Asal mula wakaf bermula ketika Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab, memperoleh sebidang tanah dari perang Khaibar. Tanah tersebut sangat berharga baginya, sehingga ia meminta saran dari Nabi SAW tentang apa yang harus dilakukan dengan tanah tersebut. Sahabat-sahabat Nabi dikenal sering menginfakkan hal-hal yang mereka cintai. Nabi SAW menyarankan Umar untuk mewakafkan tanah itu, dengan bersabda: "Jika kamu mau, tahanlah barangnya dan sedekahkan hasilnya." Umar kemudian mewakafkan tanah tersebut dengan syarat tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Penghasilannya digunakan untuk fakir miskin, sanak kerabat, budak, tamu, dan musafir. Orang yang mengurus tanah tersebut diperbolehkan mengambil hasilnya dengan bijak, tetapi tidak boleh menyimpannya. Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Baarii, hadits ini menjadi dasar legalitas wakaf, dan kejadian ini dianggap sebagai wakaf pertama dalam Islam.
Menurut Abu Hanifah, wakaf hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak wajib (lazim). Wakaf menjadi lazim apabila salah satu dari tiga kondisi terpenuhi:
1. Diputuskan oleh hakim yang berwenang menangani urusan umat.
2. Orang yang mewakafkan mengaitkan wakaf tersebut dengan kematiannya.
3. Wakaf dibuat untuk masjid dan barang tersebut dipisahkan dari kepemilikannya.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wakaf memiliki empat rukun: orang yang mewakafkan, barang yang diwakafkan, pihak penerima wakaf, dan shighat (pernyataan tegas). Menurut kalangan Hanafiyyah, rukun wakaf adalah shighat, yakni pernyataan yang menunjukkan niat wakaf, seperti "Saya wakafkan tanah ini untuk orang miskin selamanya." Wakaf terjadi hanya dengan ucapan, tanpa memerlukan penerimaan (qabul) dari pihak penerima wakaf. Namun, menurut Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan sebagian Hanabilah, penerimaan (qabul) diperlukan jika wakaf ditujukan untuk orang tertentu. Jika tidak, walinya yang harus menerima, mirip dengan aturan dalam hibah dan wasiat.
Wakaf dapat dianggap sebagai sedekah yang bernilai tinggi atau produktif. Wakaf produktif adalah pengelolaan wakaf yang ditujukan untuk menghasilkan manfaat ekonomi melalui pengelolaan yang profesional. Oleh karena itu, penting untuk memahami pembagian wakaf berdasarkan objeknya dan cara pengelolaannya agar bentuk dan tingkat pemanfaatannya dapat dijelaskan. Objek wakaf meliputi segala benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang memiliki daya tahan, tidak hanya sekali pakai, dan memiliki nilai dalam pandangan Islam. Objek wakaf harus merupakan benda yang sepenuhnya dimiliki oleh wakif, bebas dari beban hukum, sengketa, atau sitaan.
Berdasarkan pola pengelolaannya, wakaf dibagi menjadi tiga jenis:
1. **Pengelolaan Wakaf Tradisional**: Wakaf dikelola sebagai ibadah ritual, dengan aset berupa pembangunan fisik seperti masjid, pesantren, dan tanah pekuburan.
2. **Pengelolaan Wakaf Semi Profesional**: Aset wakaf dikelola lebih berkembang, seperti membangun gedung pertemuan atau toko di lingkungan masjid di atas tanah wakaf. Hasilnya digunakan untuk mendukung bidang pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor dan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia.
3. **Pengelolaan Wakaf Profesional**: Wakaf dikelola secara produktif dengan manajemen profesional, melibatkan aspek seperti sumber daya manusia nazhir, kemitraan usaha, dan wakaf benda bergerak seperti uang atau surat berharga, didukung oleh peraturan undang-undang. Hasil dari pengelolaan ini digunakan untuk pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit, pemberdayaan ekonomi umat, dan pembangunan sarana ibadah.
Sesuai dengan definisi yang disebutkan sebelumnya, pelaksanaan wakaf produktif telah diatur dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang menyatakan bahwa "Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif." Penjelasan pasal tersebut meliputi pengelolaan melalui berbagai cara, seperti pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan fasilitas seperti gedung, apartemen, pasar swalayan, dan usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.
Ketentuan penggunaan wakaf juga diatur dalam Pasal 22 dan 23 UU No. 41 Tahun 2004. Wakaf berpotensi menjadi sumber dana yang besar untuk mengatasi berbagai masalah sosial. Berdasarkan pengelolaan dan pelaksanaan wakaf menurut undang-undang tersebut, sebenarnya terdapat peluang besar untuk memanfaatkan tanah produktif sebagai alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi umat secara keseluruhan.
Namun, banyak tanah wakaf di Indonesia yang belum dikelola secara produktif sehingga manfaatnya bagi masyarakat belum optimal. Di Gorontalo, misalnya, masih terdapat tanah wakaf yang kurang bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, terutama di sektor pendidikan. Banyak pesantren atau madrasah yang didirikan di atas tanah wakaf sulit diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah karena tingginya biaya pendidikan, meskipun tanahnya diperoleh melalui wakaf. Fenomena ini memerlukan kajian lebih lanjut untuk menemukan solusi yang dapat memperbaiki pemahaman dan akidah generasi mendatang.
WASIAT
Wasiat, dalam pengertian dasar, adalah memberikan pesan atau perintah, serta menunjuk perwalian atau perlindungan. Secara etimologis, wasiat berarti janji kepada seseorang untuk melaksanakan suatu tugas selama hidup atau setelah kematiannya. Istilah ini berasal dari frasa "Aushaitu Lahu Au Ilaih," yang berarti aku memberikan pesan atau perintah untuknya, menjadikannya pelaksana (washi) yang akan mengurus orang lain setelahnya (pihak yang menerima wasiat atau mushaa 'alaih). Pengertian ini dikenal dengan istilah "wishaayah." Wasiat dapat dilakukan secara bebas (muthlaqah) atau bersyarat (muqayyadah).