasannnya mengajak Aran  bersusah payah menerobos semak untuk  menimbun kuburan  terbelah di belakang rumah. Menurutnya tujuh makam itu milik keluarga  Mak Tua Kecil alias nenek buyut dari pemilik kontrakan. Mak Tua kecil adalah seorang dukun beranak atau paraji yang banyak membantu  orang melahirkan pada masa penjajahan Belanda.  Keberadaannya sangat dihormati masyarakat karena belum ada bidan apalagi dokter pada waktu itu. Apalagi  Mak Tua Kecil ringan tangan, kerap tak meminta imbalan.  Keluarga mereka diberi hadiah sebidang tanah yang luas oleh Pemerintahan Belanda di Batavia. Oleh karena itu keluarga mereka terangkat derajatnya dan jadi terpandang, sehingga anak cucunya sejahtera.
Namun martabat keluarga Mak Tua Kecil mulai meredup setelah dukun beranak itu wafat.  Menurut Abah Azis  bukan  saja  nama baiknya meredup, bahkan  hancur  ketika  salah satu cucunya  menganut ajaran sesat dan memiliki ilmu hitam. Sang cucu yang bernama Manta sebetulnya  mewarisi keahlian neneknya membantu proses kelahiran, bahkan punya pengetahuan bagus soal tumbuhan maupun jamu  untuk para pasien perempuannya.  Tapi ajaran sesat yang dianutnya  meminta tumbal berupa janin bayi yang masih dalam sehingga dukun Manta bukanya menolong malah mengorbankan pasiennya. Beberapa kali terjadi perut ibu hamil yang tiba-tiba mengempis, atau jabang bayinya keluar dalam keadaan mati dan berujung kematian sang ibu.
Menurut Abah Azis pada awalnya  praktik jahat  Dukun Manta lancar saja. Tapi setelah hampir semua pasien  yang ditanganinya kehilangan janin atau bayi yang dilahirkan mati, maka kecurigaan warga pun timbul.  Tentu saja praktik  kejahatan gaib itu sulit dibuktikan.  Akhirnya emosi warga tak terbendung  ketika seorang suami pasiennya menuntut kematian istri dan jabang bayinya. Nasib Manta pun  dihakimi secara brutal oleh warga yang merasa jadi korban.  Setelah dipukuli ramai-ramai, tubuh Manta diseret dengan wajah tertelungkup ke jalanan berbatu.
"Begitulah Bang Aran. Kuburan retak di belakang itu itulah tempat Dukun Manta dikebumikan tanpa penghormatan dan cara yang lazim. Hanya dibenamkan begitu saja ke dalam tanah dan tak satu pun saura mengantar kecuali juru kunci pemakaman keluarga Mak Tua Kecil,"ujar Abah Azis  sambil menghela nafas panjang.
Aran dan Mang Dadang serius mendengarkan penuturan orang tua yang masih segar dan belum mengantuk padahal di luar  sayup-sayup terdengar suara  orang membaca ayat suci pertanda jelang subuh, dari kamar mandi terdengar suara Nyai Ipah mengambil wudhu, sementara Mirda masih tidur lelap.
"Masalahnya Bang Aran, Â pada waktu-waktu tertentu arwah Dukun Manta bangkit untuk melakukan praktik jahatnya memangsa janin yang ada dalam kandungan perempuan muda dan tanda kebangkitannya itu tanah makamnya retak-retak, terbelah dan berlubang, seperti yang tadi Kita lihat," ujarnya mengakhiri.
Selanjutnya setelah melaksanakan sholat shubuh berjamaah di ruang tamu, Abah Azis dan istrinya  serta Mang Dadang pamit pulang. Aran menyampaikan terima kasih berulang kali kepada para tamunya.  Calon ayah berusia  25 tahunan itu berupaya menyisipkan lembaran uang kertas ke saku baju koko Abah, namun orang tua itu menolaknya.  Berikutnya Aran merenung sendirian sambil memandangi tetamunya yang menghilang di pertigaan jalan.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H