Mohon tunggu...
arit imaniah
arit imaniah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa , ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alkisah Sejarah Wayang Topeng Malang

20 Juli 2022   17:05 Diperbarui: 20 Juli 2022   20:05 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 ditulis oleh: Arit Imaniah

Bagi kebanyakan orang, Kota ini identik dengan cuacanya yang dingin. Yup, benar sekali, itulah Kota Malang, kota terbesar nomor dua di provinsi Jawa Timur. Selain identik dengan cuacanya yang dingin, Kota ini juga dikenal dengan julukannya yakni Paris Van East Java, kota budaya dan kota seni.

Tak sulit untuk menemukan kesenian atau kebudayaan di kota ini, salah satunya ialah Wayang Topeng Malangan. Mungkin banyak yang berpikir  semua topeng harus memiliki bentuk yang sama. Namun, topeng yang dikembangkan di Malang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan topeng  dari daerah lain. Topeng Malangan memiliki beberapa bentuk  yang khas, salah satunya terdapat pada pahatan figur di muka pohon yang masing-masing merepresentasikan karakter figur tersebut.

Sesuai dengan namanya, seni ini dimainkan oleh orang-orang yang menutupi wajahnya dengan topeng dan diiringi alunan musik gamelan hingga tari-tarian.

Berkaca ke belakang, di zaman dahulu nenek moyang kita membuat topeng dari batu dan dipersembahkan untuk acara persembanyangan. Kemudian akhirnya topeng di konstruksi menjadi sebuah seni tari pada masa Raja Erlangga. Namun kini, Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi pementasan yang diperuntukan untuk acara-acara kesenian.

Pada mulanya, tari topeng ini ialah hasil dari pola pikir negara India karena perkembangan sastra pada zaman itu di dominasi oleh Sastra India. Selain itu, hal ini didukung oleh nenek moyang kita yang pada masa itu masih menganut agama Hindu Jawa.

Tahukah kamu, cerita Wayang Malang ternyata terinspirasi dari kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari negara India. Wayang Topeng ini digunakan sebagai media perantara antara rakyat kepada rajanya. Kemudian, di zaman Kertanegara di Singasari cerita-cerita ini diubah menjadi cerita-cerita Panji yang menceritakan tentang kepahlawanan dan kebesaran kesatria-kesatria di tanah Jawa, terutama pada masa Kediri dan Jenggala.

Selanjutnya Wayang Topeng Malangan menjadi berkembang pesat hingga masa Kerajaan Majapahit sampai saat agama Islam masuk ke Pulau Jawa. Pada masa ini, pembawaan dari tari topeng Malang diubah kembali menjadi media dakwah dengan menampilkan cerita-cerita islam. Pada tahun 1930, terdapat banyak perkumpulan Wayang Topeng yang ada di pulau Jawa. Diantaranya Malang Selatan, di desa Senggreng, Jenggala, Wijiamba dan Turen.

Kebudayaan Wayang Topeng ini akhirnya menjadi ciri khas seni budaya Kota Malang. Ciri khas Kota Malang semakin terlihat nyata apabila menilik Wayang Topeng ini. Salah satunya ialah pahatan wajah seseorang pada kayu yang terlihat kian nyata. Misalnya, bentuk hidung yang mengingatkan pada pagot, atau pisau ukir kecil yang mencerminkan kepribadian yang lembut. Bentuk mata besar yang menunjukkan kepribadian pemberani. Bentuk mulut topeng  terbuka lebar, dengan gigi terlihat, mewakili karakter liar dan marah.

Warna yang digunakan pun beragam dibanding topeng dari wilayah lain. Warna-warna yang digunakan yakni merah, kuning, putih, hijau, dan hitam. Tentu setiap warna digambarkan memiliki makna yang berbeda, seperti melambangkan keberanian, kesenangan, kesucian, kedamaian hingga kebijaksanaan. Jumlah yang dimiliki oleh karakter Wayang Topeng ini pun mencapai 76 karakter. Namun, saat ini yang menonjol hanya 6 yakni Dewi Sekartaji, Panji Asmoro Bangun, Gunung Sari, Dewi Ragil Kuning, Kiana Sewandana dan Bapang.

Itu dia alkisah sejarah mengenai Wayang Topeng Malang, bagaimana menarik bukan? Namun sungguh disayangkan, karena perkembangan zaman kini Wayang Topeng Malang sedikit demi sedikit luntur oleh perkembangan zaman. Banyak dari kalangan muda yang merasa bahwa budaya ini kuno dan ketinggalan zaman. Hanya beberapa orang saja yang mau meneruskan budaya ini. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus seharusnya kita lebih peka dan lebih peduli dengan budaya-budaya disekitar kita. Jangan sampai karena terlena oleh budaya baru, kita meninggalkan budaya lama yang telah susah payah dibesarkan oleh nenek moyang kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun