Manggarai Timur, Pulau Flores, terhampar sebuah kampung yang tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga karena kekayaan budaya yang terpelihara dengan kokoh.Â
Di pedalamanKampung Cekalikang, nama yang mungkin terdengar asing bagi sebagian besar, merupakan perwujudan dari kesetiaan masyarakat Manggarai Timur terhadap tradisi dan nilai-nilai mereka.Â
Di balik hamparan sawah dan pegunungan yang menghijau, terdapat kisah tentang kehidupan agraris yang didukung oleh semangat gotong royong yang kuat dan praktik tradisional yang disebut "dodo".
Fondasi Kehidupan Sosial dan Agraris
Praktik dodo atau kerja bergotong-royong, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di Manggarai. Khususnya dalam aktivitas pengerjaan kebun dan lahan, yang dalam bahasa setempat dikenal sebagai "uma duat".
Dalam keseharian masyarakat Manggarai, dodo bukan sekadar cara untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga simbol dari solidaritas dan semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas dari kehidupan mereka.
Di Kampung Cekalikang, seperti halnya di tempat lain di Manggarai, praktik dodo telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, dodo bukan hanya cara untuk menyelesaikan tugas-tugas agraris, tetapi juga menjadi kunci untuk memastikan kesejahteraan bersama.Â
Setiap anggota masyarakat, dari yang tua hingga yang muda, dari yang kaya hingga yang miskin, turun tangan dalam proses pengerjaan kebun dan lahan, saling membantu satu sama lain dengan semangat yang sama untuk mencapai tujuan bersama: memastikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Ritual Teing Hang: Ungkapan Syukur dan Hubungan dengan Nenek Moyang
Salah satu kegiatan gotong royong yang paling menonjol dan dinanti-nantikan di Kampung Cekalikang adalah saat ako woja (panen padi) tiba. Namun, sebelum ako woja dilaksanakan, diadakan sebuah ritus yang disebut "teing hang".Â
Teing hang adalah upacara adat Manggarai yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang, sebagai bentuk penghargaan atas bantuan dan dukungan yang selalu mereka berikan kepada masyarakat Manggarai.
Dalam teing hang, "korban sembelihan" biasanya berupa manuk bakok (ayam berbulu putih) dan manuk cepang (ayam berbulu dengan aneka warna). Setelah melakukan torok tae (pemanggilan arwah leluhur), darah ayam tersebut ditebarkan di beberapa petak sawah.Â
Keyakinan turun-temurun di masyarakat Manggarai menyatakan bahwa dengan melakukan ritus teing hang terlebih dahulu, hasil panen padi akan bertambah.
Ako Woja: Simbol Keharmonisan dan Kebersamaan
Setelah selesai dengan upacara adat, warga kampung berkumpul untuk menentukan waktu dan tata cara panen. Meskipun setiap keluarga memiliki sawah sendiri, saat panen tiba, semua sawah dianggap sebagai tanggung jawab bersama. Inilah esensi dari praktik dodo: kebersamaan dalam tindakan, di mana seluruh komunitas bergotong-royong untuk mencapai tujuan bersama.
Setiap anggota masyarakat Cekalikang turun tangan untuk membantu memanen padi di semua sawah, satu per satu. Di tengah riuhnya suasana panen, terdapat kehangatan yang timbul dari kerja sama dan kepedulian satu sama lain. Ini adalah momen di mana perbedaan sosial dan ekonomi tampaknya pudar, dan yang tersisa hanyalah semangat gotong-royong yang mengikat erat komunitas ini.
Pentingnya Mempertahankan Tradisi
Praktik ako woja di Kampung Cekalikang bukan hanya sekadar kegiatan rutin, tetapi juga merupakan peristiwa yang memperkuat ikatan sosial dan semangat gotong-royong di antara masyarakat Manggarai. Dalam setiap panen, mereka merayakan bukan hanya hasil bumi yang melimpah, tetapi juga kebersamaan dan solidaritas yang menjadi ciri khas dari kehidupan mereka.
Melalui praktik dodo ini, masyarakat Manggarai tidak hanya mempertahankan warisan budaya mereka, tetapi juga memperkuat fondasi kehidupan sosial dan agraris mereka. Di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial, menjaga tradisi seperti dodo menjadi penting untuk memastikan kelangsungan budaya dan identitas lokal.
Kesimpulan
Kisah Kampung Cekalikang di Manggarai Timur adalah cerminan dari kekuatan gotong-royong dalam membangun solidaritas dan kebersamaan di tengah masyarakat agraris. Dalam setiap panen padi, mereka tidak hanya menghasilkan hasil bumi yang melimpah, tetapi juga menguatkan ikatan sosial yang kuat di antara mereka.
Semoga praktik dodo ini terus dijaga dan dilestarikan, karena di dalamnya terkandung kekayaan budaya dan nilai-nilai yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Manggarai dan masyarakat agraris di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H