Aku Melanesia
Aku Melanesia
Bangsa yang berulang kali di hina
Dan dimarjinalkan di dalam dada garuda
Aku Melanesia
Hidup dan berkembang di atas bumi surga
Bumi yang direbut paksa
Dengan dalil kesejahtraan bangsa
Bumi yang kekayaan alamanya distempel hanya milik perusahan saja
Ketika aku bersuara
Ingin mengambil hak-hak yang sudah lama terpenjara
Aku justru dituding sebagai provokasi jenaka
Di cap sebagai separatis negara
Tapi aku hanya bisa tersenyum melihatmu tertawa dalam gembira
Ketika aku marah dan ingin hidup merdeka dari
Keterpurukan rasisme  Aku justru di tangkap, di tembak, di injak-injak dan di penjara. di tanahku di tumpah darahku sendiri.
Apakah Negara sudah mati?
Apakah  Negara sudaha kehilangan cinta?
Lalu kenapa hukum masih saja buta?
Makan Jangan salahkan ketika aku sudah tak percaya hukum-hukum Negara. Sebab aku hanya percaya, hukum dibuat hanya untuk membela kelompok-bermata uang dan kelompok politis Negara.
Bukan untuk bhineka tunggal ika.
Sejak tahun 1962 pemerinta belanda menyerahkan penuh atas tanah papu pada perserikatan bangsa-bangsa kemudian
Melahirkan Perjanjian new york dan papera 1969
bukanlah apa-apa, tetapi bicara tentang papua adalah kemanusiaan
Aku, kamu, dan kita semua
Bagaimana mungkin akan melihat burung cendrawasi bergoyang,
Menari, Â dan Melindungi anaknya dari cengkraman singa negara
jika yang tumbuh di kepala hanyalah tai yang mengering di seluruh sel-sel tubuh, dan mengeluarkan bau yang tak sedap?
Ah sudahlah...
Aku Melanesia
Kulit hitam, rambut kriting dan koteka
Aku Papua
adalah wujud panorama paling tua di nusantara
Bukan hindia-belanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H