"Mi, sudah Mi. Jangan sedih lagi Mi, ucap Djoni  sambil memeluk ibunya tercinta yang mulai meneteskan air mata."Aku paham Mi, kenapa Mami benci hari kemerdekaan ini,  ucap Djoni lagi sambil mengelap butiran air mata di pipi Mami menggunakan ujung bendera.
Pada saat bersamaan terdengar  sekelompok anak sebaya Djoni menyerukan  pekik merdeka.  Ketika tepat berada di depan pekarangan rumah Djoni dan maminya, mereka kompak memanggil nama putra tentara Heiho.
"Djoni! Pawai yuk! Djoni! Main yuk!" teriak para bocah serempak.  Sebagian anak mengangkat naik turun tongkat dengan bendera merah putih pada ujung atasnya. Sementara sebagian anak memukul-mukul  kentongan atau kaleng bekas minyak goreng curah sehingga menimbulkan suara gegap gempita.
"Mi, boleh Aku  ikut pawai dengan teman-temanku?" tanya Djoni  sambil siap siaga.
Raut wajah Mami segera beruah cerah. Disadarinya kehidupan anaknya yang tanpa kehadiran ayah, Â kondisi mereka yang penuh keterbatasan dengan mengandalkan segelintir perhiasan peninggalan suaminya seorang serdadu Jepang. Â Mami pun merasa bersalah menampilkan kesedihan pada hari itu.
"Tentu saja boleh Djoni. Â Hari ini Mami memang benci kemerdekaan. Tapi hari ini juga Mami bahagia atas hari kelahiramu sayang, ujar Mami sambil menciumi kedua pipi anaknya.
"Hore! Mami  senyum lagi. Merdeka!" teriak Djoni sambil mengangkat tongkat benderanya.
"Kamu memang anak tentara Jepang, tapi Kamu anak merdeka di negeri yang merdeka. Sungguh Mami cinta kemerdekaan anak  yang merdeka. Hanya saja tidak untuk hari ini," gumam Mami setelah Djoni bergabung dengan teman-temannya dan berlalu dari situ.
Lenteng Agung, 18 Muharram 1444H / 17 Agustus 2022M
In memoriam to Paula Djoni (alm.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H