Mohon tunggu...
Arita Muhlisa
Arita Muhlisa Mohon Tunggu... Volunteer -

i am Volunteer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Pela Gandong Lebe Bae"

14 September 2016   09:03 Diperbarui: 14 September 2016   09:17 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tragedi di Kota Ambon... sampe ka kampong - kampong... tangis balumur darah... sio inga Pela Gandong..."
"Tabakar ujung ka ujung... basarong asap api... tangis balumur darah... sio inga Pela Gandong..."
"Sio... Sio sayang orang Maluku eee... dari dolo hidup su bae - bae jangang biking rusak lai eee..."
"Sio... Sio adat orang Maluku eee... Ale rasa sio beta rasa... susah sanang sama - sama.."
"La cuma tagal beda suku deng agama... katong jadi bakalai eee..."
"Sama - sama angka sumpah hidup bae - bae, PELA GANDONG LEBE BAE EEE..."

Masih lupa - lupa ingat mengenai lirik lagu diatas yang artinya kurang lebih mengenai Tragedi di Maluku 17 tahun silam yaitu pada tahun 1999. Berikut saya artikan biar semua pada ngerti :

"Tragedi di Kota Ambon, sampai ke kampung - kampung, tangis berlumuran darah, yang diingat hanya Pela dan Gandong..
 Kebakaran dimana - mana, Kota Ambon penuh dengan asap dan api, tangis berlumuran darah dan yang diingat hanya Pela dan Gandong..
 Kasihan, Kasihan Rakyat Maluku, dari dulu hidup rukun susah senang bersama - sama..
 Kasihan, Kasian Adat Rakyat Maluku, Apa yang kalian rasa kami juga merasakannya, susah senang tetap bersama..
 Lantaran karena beda suku dan agama, kita semua jadi berkelahi..
 Mari sama - sama bersumpah bahwa kita semua akan hidup Damai, Pela Gandong lebih baik"

Begitulah arti penggalan lagu diatas.

Saat menulis ini, saya sempat haru sampai menitikkan air mata mengingat betapa Kami Orang Ambon, Rakyat Maluku sangat luar biasa, bangkit dan maju kembali bersama - sama seakan tidak pernah ada tragedi diatas. Sebenarnya kami tidak pernah lupa, karena kami selalu mengenangnya tiap tahun di Gong Perdamaian yang ada di Pusat Kota Ambon. Mengenangnya bersama - sama, Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, orang Saparua, Batumerah, suku jawa, Bugis, Buton, Manado, semua suku, semua kalangan, semua agama kami melakukannya secara bersama - sama. 

Bagi kami tidak perlu berdarah Ambon untuk menjadi orang Ambon, siapapun yang pernah menginjakkan kakinya di Tanah Ambon, pasti mau mengaku sebagai orang Ambon. karena Ambon itu manis, Ambon Manise. Saya sendiri lahir dari ibu yang asli berdarah Bugis, Sulawesi Tengah dan Bapak yang berdarah Muna, Sulawesi Tenggara. 

Setelah menikah orang tua saya merantau ke Ambon, dan kami semua 5 bersaudara lahir dan dibesarkan disini, di Ambon. Jangan ditanya betapa kami sangat mencintai tanah ini, karena sungguh Tanah tumpah darah ini lah yang sudah memberikan penghidupan dan kehidupan bagi kami.

Bicara soal kerukunan antar umat beragama, mungkin di Ambonlah yang sangat tinggi kerukunan antar umat beragamanya. Kenapa saya bisa katakan seperti itu? karena kami pernah merasakan dampak dari tidak adanya kerukunan antar umat beragama walaupun begitu, pasca kerusuhan kami semua semakin erat. buktinya Idul Adha kemaren, Gereja Protestan Maluku turut berkurban Sapi juga lho.

Menyinggung sedikit mengenai "PELA dan GANDONG" itu sebenarnya apa siih?
 Jadi, Pela Gandong adalah ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat denan sumpah darah. umumnya Pela Gandong ini berlangsung antara kampung - kampung Islam dengan Kampung Kristen. contohnya seperti Negeri Batumerah (Islam) punya hubungan pela gandong dengan Negeri Passo dan Ema (Kristen).

