Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Monarkhi ke Republik; Titipan Mendesak for New President (Selesai)

30 September 2024   08:38 Diperbarui: 30 September 2024   08:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Proses perubahan atau transisi politik sering kali dipengaruhi oleh pihak militer. Campur tangan militer dalam politik, melalui kudeta dan kontra kudeta, telah berulang kali terjadi, baik berhasil maupun gagal, di banyak negara Amerika Latin, lima negara Arab, empat belas negara Afrika, beberapa negara Asia Tenggara, dan Pakistan. Peristiwa-peristiwa ini menegaskan bahwa ketika pemerintahan sipil tidak efektif, kekuasaan eksekutif akan kesulitan mengendalikan militer.

Marx berpendapat dengan tegas bahwa setiap perubahan sosial harus bersifat revolusioner, tanpa adanya perubahan yang lambat. Sejarah, menurut Marx, adalah pergantian antara stabilitas yang dapat berlangsung lama dan periode revolusi yang terjadi dengan cepat, menghasilkan struktur kekuasaan yang baru. Perubahan lambat dianggap mustahil karena kelas atas menentang perubahan demi mempertahankan posisinya, sehingga perubahan hanya terjadi ketika kelas bawah cukup kuat untuk memaksakan perubahan tersebut, yang dikenal sebagai revolusi. Meskipun Marx tidak secara langsung mengaitkan revolusi dengan kekerasan, banyak pemikir Marxis kemudian melihat bahwa revolusi politik sering kali melibatkan kekerasan militer.

Setelah Perang Dunia II, terdapat dua kecenderungan besar dalam arah perubahan politik, yang dipengaruhi oleh persaingan ideologi antara kapitalisme/liberalisme dan sosialisme/komunisme. Uni Soviet dan Amerika Serikat, sebagai negara adikuasa, berlomba-lomba menanamkan pengaruh di negara-negara dunia ketiga. Meskipun pengaruh ini bergeser setelah runtuhnya Uni Soviet, kapitalisme/liberalisme akhirnya muncul sebagai pemenang. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya gelombang demokratisasi baru, mengingat munculnya kekecewaan terhadap demokrasi dan kebangkitan kekuatan politik Islam, seperti terbentuknya Republik Islam Iran.

Ada tiga aspek penting dalam proses perubahan sosial: pertama, bagaimana ide mempengaruhi perubahan; kedua, peran tokoh-tokoh besar dalam memicu perubahan sosial; dan ketiga, bagaimana gerakan sosial dan revolusi mempengaruhi struktur dan norma sosial. Antara ideologi, kepemimpinan, dan gerakan sosial memainkan peran penting dalam menentukan arah dan pelaksanaan perubahan tersebut.

Revolusi, sebagai salah satu strategi perubahan dalam literatur politik Islam, memiliki karakteristik tersendiri seperti yang diuraikan oleh A. Ezzati. Pertama, revolusi harus didahului oleh perubahan dalam pemikiran. Kedua, revolusi harus melibatkan perubahan besar dalam mentalitas masyarakat dan didukung oleh massa yang kuat. Ketiga, revolusi dipimpin oleh figur-figur pahlawan yang berfungsi sebagai motor penggerak perubahan. Sementara itu, Kalim Siddiqui mendefinisikan revolusi Islam sebagai keadaan di mana seluruh umat Islam dalam suatu wilayah termobilisasi secara penuh, sehingga usaha kolektif mereka menjadi tak terkalahkan. Revolusi ini juga membutuhkan kepemimpinan yang sepenuhnya terikat pada tujuan-tujuan peradaban Islam yang tidak terpecah oleh kelas atau kepentingan lain. Selain itu, masyarakat Islam harus mampu mengatur kembali dirinya secara internal dan membangun tatanan sosial yang dapat berinteraksi dengan dunia luar menurut caranya sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto, ada dua bentuk perubahan: pertama, perubahan yang berlangsung lambat dan bertahap yang disebut evolusi, dan kedua, perubahan yang cepat dan menyangkut aspek-aspek fundamental masyarakat yang disebut revolusi. Beberapa syarat terjadinya revolusi menurut Soekanto adalah: adanya keinginan umum untuk perubahan, pemimpin yang mampu memimpin masyarakat dalam arah yang jelas, serta momentum yang tepat untuk melancarkan revolusi. Jika momentum ini tidak dipilih dengan baik, revolusi berisiko gagal.

Revolusi sering kali dirancukan dengan bentuk perubahan sosial lainnya karena muatan ideologisnya yang kental. Namun, menurut Sztompka, ada lima ciri yang membedakan revolusi dari perubahan sosial lainnya. Pertama, revolusi menyebabkan perubahan dalam skala luas yang menyentuh semua aspek masyarakat. Kedua, perubahan ini bersifat radikal dan menyentuh inti dari struktur sosial. Ketiga, perubahan terjadi secara cepat. Keempat, revolusi adalah perubahan yang paling kentara dan karena itu paling dikenang. Kelima, revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang kuat pada partisipan. Ciri-ciri ini terlihat jelas dalam Revolusi Islam Iran, yang merupakan salah satu perubahan politik paling spektakuler di abad ini.

Teori revolusi terbagi menjadi empat aliran: behavioral, psikologis, struktural, dan politik. Aliran politik memandang revolusi sebagai fenomena politik yang muncul dari proses politik itu sendiri. Menurut pandangan ini, revolusi terjadi ketika ada perubahan dalam keseimbangan kekuatan politik, di mana pihak oposisi berusaha merebut kendali atas negara. Revolusi tidak dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa, melainkan bagian dari dinamika politik biasa. Dalam konteks Revolusi Iran, fokus utamanya adalah perubahan revolusioner dari Monarki Pahlevi menjadi Republik Islam Iran. Perubahan ini tidak hanya berupa transformasi dari monarki ke republik, tetapi juga dari negara monarki sekuler menjadi republik Islam. Proses perubahan ini melibatkan ideologi, kepemimpinan Khomeini, serta kekuatan oposisi yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan membentuk pemerintahan baru yang stabil.

PENUTUP DAN PENJELASAN SINGKAT

Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dan sesuai dengan tujuan serta manfaat penelitian, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Lexy J. Moleong, MA, penelitian kualitatif lebih berfokus pada pengembangan teori substantif yang didasarkan pada data. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, meskipun data kuantitatif juga digunakan sebagai pendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun