Mohon tunggu...
ARIVAIE RAHMAN
ARIVAIE RAHMAN Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Peneliti Tafsir al-Qur'an Nusantara

Dosen dan Peneliti Tafsir al-Qur'an Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Aksara Melayu yang Hampir Terkubur

23 Juli 2020   15:57 Diperbarui: 3 Juni 2021   17:20 2586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keempat, motif anti kolonialisme. Semua orang Melayu tidak senang dengan tindakan sewenang-wenang bangsa lain terhadap tanah airnya, meskipun mereka kerap terpedaya oleh bujuk rayu dan terkadang bersekutu dengan penjajah demi kepentingan kelompok. Dalam pengertian tersebut adalah penjajahan bangsa Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. 

Sebab itu, segala surat-surat penting kerajaan, nota perjanjian dagang, dokumen penting, dan semua yang menjadi aset pribumi harus dilindungi, salah satu caranya dengan menggunakan aksara Melayu, tidak menggunakan aksara Roman sehingga orang non-Melayu relatif mengalami kesulitan memahaminya.

Kelima, motif meredam Islam modernis. Derasnya semangat modernisme Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Timur-Tengah: Jamaluddin al-Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh (w. 1905), dan Rasyid Ridha (w. 1935) berimbas pada terjadinya dikotomi ideologis antara kelompok kaum tua (tradisionalis) dan kaum muda (modernis) di Nusantara.

Kaum modernis lebih senang menulis buku-buku agama dengan aksara Roman, sebagaimana yang digalakkan oleh Muhammadiyah (1912) dan Persatuan Islam atau Persis (1923). Sementara kaum tua masih konsisten dengan tulisan Melayu-Jawi, sebagai titik pisah ideologi antar keduanya.

Motif-motif di atas merupakan beberapa alasan dan penunjang bertahannya aksara Melayu di masa lalu. Semuanya sekarang tinggal kenangan. 

Aksara Melayu hari ini kurang mendapat perhatian, meskipun mata pelajaran 'Baca Tulis Arab Melayu' telah dijadikan sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah-sekolah di Riau. Tetapi masih banyak generasi muda yang mengalami kegagapan aksara Melayu.

Kegagapan ini tampaknya berbanding lurus dengan buta aksara al-Qur'an. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah pengaruh negatif globalisasi dan kurangnya kesadaran terhadap sejarah dan memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal. 

Sehingga tulisan Melayu hanya menjadi prasasti di spanduk-spanduk acara lembaga adat, palang nama jalan, dan papan nama instansi agama dan pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun