Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjara Rindu Maratua

26 November 2023   23:08 Diperbarui: 26 November 2023   23:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Puan! Puan! Puan Noor, ayo lekas pulang. Badai dah datang! Teriak seorang perempuan tua sambil berlari-lari kecil  menuju ke arahnya.

Sesampainya dekat sang dara yang sudah basah kuyup, perempuan tua itu segera  mengampit lengan Siti Noorhafiza dan meletakan sebuah tampah lebar di atas kepala keduanya. Tampah dari anyaman bambu biasanya untuk menampih padi, memisahkan gabah dari beras. Namun  hari ini perangkat kerja sang Mamak Inang di dapur difungsikan  menaungi majikannya dari terpaan hujan. Di bawah amukan badai dan langit gelap meski di siang hari, kedua perempuan itu berjalan pelan tertatih menuju tempat tinggal mereka yang agak jauh dari pantai. Pakaian kedua perempuan itu sudah  basah semua,  tampah di atas kepala mereka tak banyak membantu lantaran angin  mengacaukan terpaan air hujan ke segala arah.  Keduanya berupaya mempercepat langkah manakala jarak pandang semakin memendek oleh  awan gelap.

Beruntung! Sebelum cuaca makin memburuk,  mereka sudah  tiba di sebuah rumah panggung yang kokoh. Mamak Inang segera menyalakan pelita kecil yang biasa diletakkan di sudut ruang, sementara Siti Noorhafiza lekas berganti pakaian.

"Puan Noor, tadi pagi Mamak jumpa  kawan Pakcik di pasar, ucap Mamak Inang sambil menyuguhkan  sepiring nasi dan tiga potong ikan bakar.

Sesungguhnya Noor telah merasa lapar setelah berberapa lama melamun di dermaga  serta  serangan hawa dingin. Namun dirinya urung menyentuh  makananan  di atas meja jati.  Sebaliknya Noor  malah menyodorkan jatah makan siangnya kepada Mamak, lalu meminta perempuan tua itu melanjutkan ucapannya.

"Begini Puanku Katanya, Pakcik bersama para pendekar silat  dari Kampung Berau sudah berangkat menuju Kerajaan Sarawak.," lanjutnya sambil balik menyodorkan piring kepada majikannya. Mamak memberi isyarat jikalau dirinya sudah makan sebelumnya serta merasa tak layat menyantap sesuatu di depan sang dipertuan.

Kabarnya para datuk dan ulama dari Negeri Santubong juga kerajaan Sarawak, telah memberi maklumat supaya menghentikan perlawanan dengan tetara Inggris.  Mereka nak coba damai dan sepakat ibu kota dipindah ke Kuching. Tapi tak semua orang mau ikut maklumat tersebut, cerita Mamak.

"Jadi Puanku, karenanya  suasana kian kacau maka semua anak negeri yang merantau  diminta kembali untuk memutuskan serah kekuasaan. Karenanya Pakcik  tidak akan Kita jumpai lagi esok. Cuma anak asuhnya yang antar bekal ke sini,"  tuturnya mengakhiri.

Bola mata Noor kembali berkaca-kaca  membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Sementara badai di luar belum juga reda, malah makin  marah seiring perasaan Noor yang kian gundah. Telah tergambar di pikirannya, dirinya harus lebih lama lagi tinggal di penjara rindu maratua.

Menara Mualifa Jakarta, 13 Jumadil Awal 1445H / 26 November 2023M

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun