Mohon tunggu...
Ariyadi Rusdi
Ariyadi Rusdi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ariyadi Rusdi

Sekadar menulis, apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ibu Yani Menolak Lupa

3 Januari 2022   19:02 Diperbarui: 3 Januari 2022   19:15 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita memandang langit yang sama, tapi mengapa hidup kami begitu jauh berbeda."

 Suatu sore di tahun 2014, Ibu Yani sedang berada di kebunnya. Seperti biasanya, ia menyirami puluhan tanaman pohon kelapa dan cengkehnya untuk sebuah masa depan bagi anak cucunya kelak. Saat Ibu Yani menikmati air kelapa, tiba-tiba satu unit alat berat msuk di kebunnya dan merobohkan pohon di depannya.

"Saya tanya, siapa yang suruh gusur, pembawa alat berat itu (excavator) bilang, ini perintah dari perusahan," katanya.

Ibu Yani tak pernah tahu saat itu bahwa lahan yang di gusur  sudah menjadi area lahan PT GMM. Ia pun kaget ketika hal itu terjadi di depan matanya. Ia pun lekas pulang sore itu, untuk melaporkan penggusuran itu ke aparat Kantor Desa Gane Dalam, tetapi Ibu Yani mengakui bahwa laporannya tak pernah diindahkan oleh aparat Desa, bahkan katanya taka da satupun yang berpihak kepadanya. 

Tindakan Ibu Yani kemudian dianggap dapat memperlambat aktivitas penebangan pohon sehingga PT GMM melaporkan kembali Ibu Yani ke Polsek Gane Barat Selatan dengan tuduhan menghalangi kerja ekspansi perusahan.

Ibu Yani adalah seorang wanita yang sudah memiliki umur 59 tahun. Kehidupan Ibu Yani di Desa Gane Dalam sepenuhnya bergantungkan hidup di hutan sejak 1980-an. Ia adalah ibu yang memiliki tiga orang anak. Dan sudah berkebun sejak berumur 2o tahun, bersama denga suaminya menanam begitu banyak pohon kelapa dan pala di tanah yang sudah menjadi miliknya dari dulu sebelum perusahan PT GMM masuk di hutan Halmahera.

"Kami memiliki luas lahan dan kebun 2 hektar, di area lahan itu kami tanam kelapa.

Sisanya (Lahan kosong) kami tanam pala," kata Ibu Yani kepada liputan6.com.

Kehidupan Ibu Yani sebelumnya adalah surga. Namun setelah hadirnyanya PT GMM, kehidupan Ibu Yani mulai berubah, dari hutan yang indah menujuh hutan yang penuh lautan darah.

"Sebelum perusahan masuk di hutan, kami sudah hidup senang," katanya.

PT GMM (Gelora Mandiri Membangun) adalah anak usaha grup Korindo. Konglomerat kayu-sawit swasta asal Korea Selatan yang dipimpin Eun-Ho Seung. Perusahan ini selain mengeksploitasi hutan Halmahera sejak tahun 2012, juga beroperasi di wilaya Papua dan Kalimantan. PT GMM beroperasi berdasarkan izin dari pemerintah sejak tahun 2012, dengan SK.22/Menhut-II2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonvensi seluas 11.003,90 hektare.

Sejak Ibu Yani dan masyarakat mengetahui bahwa lahan dan kebunnya telah diadikuasakan menjadi perkebunan sawit oleh PT GMM, rasa cemas muncul sebagai kesadaran hidup yang panjang, tentang hidup anak cucu dengan masa depanya. Sebab ketergantungan ekonomi mereka adalah lahan kebunnyasebagai sumber penghidupan jangka panjangnya.

Hutan bagi mereka adalah sumber yang sanggup menghidupi banyak orang dari seluruh yang tercipta di muka bumi. Tetapi jika hutan sudah gundul, tak bisa di tanami kebutuhan dasar manusia, lalu apakah yang mesti dharapkan oleh Ibu Yani?

Ibu Yani tidak mau jatuh dalam kesedihannya, iaakhirnya mengupayakan sebuah perlawanan untuk mempertahankan lahan dan kebunnya. Ia menceritakan saat menantang penggusuran lahan, ada banyak sekali masyarakat yang tidak sependapat. Bahka juga saudaranya sendiri yang mengancam Ibu Yani.

"Saudara saya yang mendukung perusahan juga mengancam bunuh kami jika kami terus mempertahankan lahan dan kebun kami," Jelas Yani.

Upaya mempertahankan lahan dan kebun mereka, Ibu Yani dan suaminya menyerah sebab ada begitu banyak ancaman dari kelompok yang tidak mendukung perjuangan mereka. Sekitar tahun 2016, lahan yang mereka kelolah dari dulu akhirnya dijual PT GMM dengan harga 15 juta per hektare. Harga itu menurut Ibu Yani, sudah ditentukan oleh perusahan.

Meski begitu, saat ini Ibu Yani masih memiliki lahan milik keluarganya di dekat pesisir Pantai Desa Gane Dalam. Lahannya itu masih utuh, hanya saja dampak perombakan hutan di sekitar membawa petaka baru, salah satunya hama kumbang. Ia mengatakan bahwa, sebelum PT GMM melebarkan sayapnya, hama kumbang tidak pernah ada sebanyak itu yang menghancurkan tanaman kami.

Dalam kasus penggundulan hutan ini, lembaga seperti Walhi juga turut bersuara atas kehadiran Korindo di Pulau Halmahera yang katanya memang sangat menganggu keberadaan ekosistem, Flora, dan Fauna di hutan Halmahera.

"Kasus seperti hama kumbang menjadi satu dari banyak kerusakan yang ada adalah salah satu fakta memutus mata rantai ekosistem. Sehingga organisme yang biasa hidup dalam hutan akhirnya keluar menyerang tanaman pertanian warga," kata Ahmad Rusydi, Direktur Walhi Malut, Ternate (2/7).

Perjalanan perjuangan para petani sampai saat ini masih hidup. Perusahan PT GMM terus beroperasi di  Desa Gane Luar, Desa Sawat, Sekli, Jibubu, Awis, dan Pasipalele. Lahan yang masuk areal konsesi itu berada di wilayah Kecamatan Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Joronga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun