Mohon tunggu...
Ari Widya Nugraheni
Ari Widya Nugraheni Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswi yang yang tengah mengasah ilmu di fak Psikologi utk berdedikasi mengimplementasikan ilmu yg dimiliki\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Keajaiban Untaian Doa

3 Februari 2015   23:24 Diperbarui: 31 Januari 2017   22:57 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin saya sempat berkontemplasi, berpikir sejenak.. betapa sungguh nikmat Allah sangatlah banyak... dan semua adalah hasil dari usaha dan doa! Keajaiban yang berpadu menjadi takdir!

Teman, percayakah pada keajaiban mimpi, doa dan usaha?

Kalau saya memang percaya, tapi baru kemarin setelah merenung kembali semakin mengakar rasa percaya itu..

Teman, memang seiring saya tumbuh dan berkembang saya selalu memiliki mimpi-mimpi kecil bahkanyang besar sekalipun yang saking tidak bisa membedakan antara imaji dan ekspektasi membuat saya malu untuk mengungkapkannya pada orang lain. Saya kira begitu juga dengan teman-teman... Sekian dari sekian banyak mimpi adalah bertemu dengan orang-orang hebat di mata saya. Melaui membaca dan melihat saya berkenalan dengan banyak tokoh yang menginspirasi saya. Memang berawal dari tuturan kata bernama doa yang sesekali, dua kali bahkan setiap hari menyebutkan nama-nama orang tersebut dengan pengharapan kelak dipertemukan.Dan Maha Benar Allah dalam segala firmanNya, Dia menjawab doa hamba-hambaNya..

Saya kenal nama Tere Liye adalah semenjak kelas 1 Mts, yakni ketika saya membeli novel Hafalan Solat Delisa, yang kemudian hingga seterusnya saya tidak absen membaca novel-novelnya meski hasil dari pinjam anak asrama yangkebetulan sudah punya duluan. Dan... berawal dari dunia mayalah saya berselancar kemana-mana. Bahkan hanya sekadar berbincang melalui chat, jika dia adalah ‘tokoh idola’ rasanya sudah seperti segalanya.. bahagia tidak ketulungan! Apalagi dengan keterbatasan yang ada dan perjuangan yang tiada hentinya. Berkorban waktu demi antre warnet, tenaga hingga uang.. sampai di tahun 2011 saya berkesempatan bertemu dengan beliau. Dan lagi-lagi ini bukan tanpa usaha. Karena waktu itu mata saya sedang merah entah lagi beleken entah gimana saya bela-belain pergi ke Malioboro sendirian pertama kali dalam seumur-umur hidup saya demi membeli kacamata agar esoknya saya bisa menghadiri workshop Kak Tere Liye. Bahagia selanjutnya adalah bisa melihat secara nyata sosok di balik layar kaca, yakni kak Bondan Prakoso. Lagi-lagi bukan tanpa perjuangan. Saya bela-belain kabur dari asrama demi melihat konser kak Bondan—waktu itu saya masih asrama di salah satu boarding school di Jogja—waktu itu juga saya menjadi anggota (pasif) rezpector, sebutan fans Bondan n Fade 2 Black (maaf, yang ini jangan ditiru :D). Doa terjawab selanjutnya adalah ketika saya juga berkesempatan bertemu dengan Ahmad Fuadi dan Taufik Ismail meskipun semuanya hanya melalui beberapa event seminar. Setidaknya mendengar mereka membagi ilmu rasanya sudah cukup senang sekali.

Tidak cukup sampai di sini. Suatu ketika saat mau jalan-jalan di Ahad pagi rombongan dengan teman asrama, niatnya mau ke Sunday-Morning UGM. Seperti biasa kami naik busway yang kebetulan haltenya tidak jauh dari kawasan sekolah kami, yakni di daerah Punokawan, Yogyakarta. Saat hendak membayar karcis mata saya menangkap sosok kecil berambut kriwil yang tengah duduk di dalam halte dengan koran di tangan dan headset di telinganya. Saya sejenak berpikir, sambil masuk halte bergantian dengan teman-teman. Seketika saya ingat, bahwa itu adalah orang hebat. Menyadari orang yang tengah duduk tersebut bukan orang sembarangan, lantas saya mencolek teman saya dan menceritakan sekilas siapa orang itu dengan heboh. Teman saya mengangguk-angguk kagum. Tiba-tiba dia berseloroh, “ayo foto, mumpung ada kesempatan. Kamu kan ngefans sama Masnya..”

“Hah?” saya hanya bisa melongo. Semakin merasa bodoh saat teman saya mendorong saya berdiri di dekat tempat duduk masnya.

“Mas boleh minta foto bareng?” teman saya dengan pede dan inosennya mendekati masnya dengan kamera di tangan. Masnya lumayan bingung, saya mencoba menerka-nerka apa yang dipikirkan masnya saat itu. Ini ada apa baru jam 6 pagi ada rombongan cewek minta foto. Di halte pula. Sungguh rasanya saya malu, tapi jujur mau juga. Masnya meletakkan korannya dan pasang wajah datar (maklum masnya keliatan banget wajah bangun tidur karena matanya juga merah). Saya kikuk berdiri di sampingnya.

“Loh, kalian gak ikut foto?” Saya agak tercengang dan merasa tertipu saat teman-teman hanya berdiri di depan saya sambil peringas-peringis.. “sudah kamu saja, Win yang foto.” Rasanya ingin kabur dari situ, tapi gak mungkin juga, teman saya sudah kadung siap dengan kamera. Antara dengan berat hati (karena foro sendiri tanpa teman) namun juga agak senang hati, saya pun berpose di samping masnya yang berwajah bangun tidur. Sampai ada bapak-bapak yang baru masuk halte dengan pasangannya berseloroh “kurang deket, kok gak romantis gitu..” Seketika malu saya sudah di ubun-ubun. Pak, tolong ini bukan foto pasangan.. syukur-syukur masnya mau foto bareng.... dan seluruh halte pun pada tersenyum geli, tidak terkecuali mbak-mbak penjaga karcis. Beruntung tidak lama kemudian, bus tujuan kami sudah sampai, segera setelah mengucapkan terimakasih kami segera masuk ke dalam bus.. dan olalala kami dan masnya sebusway ternyata. Kursi di busway masih sepi, saya memilih duduk agak jauh dari masnya. Entah mengapa terlalu dekat dengan idola justru membuat saya grogi dan tsayat. Mungkin masih ada rasa tak percaya dalam benak saya. Saya justru lebih memilih menyibukkan diri dengan buku “Hidup Berawal dari Mimpi”nya Kak Fahd Jibran. Saking terlarutnya saya membaca, sampai tidak mendengar ternyata masnya sempat pamitan kepada kami kalau mau turun duluan di suatu halte. Saya baru sadar setelah teman saya menyenggol saya, yang jelas saat saya menoleh, tahu-tahu saya lihat masnya sudah berjalan keluar bus. Teman-teman saya langsung memanas-manasi saya.. “Ah kamu sih Win, terlalu sibuk sama novelmu jadi gak salam perpisahan kan sama masnya. Masnya pamit ke kita juga kamu cuekin kan jadinya.” Saya hanya bisa nyengir. “Kamu tahu gak masnya tadi bilang, saya duluan ya.. dan ya ampuun suaranya lembut. Sopan bangeet..”

Oh iya ya? Saya hanya tercenung antara nyesel dan masa bodoh. Toh, saya sudah cukup bersyukur bisa foto bareng. Peristiwa tersebut mungkin bakal menjadi salah satu kenangan kecil yang tak kan terlupa.. masuk ke dalam long term memory saya. 

 Saya sama sekali tidak menyangka doa saya teramat cepat terkabul meskipun pertemuan tersebut sama sekali di luar dugaan dan bukan berawal dari suatu momentum tertentu. Namun, jika di Lauhil Mahfudz sudah tercantum mengenai pertemuan kami, pertemuan yang sudah Allah rancang, maka siapa yang bisa mengelakkan? Semakin dewasa saya menyadari bahwa doa saya terlalu dangkal. Semakin berkontemplasi saya menyadari kesalahan saya.. mengapa saya hanya berdoa untuk bertemu mereka? Seharusnya gradedoa saya lebih tinggi. Misalnya bertemu dengan para pengarang hebat dalam momen penganugerahan penulis dan saya menjadi salah satu di antara para penulis yang diundang bersamaan pula dengan Tere Liye, Fahd Jibran, Ahmad Fuadi, Taufik Ismail, dan lain-lain.  Atau bisa menjadi scriptwritersebuah film layar lebar yang OSTnya diisi oleh Kak Bondan. Setinggi apapun impian, sekeras apapun usaha.. jika diuntai dalam doa dengan sungguh-sungguh bukankah impian tersebut berpeluang untuk terwujudkan? Meskipun doa-doa itu akan melesat bersamaan dengan beribu triliun doa makhlukNya, bukankah Allah Maha Mendengar semua doa?

Tidak, cerita ini belum berakhir, teman. Tetaplah bersabar membaca curhatanku. Cerita keajaiban doa selanjutnya adalah ketika saya berada di semeter awal kuliah. Saya aktif di salah satu organisasi UKM Penalaran, waktu itu kebetulan ada kunjungan dari UKM Penalaran dari Universitas Airlangga. Saya sebagai anggota yang unyu-unyu bertugas menjadi pemandu tamu, masuk ke area gedung SC (Student Center) kampus kami. Saat itu di pintu utama gedung SC terdapat banner besar yang mengucapkan selamat atas prestasi mahasiswa kampus kami yang lolos menjadi finalis maupun juara di ajang nasional dari DIKTI, yakni KPKM dan PIMNAS. Nama-nama tersebut jelas saya mengenalnya karena mereka juga bagian dari anggota UKM Penalaran. Saya menggigit bibir, waktu itu saya juga mengirimkan karya tulis ilmiah perdana saya di ajang KPKM tersebut, namun belum berhasil. Para tamu yang saya dampingi berhenti, membaca nama-nama tersebut. “Ah, Mbak X juga lolos kan ya..” “Namamu kemarin juga sempat nangkring di banner kampus juga kan..” “Saya kapan ya...” “Kamus pasti bisa kok” saya mendengar dengan saksama percakapan mereka walaupun tidak terlalu paham. Yang saya paham, para tamu ini adalah orang-orang hebat yang memiliki mimpi dan ambisi. Yang lebih tua dan berpengalaman memberi motivasi para adik-adiknya yang tidak malu bermimpi untuk tak menyerah. Saya senang sekali berbincang dengan mereka. Sebelum melangkah masuk SC sekali saya tatap dengan sepenuh hati banner besar tersebut seraya berdoa dalam hati “semoga kelak nama saya juga bisa tercantum di banner depan SC ini”.

Teman, tahukah apa yang terjadi setelah itu? Lagi-lagi Allah menjawab doa hambaNya yang kerdil ini. Beberapa bulan kemudian nama saya sebagai mahasiswa Fakulltas Psikologi benar-benar tercantum dalam banner depan gedung SC kampus sebagai juara III LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) Mahasiswa se-Jawa Timur-Bali di UNESA. Setelah diberi tahu teman mengenai banner tersebut, saya lantas melihatnya. Saat melihat nama saya di sana bergetarlah hati saya. Inikah bagian kecil dari impian saya? Meskipun sangat kecil nan sepele mungkin bagi orang, tapi hati saya sungguh senang sekali. Bangga dengan hasil usaha saya. Begitu bersyukur bisa bergabung di UKM Penalaran yang menjadi setting saya dalam menimba ilmu sampai mampu menelurkan prestasi-prestasi kecil. Di UKM Penalaran bisa dibilang tempat saya bertemu para inspirator hebat bagi saya. Baik itu dari kampus saya maupun dari kampus lain banyak yang telah menelurkan prestasi mengaharumkan nama kampus. Sebelumnya saya sempat berdoa bahwa saya ingin sekali mengenakan jas almamater kampus dan bertemu dengan mahasiwa dari berbagai perguruan tinggi dalam momentum untuk mengharumkan nama kampus. Dan benar adanya... sebelum juara III di UNESA tersebut saya dan tim sempat pula menjadi finalis LKTI PIJAK (Pekan Intelektual Pajak) di Universitas Brawijaya dan sempat menggondol juara meskipun hanya favorit. Itu menandakan untuk kesekian kalinya harapan kecil saya, panjatan doa saya didengarkan dan dikabulkan Tuhan. Dan seterusnya saya tidak berhenti berdoa. Menaikkan grade doa yang ditunjang pula dengan usaha.

“Ya Allah saya ingin naik pesawat tapi bukan dalam rangka jalan-jalan, melainkan dalam rangka momen yang membanggakan..”kurang lebih itu doa saya waktu itu. Dan benar adanya di tahun 2014 lalu saya dan tim bisa lolos sebagai finalis LKTI di Makassar dan menjadi juara meskipun hanya harapan I. Dan seterusnya.. saya tidak berhenti berdoa meskipun hasil yang tidak begitu menyilaukan. Namun saya sudah mensyukuri itu semua. Meskipun berangkat dari ekspektasi kecil-kecil yang mungkin tidak begitu ‘wah’ dibandingkan pengalaman-pengalaman hebat dari teman-teman..  Tapi inilah bagian dari perjuangan, dan lagi yang ingin saya tekankan adalah doa itu sungguh sangat besar makna, kekuatan dan kontribusinya dalam langkah hidup kita...

Seterusnya jangan lelah untuk berusaha dan jangan berhenti berdoa, sekalipun jika kau temui kegagalan demi kegagalan...

Saya pun pernah merasakan dan menganggap doa saya terabaikan, terpuruk dalam kegagalan. Saya selalu berdoa untuk mendapatkan beasiswa. Namun selalu kolaps di depan mata. Baik itu dari SD di mana waktu itu saya sudah memenuhi kualifikasi dari beasiswa tersebut namun menjadi batal dan terlempar untuk teman saya karena alasan pekerjaan orangtua. Pun waktu saya Mts dan MA saya kurang menggali bakat saya sehingga saya hanya menjadi siswa biasa-biasa saja, sampai akhirnya MA saya mulai sedikit membuka mata, saya mulai aktif dalam banyak kegiatan, dan menjadi wakil sekolah dalam beberapa kegiatan. Sekolah saya menerapkan sistem memberikan beasiswa dari bingkisan dan dana insentif sampai bebas SPP (SPP di selama saya sekolah di sana tiap bulannya Rp 350.000 dan tiap tahun naik sampai terkahir MA Rp 550.000) bagi siswanya yang mencapai poin reward sampai batasan tertentu, yakni minimal 100. Adapun kualfikasi mendapatkan poin reward telah ditetapkan dalam peraturan, waktu itu saya mendapatkan poin sekitar 85 dan saya baru menyadarinya di akhir cerita tentang krusialnya dari poin reward. Saya tidak kepikiran mengurus poin reward yang belum terekap oleh sekolah yang bila ditotal dengan yang telah ditetapkan bisa melebihi angka 100, dan setelah saya sampaikan ke pihak sekolah pernyataan saya sudah terlambat. Sangat terlambat. Sehingga saya hanya bisa menyesali apa yang telah ada. Tidak sampai di situ, kegagalan saya untuk mengusahakan beasiswa juga terkendala sampai di bangku perkuliahan. Padahal harapan saya dari semester 1 saya bisa kuliah dengan beasiswa ternyata kandas seketika sampai semester 6 ini. Saya menyesal dulu sempat menyerah dengan persyaratan beasiswa yang salah satunya adalah membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) ataupun karena terlambat mengurus. Di kampus saya begitu menghargai usaha mahasiswa dalam mengharumkan nama kampus, seperti menang dalam kompetisi dengan memberikan penghargaan berupa souvenir, insentif sampai beasiswa. Namun lagi-lagi saya gagal dalam mengurus karena terkendala banyak hal sehingga keinginan untuk mendapatkan beasiswa benar-benar hanya sampai pada angan-angan. Namun saya percaya bahwa ini bukan karena doa saya yang tidak didengar Tuhan. Bagaimanapun perlu diingat ‘Allah tidak memberikan apa yang kau inginkan, namun Dia memberikan yang kau butuhkan.’ Saya selalu mencamkannya dalam hati sehingga saya senantiasa berbesar hati dalam menghadapi kegagalan.

Maka selanjutnya doa saya adalah semoga saya bisa mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri dan memiliki rumah sendiri di umur yang belia sebelum menikah. Aamiin...

Foto Bersama Fahd Djibran (2011)

14229542481583563525
14229542481583563525
Foto Bersama Tere Liye (2011)

14229551512138885685
14229551512138885685
LKTI Tingkat Nasional di UNISMUH Makassar (2014)

1422955409644422886
1422955409644422886
LKTI Tingkat Nasional di UB (2013)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun