Mohon tunggu...
Ratu Langit
Ratu Langit Mohon Tunggu... -

nothing to display\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengacak - acak Sejarah

18 September 2011   17:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subuh hari, beberapa manusia mati karena gigitan dingin. Sore hari beberapa manusia mati gara-gara keracunan daun. Esok hari beberapa orang mati gara-gara salah asumsi, pohon jambu yang tiga bulan lalu ranum, hari itu tidak berbuah, padahal sudah berkorban lelah buat berjalan, lalu mati kelaparan. Belum lagi yang mati karena terkaman hewan buas, hujan, salju, masuk jurang karena gelap, gagal perburuan, diseruduk banteng dan lain sebagainya.

Di kala itu, siapa orang yang mau berkata hidup itu indah! Alam itu baik! Bertanya seperti itu juga mungkin belum sempat, terlalu mewah saya kira, tak ada waktu! Dan tentu belum ada minat manusia untuk sekedar memotret cacing itu lucu banget!

Frustasi! Bergulat dengan keganasan alam, dan ketakutan akan mati. Sampai suatu ketika, entah melalui proses terkirakan atau sekedar keberuntungan, lantas mendapatkan ilham untuk beternak babi, atau menanam sendiri gandum atau padi, daripada terus blunder.

Setelah panen ada stock. Setelah beranak pinak ada ‘peunciteun.’ Kini ada waktu. Kini menghabiskan waktu untuk sekedar berjalan-jalan dalam spekulasi pencarian makanan mulai berkurang, dan radius penjelajahan juga semakin pendek. Karena ada makanan. Dan terus menanam, memperbanyak ladang dan gembalaan. Bisa bikin rumah. Living space, lebensraum! Revolusi Neolitik! Siapa bilang hidup di hutan banyak makanan!

Karena ada banyak stok makanan, ada waktu luang, ya waktu luang. Sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya, suatu jeda yang baru saja teralami. Ngahuleng, menggerak-gerakan tubuh, menakol sesuatu, menoreh sesuatu, memperhatikan orang lain, mendengar bunyi gog-gog-gog oh, gogog, memperhatikan alam dengan jarak yang cukup. Aku dan dia. Aku dan realitas memecah. Ada bivac, selter, rumah, perkampungan, naik kuda, roda, baju kayu, dan yang aneh-aneh lainnya.

Kini mulai ada kaum pemalas dan pelamun, pengangguran, pemuka masyarakat, pembagi dan pemilik hak panen lebih banyak, pekerja militan, dan masyarakat penjahat dan penjarah dari luar. Wah, kini harus ada militer buat pengaman. “Okeh kalau begitu kamu dapat beras buat makan, asal mau hadang penjahat dan perampok beras dari masyarakat barbar yah, oke saya bikin menhir, bikin pekakas, bikin punden berundak, beri saya beras dong. Kampung saya kelebihan babi, tapi kami kekurangan gandum, boleh bertukar?” haha

Organisasi kemasyarakatan berkembang semakin kompleks, mendiferensiasi dan menstratifikasi, alat-alat berevolusi menjadi karya peradaban. Orang tidak lagi perlu membawa gajah, atau membawa orang kepada gajah untuk sekedar menunjukan ini loh yang saya maksud dengan gajah! Sekarang manusia punya waktu untuk jumawa: “Kenapa harus ada lagi orang yang mati karena cuaca buruk? Butuh semen toh, mari kita hancurkan gunung kapur itu, buat rumah-rumah kita.”

Semuanya dulu pernah berburu dan meramu, lalu semuanya jadi penanam padi, lalu tidak semuanya lantas jadi petani. Petani kaya raya karena banyak makanan, petani jadi penguasa karena bisa barter, petani jadi punya anak buah, petani tidak harus turun lagi membajak sawah, petani tidak lagi harus jadi petani untuk dapat beras dan barang-barang aneh, petani jadi aristokrat. Hingga suatu saat ada sesuatu yang dianggap melebihi nilai padi, banyak sesuatu yang melebihi sekedar padi. Petani jatuh. Feodal jatuh. Struktur masyarakat bergeser, bergeser, dan bergeser. Tapi petani tetap saja ingin jadi PNS! Atau memang petani selayaknya memang PNS?!

Ketika hutan telah disulap jadi kota, apa semua orang tidak lagi mati? Ketika ada babi dan beras, apa semua orang tidak lagi mati? Ketika ada kedokteran apa semua orang tidak lagi mati? Ketika ada pelukis, geograf, politisi, agamawan, jurnalis, negara, kapitalisme, koprasi, BHMN, institut, filsafat, apa semua manusia tidak akan lagi mati? Ketika ada mobil, apa semua manusia tidak lagi berjalan? Ketika ada facebook apa tidak perlu lagi manusia bergotong royong menaklukan sesuatu? Apakah alam kini sudah sungguh-sungguh jinak karena balas dendam kita tuntas? Karena api sudah bisa kita nyalakan sendiri! Karena masa-masa malam yang gelap sudah tercahayai! Ketika manusia sudah mampu memergoki perselingkuhan antara siang dan malam itu dikala senja dan fajar!

Apa saya, anda, kita, kalian, mereka kini bahagia? Apa melewati hari-hari dengan karya sungguh melepas hampa? Apakah alam itu baik? Apakah hidup itu anugrah? Apakah mengerjakan sesuatu itu akan mengubah fakta-fakta! Adakah keberanian untuk bunuh diri jika begitu? (Nb: saya tidak berani, apalagi menganjurkan, tapi salut pada sang pemberani). Jika tidak, apa yang harus kita lakukan sepanjang masih ada dalam ironi dan absurditas ini? Jika hidup kita adalah anugerah indah, jika alam itu cantik sudikah anda hidup dibelantara ci suren sekedar untuk lima tahun, yang di sana tidak ada satu kelinci pun loncat-loncat? haha

Hal-hal seperti ini, protes-protes seperti ini, keberanian mengartikulasikan gejolak-gejolak seperti ini, kesadaran tentang gelisah dan ketidak bermaknaan atau kebermaknaan kah, terserah, yang membuat kita tak pernah menemui satu pun di kalangan para anjing-anjing berbakat: mau beternak tikus, menulis sejarah kakek moyang anjing, menjadi anjing yang ahli geograf, atau anjing yang melukis tentang anjing lainnya. Atau anjing yang melakukan performing art. Atau ada sesuatu analisa yang lain?! Saya belum tahu!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun