Mendegar sungutan Mami, Â bocah bertubuh kurus pendek pun bersemangat mendekati ibunya.
"Papi hebat ya Mi?" tanya Djoni Junior dengan mata berbinar.
Mami mengangguk sambil tersenyum.
Papi  juga pejuang kemerdekaan ya Mi?" tanya anaknya lagi penuh antusias.
Mami pun mengangguk lagi sambil tersenyum. Tapi kini pandangannya terarah pada wajah anak semata wayangnya. Pandangannya menerawang  ke masa lampau sepuluh tahun yang lalu. Bentuk  wajah, garis alis, ikal rambut serta tatapan sosok lelaki kecil  kini, sangatlah mirip dengan sosok dewasa yang pernah hidup bersamanya  selama  dua tahun sebelum berpisah 17  Agustus 1945.
"Mi, sekarang Papi ada dimana?", tanya Djoni lagi.
Mami pun hanya dapat jawab dengan kata entah. Â Sejak kekaisaran Jepang memerintahkan seluruh pasukannya kembali ke negerti matahari terbit, Papi bersama pasukan Heiho berangkat ke Jepang.
"Papi orang Jepang Mi?"
"Bukan," jawab Mami.
"Papi Kamu lahir di Manado dan Mami orang Jakarta asli. Tapi Papi seorang lelaki yang setia dan tahu balas budi. Papi lebih memilih  terus bersama pasukannya, meninggalkan Mami dan Kamu yang baru saja lahir persis di hari ini," ujar Mami dengan wajah sendu.
Teringat olehnya kali pertama sekaligus terakhir pertemuan Papi dengan bayi laki-lakinya.  Jelang fajar, sebelum keberangkatan seluruh komponen Dai Nippon ke Jepang, Papi Djoni menemui Mami Masni yang baru saja melahirkan Djoni kecil  di Wisma Asih Jakarta. Selang beberapa jam kemudian berkumandang yel-yel merdeka di segenap penjuru kota setelah  diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada pukul 10 pagi.