Hubungan persaudaraan ini sungguh kuat sehingga tak ada angin yang mampu menggoyahkannya, ciyeee... Sejak zaman dahulu kami sangat menjunjung tinggi hubungan Pela Gandong kami, bahkan di zaman yang modern sekalipun kami tak akan mudah goyah. Padahal di zaman yang serba canggih ini banyak yang mudah terprovokasi, mulai antar geng, antar sekolah, antar suku, antar agama, bahkan negara. Zaman semakin modern namun pola tingkah laku semakin jahiliyah saja. 

Media Sosial yang bisa digunakan untuk mendatangkan banyak manfaat malah mendatangkan mudharat. Saling caci, Saling Maki, Saling menjatuhkan satu dan yang lain dinampakkan dalam media sosial ini. Menggunakan media sosial ini sebenarnya bagai memakan buah simalakama, makan bapak mati, tidak makan ibu mati, atau kalo tidak bermedia sosial akan ketinggalan jauh dengan perubahan zaman, namun menggunakan media sosial akan banyak terprovokasi oleh hasutan - hasutan dan informasi - informasi yang tidak jelas dan tak tertanggungjawabkan.

Mengutip dari tulisan Iwan Awaludin Yusuf, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia bahwa menggunakan media sosial pun harus berakhlakul karimah, seperti yang sudah diterangkan dalam Alquran, ada beberapa cara yang baik dalam menggunakan media sosial:

1. Menyampaikan informasi dengan benar, tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30).

2. Bijaksana, memberi nasihat yang baik serta argumentasi yang jelas, terstruktur, dan baik pula (QS. An-Nahl: 125).

3. Meneliti fakta. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku informasi yang disampaikan, seorang muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta dengan informasi yang diperoleh sehingga tidak menimbulkan fitnah (QS. Al-Hujarat: 6).

4. Tidak mengolok-olok, mencaci-maki atau melakukan penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11) Apalagi kita antar umat beragama, janganlah memicu provokasi sampai mengadu domba dalam dunia maya, Kita harus lebih berhati-hati dalam bertutur di media sosial.

5. Menghindari prasangka (QS. Al-Hujarat: 12). Dalam bahasa huku, penyampaian informasi melalui media sosial hendaknya memegang teguh "asas praduga tak bersalah". Prasangka dan stereotip tidak berdasar membahayakan karena memicu bullying dan pembunuhan karakter.

6. Hindari berlebihan bercerita, mengeluh di media sosial (HR. Bukhori dan Muslim). Apa- apa diceritakan, apa-apa diumbar dimedsos. udah kayak nggak bisa hidup tanpa medsos gitu, heheh.

Semua poin diatas jika diterapkan dalam bermedia sosial maka tak akan ada selisih yang terjadi, lidah itu setajam silet, media sosial lebih tajam lagi dari itu, setajam laser.

Tapi lebih dari itu sejatinya yang bisa menjaga kerukunan antar umat beragama adalah "Pela dan Gandong". Mungkin di daerah lain pun ada hubungan persaudaraan seperti ini, maka hubungan persaudaraan seperti ini harus dijaga dan dilestarikan sehingga tidak mudah terbawa arus media sosial yang penuh dengan tipu muslihat / hoax. 

Kalau punya hubungan Pela dan Gandong kan kita akan selalu ingat untuk bertutur yang baik menjaga perasaan saudara kita yang beragama lain. Islam mengingat saudara pela gandongnya yaitu Kristen dan sebaliknya. Atau di daerah lain juga hubungan persaudaraan antar Hindu - Budha dan yang lainnya.

Semoga kita bisa selalu menciptakan kerukunan dimanapun kita berada, entah ketika kaki diatas tanah atau ketika jari jemari diatas keybord (media sosial)

"Hidop ade kaka itu lebe bae... Pela Gandong lebe bae.." Peace !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun